Senin, 16 April 2012

PEREMPUAN dan TANTANGAN ZAMAN


PEREMPUAN, PENGETAHUAN, dan PERJUANGAN
By: Winda Junita Ilyas
Lahir sebagai seorang perempuan adalah kodrat Sang Pencipta yang tak dapat lagi ditolak keberadaannya dan sampai sekarang saya bersyukur akan ‘keperempuanan’ saya. Kata perempuan yang baru dapat saya pahami maknanya semenjak berada di bangku kuliah. Secara semantik perempuan berasal dari kata “empu” yang diartikan sebagai orang yang ahli atau mampu. Kata Empu yang tak asing di telinga kita seperti Empu Tantular, Empu Gandring, dan lainnya. Beliau adalah individu yang berani, cerdas, dan menjadi ispirasi bagi masyarakatnya layaknya seorang guru. Begitu pula pengertian secara bahasa yang semestinya dapat dipahami oleh perempuan atau bahkan seluruh masyarakat.
Namun apakah benar adanya bahwa perempuan seharusnya adalah pribadi yang kuat dan cerdas. Bagaimana dengan anggapan bahwa perempuan sebaiknya tidak perlu banyak berkata, tidak perlu sekolah tinggi-tinggi karena akan kembali ke dapur juga, perempuan tidak bisa jadi pemimpin, dan opini lainnya?
Semenjak saya memakai seragam putih biru (baca:SMP) dan berada di lingkungan yang cukup berada, teman-teman yang cukup memperhatikan fashion hari ini, atmosfer belajar yang dinamis (baca: kadang rajin, kadang malas) membuat saya cukup terbawa arus dengan kondisi ini. Terlebih lagi masa-masa SMP adalah masa pubertas dimana seorang anak perempuan ingin terlihat cantik dan diperhatikan oleh orang-orang di sekitarnya. Keinginan untuk membeli sepatu bermerk, memakai produk-produk kecantikan utamanya pemutih kulit untuk berusaha mengubah kulit saya yang kata orang coklat dan sangat jarang ditemukan bahwa perempuan yang berkulit coklat itu bisa dikatakan cantik.  Rambut yang dipermak hingga bisa seperti rambut Dian Sastro yang lurus, rapi, dan lembut. Luar biasa, ternyata pengeluaran yang besar pada masa-masa putih biru saya ini hanya karena kepuasaan sesaat dan pengakuan di orang-orang di sekitar saya bahwa “saya ada(baca: eksis)”. Terlebih lagi teman-teman yang berada dalam kepengurusan OSIS adalah orang-orang yang terpilih karena mereka cukup “eksis” baik dalam hal “gaya berpakaian” maupun pergaulan sosial. Kondisi ini terus berlanjut hingga ke gerbang pendidikan formal selanjutnya, Sekolah Menengah Atas. Namun terdapat beberapa perbedaan signifikan yang saya alami karena sekolah ini adalah salah satu sekolah unggulan di kota Makassar. Atmosfer belajar (baca:intelektual), persaingan dan religius sangat kuat menghiasi hari-hari saya di sekolah ini, SMA Negeri 17 Makassar. Pemahaman tentang keorganisasian mulai muncul ketika bergabung di organisasi Paskibra (Pasukan Pengibar Bendera) dan MPK (Majelis Permusyawaratan Kelas) namun tetap eksis dengan mengikuti perkembangan gaya baru hari ini yang di saat itu baju-baju karya Distro sedang digandrungi oleh anak muda Makassar. Langganan majalah distropun kelak saya lakoni, gaya rambut “mullet” mirip Agnes Monica menjadi pilihan saya, dan celana botol (baca:celana ketat utamanya bagian bawah) membentuk seperti botol yang masih sampai sekarang menjadi favorit di kalangan perempuan maupun lelaki.
Tak ayal konsumerisme pun menjamur di kalangan anak muda utamnya perempuan yang senantiasa membutuhkan ini dan itu untuk melengkapi kesempurnaan fisiknya sehingga tampak menawan dan pasar (baca:kapitalis) tentunya sangat menikmati hobi kebanyakan perempuan Indonesia ini. Semakin banyak kebutuhan mereka, maka akan semakin banyak pula keuntungan individu yang mereka peroleh sehingga mereka pun semakin kaya dengan “pembentukan hegemoninya (baca: doktrinasi paradigma)” dan kaum perempuan semakin terbuai akan kecantikannya sesuai dengan “paradigma cantik yang telah di hegemoni oleh pasar” yaitu cantik adalah ketika seorang perempuan memiliki kulit yang putih dan halus, rambut yang panjang dan lurus, hidung yang mancung, mata yang bulat, tubuh yang langsing, dan lainnya. Di negara lain seperti Thailand, perempuan cantik adalah yang memakai banyak kalung di lehernya hingga lehernya semakin lama semakin tinggi dengan keberadaan kalung yang semakin bertambah. Di negara afrika, perempuan yang cantik adalah yang memiliki tubuh yang besar dan berkulit hitam. Ternyata terdapat perbedaan di beberapa negara tersebut, sehingga tak pantas ketika kita mencoba untuk menyamaratakan tentang konsep kecantikan seorang perempuan secara fisik tersebut. Lalu, bagaimana dengan kemampuan intelektual seorang perempuan?
Wacana ini dulunya masih menjadi tabu di beberapa daerah di Indonesia. Namun untk hari ini perempuan mulai bangkit mengukir sejarah intelektualnya. Walaupun masih dominan pandangan bahwa perempuan sebaiknya di rumah saja untuk melayani suami, merawat anak, dan memasak. pekerjaan tersebut adalahpekerjaan yang sangat mulia namun perempuan adalah salah satu ciptaan Tuhan dimana telah ditiupkan Ruh Ilahi di dalamnya sehingga kita patut untuk bertanggung jawab atas segala kondisi yang ada di masyarakat termasuk kezaliman yang akhir-kahir ini sering terjadi layaknya Korupsi, konstruksi paradigma kapitalis, ketidakadilan, kemiskinan, dan realita lainnya.
Saya pernah membaca cerita tentang salah satu perempuan mulia yaitu Fatimah Zahra anak dari Rasulullah SAW dan Siti Khadijah. Beliau yang dalam prinsipnya lebih memilih kesusahan daripada kemudahan, menyukai kesederhanaan dibandingkan kemewahan, mencintai orang lain daripada diri sendiri, dan lebih suka menentang kezaliman daripada DIAM.  Fatimah as adalah pejuang Tuhan di hadapan kezaliman, khususnya setelah Rasulullah saw wafat, ketika dirinya melancarkan protes terhadap berbagai ketidakadilan dengan keberanian luar biasa. Dua diantara penentangannya yang penting tercermin dari dua khutbah yang disampaikannya dimesjid dan di rumahnya ketika orang-orang menjenguknya tatkala sakit. (buku: membela perempuan, menakar feminisme dengan nalar agama).
Selain itu cerita tentang Bunda Theresa seorang biarawti yang taat yang melihat Ruh Ilahi pada kaum Papa atau kamu mustadhafin (baca:kaum tertindas) sehingga beliau mendedikasikan dirinya dengan mengabdi pada suatu daerah di India bernama Calcutta dimana terdapat penduduk yang sangat miskin, susah memperoleh kesehatan layak dan pendidikan yang memadai. Perjuangan beliau dengan cinta membawa hasil yang signifikan bagi masyarakat Calcutta pada saat itu, ditandai dengan anak-anak yang mulai bisa mengenal huruf dan kata-kata, masyarakat yang dapat memperoleh pengobatan gratis, dan pembatalan penggusuran daerah Calcutta yang akan dimanfaatkan sebagai lahan bisnis oleh yang terhormat birokrasi. Cerminan tokoh perempuan seperti Fatimah Zahra dan Bunda Theresa yang sangat jarang kita temukan figurnya di media-media yang tersohor. Media dominan memunculkan tokoh-tokoh perempuan layaknya artis dengan kehidupan glamour dan megah (baca:hedonism) sehingga bagi manusia-manusia yang senantiasa mencari jati diri lewat figure yang mereka dambakan pastinya akan mengikuti apa yang dilakukan oleh idolanya. Belum lagi karena TV menjadi media yang paling utama dan terfavorit bagi sebagian penduduk Indonesia, sehingga buku-buku bacaan mulai kehilangan pamornya. Jadilah pribadi-pribadi yang pasif dan monoton serta robot kapitalis.
 Memasuki miniatur kehidupan (baca: kampus) adalah momen yang tak terduga saat terjadinya dekonstruksi (baca:pembongkaran) dan rekonstruksi (baca:penyusunan kembali) pola pikir atau mind-set individu-individu melalui proses kaderisasi yang tidak akan kami dapat ditemukan di ruang-ruang pendidikan formal. Pandangan perihal perempuan pun semakin membuka cakrawala berpikir saya bahwa berbicara tentang perempuan tidak  sesederhana apa yang saya bayangkan dan alami selama ini, tetapi memiliki makna yang lebih dalam. Awalnya perempuan cantik adalah yang secara fisik mirip dengan Dian Sastro atau Luna Maya, kemudian salah satu senior saya membahasakan bahwa perempuan cantik adalah yang buku menjadi sahabat setianya, diskusi adalah ruang aplikasi wacananya, dan menulis adalah kesetiannya pada peradaban. Kalimat yang masih menjadi wacana favorit di kalangan mahasiswa tersebut kadang masih saja membuat mereka ragu dan cenderung malas untuk memulai budaya baru, budaya yang mereka sebut budaya ilmiah (baca: membaca, berdiskusi, dan menulis). Utamanya bagi perempuan-perempuan di kampus sehingga mungkin sebab itu masih cukup jarang ditemui pembicara, motivator, dan penulis buku seorang perempuan. Dan sampai pada wacana bahwa perempuan adalah makhluk ciptaan Tuhan yang berasal dari tanah dan mempunyai kesempatan yang sama dalam hal berlaku menuju kesempurnaan Sang Maha Sempurna. Yang membedakan perempuan dengan laki-laki hanyalah kodrat secara fisik yang mereka alami bahwa perempuan dapat melahirkan, menyusui, memiliki ovum dan memiliki cirri-ciri fisik yang mempertegas keperempuanannya. Sedangkan laki-laki memiliki sperma dan tanda –tanda fisik lainnya yang telah diatur sedemikian rupa oleh Sang Maha Pencipta. Dan selebihnya adalah sama kecuali dalam hal fikih yang mempunyai aturan-aturan yang berbeda. Kualitas kemanusiaan seseorang ditentukan oleh individu masing-masing baik laki-laki maupun perempuan sehingga kemampuan untuk cerdas, militan, bermasyarakat dan berkontribusi terhadap bumi adalah tanggung jawab setiap manusia dengan berbagai metode yang mereka pilih seperti menjadi pedagang, pendidik, politisi, psikolog, ekonom, menteri bahkan seorang presiden. Sehingga pandangan Aristoteles tentang perempuan yaitu (384-322 SM) memandang bahwa perempuan sebagai manusia “yang tidak sempurna”. Perempuan adalah “pria yang tidak produktif”. Hanya prialah manusia paripurna (baca:sempurna). “hubungan pria dan perempuan, secara alamiah, adalah bahwa pria lebih tinggi dan perempuan lebih rendah, juga prialah yang menguasai sementara perempuan yang dikuasai”. Pandangan ini dapat runtuh dengan sendirinya dengan beberapa referensi pembanding lainnya dan diikuti dengan semangat perempuan hari ini.
Perempuan adalah semesta pertama bagi manusia karena perempuan memiliki rahim. Sekolah pertama bagi anak-anaknya dan memiliki ikatan batin yang cukup kuat mulai dari masa hamil, menyusui, dan merawat anaknya hingga dewasa sehingga perempuan wajib cerdas dengan memiliki pengetahuan yang holistik dan bijak dalam berbagai kondisi. Kendati demikian, maka tidak hanya generasi berkualitas yang tercipta bahkan peradaban yang terdidik.
Meminjam istilah dari salah seorang perempuan hebat menurut saya, Ms.Uun , bahwa manusia adalah kitab yang sehendaknya memiliki sampul, judul dan isi  dimana sampul adalah tampilan fisik kita, judul adalah nama kita dan isi adalah keseluruhan semesta yaitu intelektual, spiritual, dan emosional. Sudahkan kita mengukir isi buku kita wahai perempuan ? 
Sebuah puisi oleh Eni Rochyati ini kupersembahkan bagi kalian perempuan Indonesia yang senantiasa rindu akan hakikat dirimu dan bangkit untuk menyentuh peradaban.
Perempuan!
Kau taklagi sendiri
Kau tak lagi bermimpi
Berkacalah

Ketika keterpurukan negeri ini
Belalaklah matamu
Apa yang bisa kau lakukan
Demi diri

Ukirlah karyamu
Himpunlah kekuatanmu
Ciptakanlah keinginanmu hidupkanlah dirimu
Dari karyamu

Esok..tiada lagi terdengar rengekan, rinntihan
Perempuan
Kau telah mampu bangkit dan mencipta
Karyamu pembangkit generasi

Wahai perempuan mulia, Jadilah Intelektual Progresif yang senantiasa rindu akan pengetahuan dan tidak membungkam diri dengan pengetahuanmu. Dan hiasilah segalanya dengan cinta karena cinta seperti cahaya yang akan memberikan kehangatan dalam hidupmu.

Disampaikan pada

Forum Diskusi Rumah Anak Bangsa
ELFAST Pare Kediri

Tidak ada komentar:

Posting Komentar