AGAMA dan PERUBAHAN SOSIAL
Agama dan Perubahan Sosial
Oleh. Mr. Dani afala-ASSET BOY
Salah satu pemegang peran dari perubahan sosial adalah pemuda yang
menjadi simbol penggerak perubahan dengan segala potensi yang dimiliki
serta dengan semangatnya yang membara. Pemuda menjadi bagian terpenting
dalam tatanan masyarakat, menjadi motor penggerak dalam melakukan
perubahan social. Kehidupan bumi ini membutuhkan lebih dari kehadiran-
kehadiran dari para penghuninya. Yaitu membutuhkan semangat, optimisme,
dan kekuatan sebagaimana yang dimiliki oleh para pemuda. Karena ditengah
kehidupan saat ini, realitas social telah berada pada titik yang
membahayakan, penuh jebakan, dan selalu menipu dengan berbagai
tampilannya yang popular, romantic, menghipnotis.
Problem
terbesar saat ini adalah adanya westoknisasi melalui budaya, pendidikan,
teknologi, perkembangan industry dan eastoknisasi sendiri sehingga
perilaku kehidupan masyarakat Indonesia tidak lagi berada pada kondisi
budaya dan kepribadiannya sebagai bangsa Indonesia. Munculnya budaya
yang menggrogoti nilai-nilai kemanusiaan di Indonesia seperti, free sex,
pornografi, pergaulan bebas, korupsi telah meracuni kehidupan bangsa
Indonesia yang beradab dan luhur. Kondisi Ini berdampak besar pada
kehidupan beragama, dimana agama tidak lagi dijadikan sebagai pijakan
moral dalam bertindak. Agama hanya menjadi sarana pelarian atas
kekecewaan manusia dalam menjalani hidupnya. Kehidupan social yang tidak
stabil itu, tidak hanay memunculkan kelompok-kelompok agama yang
eksklusi tapi juga fanatic dan ekstrim, yang tidak perduli pada orang
lain kecuali keselamatan kelompoknya. Realitas social hari ini telah
menggambarkan kepada kita akan kehidupan beragama yang semakin jauh dari
moralitas keberagamaan itu sendiri. Agama hanya dipahami sebagai
ritualisasi, simbolisasi, eforia yang kehilangan makna dan tanpa esensi.
Ini dapat dilihat dari pengindentikan antara agama dengan terorisme,
perusakan, dan kekerasan. Agama kemudian disimpulkan menjadi symbol
perusak tatanan social. Dalam artian agama menjadi dalil bagi pembenaran
atas segala tindakan yang tak manusiawi.
Disisi lainnya, hal
yang paling bermasalah dalam kehidupan beragama adalah perubahan
paradigm (main set) yang menempatkan relasi manusia pada posisi
subyek-obyek, dimana yang salah satu lebih unggul dari lainnya. Manusia
memandang orang lain sebagai lawan, obyek yang harus ditindaki dan di
eksploitasi. Kondisi ini diakibatkan oleh pengeringan dimensi etis dari
agama itu sendiri karena keterputusan dalam menghubungakan dimensi nilai
dan praktiknya sehingga mengarahkan manusia pada kehidupan yang serba
kacau, kondisi hyperreligiousity dan anarkisme.
Dalam ajaran
agama khususnya Islam, Tuhan telah menciptakan segala sesuatunya dengan
baik dan sempurna termasuk didalamnya adalah bagaimana menata masyarakat
untuk membangun kebaikan bersama (kesejahteraan). Dalam pemikiran yang
rasional, agama menjadi dasar, pedoman, rujukan dan referensi, dalil
atas tindakan manusia meliputi semua aktivitas yang dilakukannya. Agama
memegang posisi inti, menjadi dasar yang esensial dari semua dimensi
kehidupan. Sehingga Agama harusnya menjadi rujukan atas semua dalil,
doktrin, dan segala tindakan manusia. Untuk itu, manusia membutuhkan
pemahaman yang baik tentang agama yang dianutnya. Pemahaman yang baik
atas agama, akan mengarah pada tindakan yang baik pula dalam pengaturan
kehidupan manusia.
“Meskipun iman anda tidak sama dengan saya, tapi saya menerima anda apa adanya” (franz Magnis Suseno).
Dalam beberapa ajaran agama tentang kehidupan yang bisa menjadi
inspirasi bagi hidup, khusus agama Nasrani, selalu mengajarkan konsep
“kasih”. Kasih adalah Tuhan, sehingga setiap pengikut agama harus saling
mengasihi satu sama lainnya. Agama harus menjadi kerinduan bagi seluruh
manusia. Yaitu memperlakukan orang lain sebagai bagian dari diri kita,
membangun keperdulian yang tinggi terhadap orang lain. Kita harus
mencintai manusia lainnya kerena kecintaan kita kepada Sang Maha Pemberi
Cinta. Dalam artian kecintaan yang dimiliki oleh manusia adalah
manifestasi dari kecintaan kita kepada Tuhan dengan segala kebesarannya.
Kecintaan dan kasih kepada orang lain adalah kasih pada sesuatu yang
kongrit dan pada dasarnya manusia mengawali kecintaannya pada sesuatu
yang kongkrit untuk bisa mencintai Tuhan yang sangat abstrak. Dalam
artian ini, manusia harus banyak-banyak mengasih sesamanya.
Beberapa pendapat para pemikir tentang hubungan yang diistilahkan dengan
Religiousitas teologis dan religiousitas humanity, berpendapat bahwa
dalam dunia kontemporer ini dengan berbagai doktrin yang di bawahnya
telah memisahkan, mengaburkan garis antara Religiousitas teologis dan
religiousitas humanity. Ada keterputusan antara nilai keagamaan yang
dipahami dan bagaimana manusia harus berperilaku dalam kehidupan.
Kerenggangan antara kedua hubungan ini berakibat pada realitas kehidupan
manusia yang menggalau dan penuh jebakan. Pada akhirnya, agama menjadi
bagian pelengkap yang sesekali ditilik dan dipegang, agama adalah bentuk
pelarian, dan pada titik tertentu agama di jadikan sebagai komoditi
atas pencarian keuntungan para kapitalis.
Pada ranah problem
social lainnya, ada pertentangan antara kelompok umat beragama yang
seiman maupun tak seimana yang tak pernah terdamaikan oleh kesepakatan
dan dialog. Ini terjadi karena adanya penafian suatu kelompok atas
kelompok lainnya. Sehingga kehidupan beragama dipenuhi dengan
kecurigaan, pesimis, intoleransi karena alasan perbedaan pemahaman,
atribut, dan metodologi perjuangan. Apatalagi dengan kondisi ini
Indonesia yang Plural dengan berbagai mazhab berpikir, agama dan
kepercayaan lainnya. Sehingga model keberagamaan yang ekslusif menjadi
trend di tengah kondisi social yang tidak stabil.
Berbagai
perdebatan, kecuriagaan, dan pertentangan antara muslim, non muslim dan
seiman sebenarnya dikarenakan adanya konstruksi social atas paradigm
yang mendominasi kehidupan manusia. Paradigma yang menggiring manusia
untuk keluar dari dirinya. Mengajak manusia untuk melupakan yang
esensial dan lebih menyibukan diri dengan realitas yang terbaru dan
popular. Sehingga manusia lupa melakukan penilaian atas dirinya
(autokritik) untuk menemukan kondisi sadar atas dirinya sendiri. Manusia
terlalu sibuk dengan kehidupan social yang terkonstruk oleh media dan
terjebak dalam dunia yang penuh dengan symbol beserta variasinya. Oleh
karena itu, sebenarnya agama menjadi penting ditengah kondisi social
yang mengila dan menyesatkan. Pentingnya agama harus terbangun dari
kesadaran yang utuh dengan kemampuan membaca realitas social yang
terjadi dan mengerakkan manusia untuk mencapai titik kualitas
kemanusiaannya. Metode kontemplasi merupakan salah satu metode untuk
mendekonstruksi diri, bisa mengenal diri, sehingga memiliki pemahaman
yang jelas akan arah dan bagaimana membangun kehidupan beragama dan
bersosial.
Agama harus dipahami dengan baik, Agama harus
dibangun dari kesadaran. Agama hanya bisa menjadi perubah social ketika
mampu membaca konteks social yang terjadi, sehingga agama akan
memberikan solusi atas permasalahan social yang terjadi. Manusia harus
membangun kesadarannya secara utuh dengan agama sebagai rujukan, karena
perubahan social butuh agent, pelaku, actor penggerak perubahan. Dengan
agama yang telah mengajarkan kasih dan kedamaian pada setiap manusia
serta kasih dan kedamaian akan melahirkan kepedulian dan ketulusan dalam
berbagi antara sesala dan membangun tolerasi antar semama. Agama
kemudian menjadi hal penting untuk dijadikan landasan dan pedoman hidup
atas pencarian diri dan perubahan social yang lebih baik.
Disampaikan pada acara Diskusi Terbuka RUMAH ANAK BANGSA
Di Mahesa Institute. Pare-Kediri
Tidak ada komentar:
Posting Komentar