By: Han's
Rasulullah berpesan kepada Aisyah
ra : “Ya Aisyah janganlah engkau tidur sebelum melakukan empat perkara,
yaitu :
1. Sebelum Khatam Al Qur’an,
2. Sebelum membuat para Nabi memberimu syafaat di hari akhir,
3. Sebelum para muslim meridloi kamu,
4. Sebelum kau laksanakan haji dan umroh.
Aisyah bertanya : “Ya Rasulullah… Bagaimana aku dapat
melaksanakan empat perkara seketika?”
Rasul tersenyum dan bersabda
: “Jika engkau tidur bacalah :
1. Al Ikhlas tiga kali
2. Bacalah sholawat untukku
dan para nabi sebelum aku
3. Beristighfarlah untuk para muslimin
4. Perbanyaklah bertasbih, bertahmid, bertahlil, bertakbir “
PARE untuk Semua Pendidikan yang Murah, Merakyat, Berkualitas, Berkarakter dan Religius
Sabtu, 19 Mei 2012
Panggung Sendratari Reformasi
By: Uun Nurcahyanti
Reformasi ala Indonesia 1998 seperti bisnis Gelombang Cinta demi bekal berumah tangga. Awal tahun 2000 hingga akhir dekade lalu, lalu usaha hortikultural Indonesia mengalami masa manis madu dengan merebaknya banyak pebisnis nurseri. Gerak tanaman taman sebagai pemanis ruang dan pajangan meroketkan pikatnya dalam menarik pandangan mata. Tanaman-tanaman dari Thailand yang lebih berwarna-warni elok merembesi wilayah-wilayah perkotaan. Pujapuji tampilan interior ruang dengan sentuhan bunga-bunga hidup merajalelai ruang-ruang publik dengan eksistensi prestise, harga diri. Puja gengsi dengan orientasi dekorasi.
Kondisi ini membuka peluang usaha model nurseri yang memesat dengan sangat cepat. Puncak pujapuji keterpikatan tanaman hias ini adalah munculnya generasi Gelombang Cinta yang harganya bisa begitu tidak masuk akal. Saya teringat pada suatu sore, adik saya tiba-tiba berkunjung dari Solo karena mengejar sebuah tanaman yang namanya terasa asing di telinga saya, Gelombang Cinta. Hal yang teramat mengejutkan adalah harga tanaman yang dibelinya itu. 3 juta rupiah! Jumlah nominal yang terasa sangat tidak masuk akal. Setara dengan harga rumah kontrakan kami untuk satu tahun yang pembayarannya pun biasanya kami cicil. Hal yang lebih mengejutkan adalah kabar dari adik saya tersebut keesokan harinya yang menceritakan kalau tanaman tersebut terjual dengan bandrol 15 juta rupiah. Sebelum sampai di pintu rumah, bahkan.
Saat masa keemasan tanaman ini, harga satu tanaman Gelombang Cinta ini bisa setara dengan harga mobil. Pernah dihargai setara dengan Suzuki Taruna. 90 juta-an. Pikat dengan konsep logika seperti apa yang bisa menjelaskan fenomena tersebut kecuali keberpujaan akanritual pajang-memajang demi kemanjaan visualitas sahaja.
Dalam masyarakat Jawa ada sanepan, guyonan umum yang bermakna sindiran. Arti katanya adalah mustahil untuk mencemooh harga yang terlalu melambung. Pernyataannya adalah “Mosok’o dibayar nganggo godong” (masak akan dibayar pakai daun). Dan pada masa-masa kejayaan Gelombang Cinta ini pernyataan tersebut ternyata menemukan simpul realitasnya. Sebuah gelisah zaman.
Dalam biografinya, kedahsyatan ‘harga’ tanaman ini ternyata mengempis dengan tiba-tiba. Usaha dadakan serba nurseri bertumbangan. Pepatah yang menyatakan bahwa sesuatu yang cepat meroket memang akan dengan lebih mudah terpelanting ternyata benar-benar bijak adanya. Bisnis mahal yang tidak mudah dimulai ini menjanjikan hasil dan keuntungan yang menggiurkan. Pikat kegiuran ini berpotensi memabukkan para pelakunya. Dan bila tidak berpijak pada sepenuh kesadaran maka justru akan memerosokkan.
Bisa dibayangkan bila seseorang berpegang pada usaha ini dan dijadikan sandaran untuk memasuki jenjang pernikahan. Saat usahanya menyusut, rumah tanggapun surut entah bagaimana. Usaha dengan sandar penopang yang melompong dan tidak mewariskan kekukuhan sistem kecuali puja tampilan yang serba sesaat alias musim-musiman ini, bisa jadi hanya seperti peragawati yang melintas sesaat di catwalk dengan rancangan busana model terbaru. Indah, menggiurkan tetapi hanya sekedar numpang lewat. Bagi yang berduit dan para pemuja fesyen, maka ia pasti bersegera untuk membelanjakan uangnya. Bagi yang hanya sekedar nonton, maka ia akan dipeningkan dengan angan-angan ingin yang memenuhi ceruk pikirannya.
Kisah perjalanan kerumah-tanggaannya pun bisa menggak-menggok dan serba oleng. Konsep keluarga dibangun atas dasar konsepsi iming-iming mimpi dan harapan untuk suatu saat bisnis itu kan berkecambah kembali. Masalah dilerai dengan sampan harap-mengharap. Jauh dari upaya perjuangan membangunkan keberhidupan dan menghayati kehidupan. Berdoa arus dan angin akan turut menuntun laju si perahu?
Lakon Reformasi ala Orde Baru
Ada ungkapan populer bahwa pergantian dasar kemimpinan di Indonesia selalu dibarengi dengan pergolakan dan selalu menelan banyak korban. Dimulai dengan revolusi yang melahirkan negara Indonesia. Ontran-ontran pergantian dari orde lama ke orde baru. Juga saat upaya penumbangan orde baru. Penumbangan orde terlama Indonesia itu terjadi 14 tahun silam. Ketimpangan penguasaan negara dan ketidakpercayaan publik terhadap para pengelola negara meretas jalannya sendiri da menglahirkan perlawanan dan mengobarkan keberanian massa rakyat untuk bergerak dinamis dengan turun ke jalan. Melakukan unjuk rasa dan unjuk kekuatan.
Gembar-gembor demokrasi yang dianut pemerintah dalam menata sistem negara dijajal kebermutuannya. Digoyahkan kekuatan konsepnya. Pilihan rakyat yang konon terpantau lewat pemilihan umum sebagai simbol demokrasi ternyata ditolak oleh massa rakyat itu sendiri. Pendidikan politik yang canggih, karena lewat praktek rasa dan pencitaan elemen masyarakat bangsa dalam alur realitas. Masyarakat yang duduk nyaman pun tiba-tiba terhenyak oleh kondisi bangsanya. Kata kemajuan dan keberhasilan yang selalu digaung-gaungkan adalah candu yang melenakan ternyata. Tumpukan hutang dan serangkaian pengkhianatan dengan merek khas Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme telah berkesanggupan melukai hati nurani rakyat. Rakyat serta merta berada dalam satu payung rasa yang sama. Terpana bersama-sama. Geleng-geleng kepala atas tingkah polah para anggota Dewan Perwakilan Rakyat Yang Terhormat, yang ternyata tidak mewakili ungkapan hati nurani mereka. Lantas, mereka mewakili siapa?
Kegerahan ini memantik rasa lara yang seragam seirama. Massa rakyat pu bergerak bersama. Nostalgia kekerasan masa revolusi bangkit demi kemartaban bangsa dan negara. Aparat negara pun dengan terpaksa berhadapan dengan mahasiswa dan masyarakat yang seyogyanya dilindunginya. Pertengahan tahun 1998, demonstrasi besar pun melanda kota-kota besar di Indonesia. Kematian mahasiswa Universitas Atmajaya Yogyakarta yang bernama Moses menjadi mortir penggalangan kekuatan masal masyarakat kampus untuk bergerak dalam satu payung perjuangan. Merobohkan rezim yang berkuasa. Revolusi ala orde baru ini berjalan tanpa pengelolaan strategi yang taktis dan futuristik. Rawan untuk tumbang dan gamang dalam berjalan.
Kekerasan dan penjarahan meletus di berbagai wilayah ekonomi. Akumulasi kelelahan masyarakat secara fundamental hadir begitu telanjang. Jiwa pengecut dan karakteristik maling dan perampok menyebar bagai virus dan menular dengan luar biasa. Pusat-pusat perdagangan tuntas dengan sekedipan mata. Kejerian meluas dan melukai setiap lapis rasa masyarakatnya. Biografi kotaberkota pun memeristiwai endus kesakitannya. Mengisahkan biografi kelaraan pada tikungan gerak zaman. Sakan lupa ada tunas-tunas muda yang belum tiba saatnya untuk meretas ranggas. Menjamu sekarat kanak-kanaknya.
Polisi dan tentara dipaksa menepikan para anak bangsanya dipinggir panggung kehidupan. Bersinergi dengan waktu mengatur dan menskenariokan pentas baru yang dadakan pada panggung lama. Pemain profesional pun berpura-pura gagu. Bertingkah seakan mengalami demam panggung akut. Melepaskan diri dari tanggung jawab kesuksesan cerita drama dadakan itu. Para aktor baru bersikap sok-sok profesional dan malah dijadikan boneka dan kacung-kacung demi kelancaran alur cerita. Menjadi pion-pion yang petentengan berdiri di depan dengan gagah. Berjalan tanpa berpikir panjang karena langkah memang tidak boleh terlalu panjang, cukup selangkah demi setapak.
Orde Baru ala Reformasi
Sudah 14 tahun panggung lama itu menggelar sendratari kontemporer yang gemerlap. Tidak mau mengikuti pakem katanya, tetapi sangat patuh pada ritual sesaji yang malah luar biasa pakem. Memuja upeti-upeti layaknya raja-raja masa lalu. Saling memback-up layaknya para pemain teater profesional. Membiarkan penonton bosan dan kehilangan selera untuk duduk nyaman dalam pikat lakon drama yang menggugah rasa dan seluruh karsa. Lakon-lakon kliselah yang tergarap. Muncul di atas panggung dengan senandung normatif yang agung. Dan sengaja di dengungkan.
Lakon korupsi dan drama kenaikan BBM menjadi suguhan cerita yang sekan tiada habisnya. Sendratari konspirasi dan persekongkolan dilakonkan dengan gandes luwes dan sangat telanjang. Bukan pornografi, katanya, karena ini atas nama seni berpolitik. Bukan pula pornoaksi, tangkisnya. meski banyak suguhan nudis dan perselingkuhan gaya klasik karena ini adalah tarian dan kerja seni. Bukan pelanggaran hukum karena ini adalah panggung untuk mengais rejeki. Rejeki itu bukan korupsi. Bukan pula persekongkolan maling dan perampok karena ada peraturan yang melindungi gerombolan ala si berat di komik Donal Bebek ini.
Penonton yan baik hendaknya diam karena penonton profesional itu adalah penikmat seni sejati. Seperti layaknya penonton final tenis lapangan di Wimbledon. Tidak berisik dan tidak boleh mengusik konsentrasi pemain. Pemain dan penonton adalah komunitas yang tak sama. Tidak ada hubungpenghubung antarnya.
Hanya, hal yang perlu dihati-hatikan sedikit adalah adanya kemungkinan bila nanti gedung pertunjukkannya roboh atau terbakar. Penonton boleh lari kemana saja. Bila ingin masuk surga ya tetaplah diam menunggu kematian sambil berpasrah karena memang begitulah Pepesten Sang Maha Asih atas nasib gedung pertunjukan tua Indonesia ini. Bukankah kematian adalah sebuah kerinduan dan hidup adalah perayaan atasnya kata Muhammad Damm. Jadi mau menyambut kerinduan atau merayakan kerinduan itu adalah hak penonton sekalian.
Hal yang perlu untuk diketahui adalah bahwa dalam setiap gedung pertunjukan berpanggung, selalu ada jalan keluar dari kamar ganti pemain. Dan ada banyak helikopter pribadi siap terbang untuk mengamankan para aktris dan aktor ini dari bencana-bencana tak terduga. Dan gedung hebat ini adalah gedung pertunjukan nan canggih 27 lantai. Satu-satunya di dunia.
Pare, 31 Maret 2012
Reformasi ala Indonesia 1998 seperti bisnis Gelombang Cinta demi bekal berumah tangga. Awal tahun 2000 hingga akhir dekade lalu, lalu usaha hortikultural Indonesia mengalami masa manis madu dengan merebaknya banyak pebisnis nurseri. Gerak tanaman taman sebagai pemanis ruang dan pajangan meroketkan pikatnya dalam menarik pandangan mata. Tanaman-tanaman dari Thailand yang lebih berwarna-warni elok merembesi wilayah-wilayah perkotaan. Pujapuji tampilan interior ruang dengan sentuhan bunga-bunga hidup merajalelai ruang-ruang publik dengan eksistensi prestise, harga diri. Puja gengsi dengan orientasi dekorasi.
Kondisi ini membuka peluang usaha model nurseri yang memesat dengan sangat cepat. Puncak pujapuji keterpikatan tanaman hias ini adalah munculnya generasi Gelombang Cinta yang harganya bisa begitu tidak masuk akal. Saya teringat pada suatu sore, adik saya tiba-tiba berkunjung dari Solo karena mengejar sebuah tanaman yang namanya terasa asing di telinga saya, Gelombang Cinta. Hal yang teramat mengejutkan adalah harga tanaman yang dibelinya itu. 3 juta rupiah! Jumlah nominal yang terasa sangat tidak masuk akal. Setara dengan harga rumah kontrakan kami untuk satu tahun yang pembayarannya pun biasanya kami cicil. Hal yang lebih mengejutkan adalah kabar dari adik saya tersebut keesokan harinya yang menceritakan kalau tanaman tersebut terjual dengan bandrol 15 juta rupiah. Sebelum sampai di pintu rumah, bahkan.
Saat masa keemasan tanaman ini, harga satu tanaman Gelombang Cinta ini bisa setara dengan harga mobil. Pernah dihargai setara dengan Suzuki Taruna. 90 juta-an. Pikat dengan konsep logika seperti apa yang bisa menjelaskan fenomena tersebut kecuali keberpujaan akanritual pajang-memajang demi kemanjaan visualitas sahaja.
Dalam masyarakat Jawa ada sanepan, guyonan umum yang bermakna sindiran. Arti katanya adalah mustahil untuk mencemooh harga yang terlalu melambung. Pernyataannya adalah “Mosok’o dibayar nganggo godong” (masak akan dibayar pakai daun). Dan pada masa-masa kejayaan Gelombang Cinta ini pernyataan tersebut ternyata menemukan simpul realitasnya. Sebuah gelisah zaman.
Dalam biografinya, kedahsyatan ‘harga’ tanaman ini ternyata mengempis dengan tiba-tiba. Usaha dadakan serba nurseri bertumbangan. Pepatah yang menyatakan bahwa sesuatu yang cepat meroket memang akan dengan lebih mudah terpelanting ternyata benar-benar bijak adanya. Bisnis mahal yang tidak mudah dimulai ini menjanjikan hasil dan keuntungan yang menggiurkan. Pikat kegiuran ini berpotensi memabukkan para pelakunya. Dan bila tidak berpijak pada sepenuh kesadaran maka justru akan memerosokkan.
Bisa dibayangkan bila seseorang berpegang pada usaha ini dan dijadikan sandaran untuk memasuki jenjang pernikahan. Saat usahanya menyusut, rumah tanggapun surut entah bagaimana. Usaha dengan sandar penopang yang melompong dan tidak mewariskan kekukuhan sistem kecuali puja tampilan yang serba sesaat alias musim-musiman ini, bisa jadi hanya seperti peragawati yang melintas sesaat di catwalk dengan rancangan busana model terbaru. Indah, menggiurkan tetapi hanya sekedar numpang lewat. Bagi yang berduit dan para pemuja fesyen, maka ia pasti bersegera untuk membelanjakan uangnya. Bagi yang hanya sekedar nonton, maka ia akan dipeningkan dengan angan-angan ingin yang memenuhi ceruk pikirannya.
Kisah perjalanan kerumah-tanggaannya pun bisa menggak-menggok dan serba oleng. Konsep keluarga dibangun atas dasar konsepsi iming-iming mimpi dan harapan untuk suatu saat bisnis itu kan berkecambah kembali. Masalah dilerai dengan sampan harap-mengharap. Jauh dari upaya perjuangan membangunkan keberhidupan dan menghayati kehidupan. Berdoa arus dan angin akan turut menuntun laju si perahu?
Lakon Reformasi ala Orde Baru
Ada ungkapan populer bahwa pergantian dasar kemimpinan di Indonesia selalu dibarengi dengan pergolakan dan selalu menelan banyak korban. Dimulai dengan revolusi yang melahirkan negara Indonesia. Ontran-ontran pergantian dari orde lama ke orde baru. Juga saat upaya penumbangan orde baru. Penumbangan orde terlama Indonesia itu terjadi 14 tahun silam. Ketimpangan penguasaan negara dan ketidakpercayaan publik terhadap para pengelola negara meretas jalannya sendiri da menglahirkan perlawanan dan mengobarkan keberanian massa rakyat untuk bergerak dinamis dengan turun ke jalan. Melakukan unjuk rasa dan unjuk kekuatan.
Gembar-gembor demokrasi yang dianut pemerintah dalam menata sistem negara dijajal kebermutuannya. Digoyahkan kekuatan konsepnya. Pilihan rakyat yang konon terpantau lewat pemilihan umum sebagai simbol demokrasi ternyata ditolak oleh massa rakyat itu sendiri. Pendidikan politik yang canggih, karena lewat praktek rasa dan pencitaan elemen masyarakat bangsa dalam alur realitas. Masyarakat yang duduk nyaman pun tiba-tiba terhenyak oleh kondisi bangsanya. Kata kemajuan dan keberhasilan yang selalu digaung-gaungkan adalah candu yang melenakan ternyata. Tumpukan hutang dan serangkaian pengkhianatan dengan merek khas Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme telah berkesanggupan melukai hati nurani rakyat. Rakyat serta merta berada dalam satu payung rasa yang sama. Terpana bersama-sama. Geleng-geleng kepala atas tingkah polah para anggota Dewan Perwakilan Rakyat Yang Terhormat, yang ternyata tidak mewakili ungkapan hati nurani mereka. Lantas, mereka mewakili siapa?
Kegerahan ini memantik rasa lara yang seragam seirama. Massa rakyat pu bergerak bersama. Nostalgia kekerasan masa revolusi bangkit demi kemartaban bangsa dan negara. Aparat negara pun dengan terpaksa berhadapan dengan mahasiswa dan masyarakat yang seyogyanya dilindunginya. Pertengahan tahun 1998, demonstrasi besar pun melanda kota-kota besar di Indonesia. Kematian mahasiswa Universitas Atmajaya Yogyakarta yang bernama Moses menjadi mortir penggalangan kekuatan masal masyarakat kampus untuk bergerak dalam satu payung perjuangan. Merobohkan rezim yang berkuasa. Revolusi ala orde baru ini berjalan tanpa pengelolaan strategi yang taktis dan futuristik. Rawan untuk tumbang dan gamang dalam berjalan.
Kekerasan dan penjarahan meletus di berbagai wilayah ekonomi. Akumulasi kelelahan masyarakat secara fundamental hadir begitu telanjang. Jiwa pengecut dan karakteristik maling dan perampok menyebar bagai virus dan menular dengan luar biasa. Pusat-pusat perdagangan tuntas dengan sekedipan mata. Kejerian meluas dan melukai setiap lapis rasa masyarakatnya. Biografi kotaberkota pun memeristiwai endus kesakitannya. Mengisahkan biografi kelaraan pada tikungan gerak zaman. Sakan lupa ada tunas-tunas muda yang belum tiba saatnya untuk meretas ranggas. Menjamu sekarat kanak-kanaknya.
Polisi dan tentara dipaksa menepikan para anak bangsanya dipinggir panggung kehidupan. Bersinergi dengan waktu mengatur dan menskenariokan pentas baru yang dadakan pada panggung lama. Pemain profesional pun berpura-pura gagu. Bertingkah seakan mengalami demam panggung akut. Melepaskan diri dari tanggung jawab kesuksesan cerita drama dadakan itu. Para aktor baru bersikap sok-sok profesional dan malah dijadikan boneka dan kacung-kacung demi kelancaran alur cerita. Menjadi pion-pion yang petentengan berdiri di depan dengan gagah. Berjalan tanpa berpikir panjang karena langkah memang tidak boleh terlalu panjang, cukup selangkah demi setapak.
Orde Baru ala Reformasi
Sudah 14 tahun panggung lama itu menggelar sendratari kontemporer yang gemerlap. Tidak mau mengikuti pakem katanya, tetapi sangat patuh pada ritual sesaji yang malah luar biasa pakem. Memuja upeti-upeti layaknya raja-raja masa lalu. Saling memback-up layaknya para pemain teater profesional. Membiarkan penonton bosan dan kehilangan selera untuk duduk nyaman dalam pikat lakon drama yang menggugah rasa dan seluruh karsa. Lakon-lakon kliselah yang tergarap. Muncul di atas panggung dengan senandung normatif yang agung. Dan sengaja di dengungkan.
Lakon korupsi dan drama kenaikan BBM menjadi suguhan cerita yang sekan tiada habisnya. Sendratari konspirasi dan persekongkolan dilakonkan dengan gandes luwes dan sangat telanjang. Bukan pornografi, katanya, karena ini atas nama seni berpolitik. Bukan pula pornoaksi, tangkisnya. meski banyak suguhan nudis dan perselingkuhan gaya klasik karena ini adalah tarian dan kerja seni. Bukan pelanggaran hukum karena ini adalah panggung untuk mengais rejeki. Rejeki itu bukan korupsi. Bukan pula persekongkolan maling dan perampok karena ada peraturan yang melindungi gerombolan ala si berat di komik Donal Bebek ini.
Penonton yan baik hendaknya diam karena penonton profesional itu adalah penikmat seni sejati. Seperti layaknya penonton final tenis lapangan di Wimbledon. Tidak berisik dan tidak boleh mengusik konsentrasi pemain. Pemain dan penonton adalah komunitas yang tak sama. Tidak ada hubungpenghubung antarnya.
Hanya, hal yang perlu dihati-hatikan sedikit adalah adanya kemungkinan bila nanti gedung pertunjukkannya roboh atau terbakar. Penonton boleh lari kemana saja. Bila ingin masuk surga ya tetaplah diam menunggu kematian sambil berpasrah karena memang begitulah Pepesten Sang Maha Asih atas nasib gedung pertunjukan tua Indonesia ini. Bukankah kematian adalah sebuah kerinduan dan hidup adalah perayaan atasnya kata Muhammad Damm. Jadi mau menyambut kerinduan atau merayakan kerinduan itu adalah hak penonton sekalian.
Hal yang perlu untuk diketahui adalah bahwa dalam setiap gedung pertunjukan berpanggung, selalu ada jalan keluar dari kamar ganti pemain. Dan ada banyak helikopter pribadi siap terbang untuk mengamankan para aktris dan aktor ini dari bencana-bencana tak terduga. Dan gedung hebat ini adalah gedung pertunjukan nan canggih 27 lantai. Satu-satunya di dunia.
Pare, 31 Maret 2012
Senin, 07 Mei 2012
AGAMA dan PERUBAHAN SOSIAL
Agama dan Perubahan Sosial
Oleh. Mr. Dani afala-ASSET BOY
Salah satu pemegang peran dari perubahan sosial adalah pemuda yang
menjadi simbol penggerak perubahan dengan segala potensi yang dimiliki
serta dengan semangatnya yang membara. Pemuda menjadi bagian terpenting
dalam tatanan masyarakat, menjadi motor penggerak dalam melakukan
perubahan social. Kehidupan bumi ini membutuhkan lebih dari kehadiran-
kehadiran dari para penghuninya. Yaitu membutuhkan semangat, optimisme,
dan kekuatan sebagaimana yang dimiliki oleh para pemuda. Karena ditengah
kehidupan saat ini, realitas social telah berada pada titik yang
membahayakan, penuh jebakan, dan selalu menipu dengan berbagai
tampilannya yang popular, romantic, menghipnotis.
Problem
terbesar saat ini adalah adanya westoknisasi melalui budaya, pendidikan,
teknologi, perkembangan industry dan eastoknisasi sendiri sehingga
perilaku kehidupan masyarakat Indonesia tidak lagi berada pada kondisi
budaya dan kepribadiannya sebagai bangsa Indonesia. Munculnya budaya
yang menggrogoti nilai-nilai kemanusiaan di Indonesia seperti, free sex,
pornografi, pergaulan bebas, korupsi telah meracuni kehidupan bangsa
Indonesia yang beradab dan luhur. Kondisi Ini berdampak besar pada
kehidupan beragama, dimana agama tidak lagi dijadikan sebagai pijakan
moral dalam bertindak. Agama hanya menjadi sarana pelarian atas
kekecewaan manusia dalam menjalani hidupnya. Kehidupan social yang tidak
stabil itu, tidak hanay memunculkan kelompok-kelompok agama yang
eksklusi tapi juga fanatic dan ekstrim, yang tidak perduli pada orang
lain kecuali keselamatan kelompoknya. Realitas social hari ini telah
menggambarkan kepada kita akan kehidupan beragama yang semakin jauh dari
moralitas keberagamaan itu sendiri. Agama hanya dipahami sebagai
ritualisasi, simbolisasi, eforia yang kehilangan makna dan tanpa esensi.
Ini dapat dilihat dari pengindentikan antara agama dengan terorisme,
perusakan, dan kekerasan. Agama kemudian disimpulkan menjadi symbol
perusak tatanan social. Dalam artian agama menjadi dalil bagi pembenaran
atas segala tindakan yang tak manusiawi.
Disisi lainnya, hal
yang paling bermasalah dalam kehidupan beragama adalah perubahan
paradigm (main set) yang menempatkan relasi manusia pada posisi
subyek-obyek, dimana yang salah satu lebih unggul dari lainnya. Manusia
memandang orang lain sebagai lawan, obyek yang harus ditindaki dan di
eksploitasi. Kondisi ini diakibatkan oleh pengeringan dimensi etis dari
agama itu sendiri karena keterputusan dalam menghubungakan dimensi nilai
dan praktiknya sehingga mengarahkan manusia pada kehidupan yang serba
kacau, kondisi hyperreligiousity dan anarkisme.
Dalam ajaran
agama khususnya Islam, Tuhan telah menciptakan segala sesuatunya dengan
baik dan sempurna termasuk didalamnya adalah bagaimana menata masyarakat
untuk membangun kebaikan bersama (kesejahteraan). Dalam pemikiran yang
rasional, agama menjadi dasar, pedoman, rujukan dan referensi, dalil
atas tindakan manusia meliputi semua aktivitas yang dilakukannya. Agama
memegang posisi inti, menjadi dasar yang esensial dari semua dimensi
kehidupan. Sehingga Agama harusnya menjadi rujukan atas semua dalil,
doktrin, dan segala tindakan manusia. Untuk itu, manusia membutuhkan
pemahaman yang baik tentang agama yang dianutnya. Pemahaman yang baik
atas agama, akan mengarah pada tindakan yang baik pula dalam pengaturan
kehidupan manusia.
“Meskipun iman anda tidak sama dengan saya, tapi saya menerima anda apa adanya” (franz Magnis Suseno).
Dalam beberapa ajaran agama tentang kehidupan yang bisa menjadi
inspirasi bagi hidup, khusus agama Nasrani, selalu mengajarkan konsep
“kasih”. Kasih adalah Tuhan, sehingga setiap pengikut agama harus saling
mengasihi satu sama lainnya. Agama harus menjadi kerinduan bagi seluruh
manusia. Yaitu memperlakukan orang lain sebagai bagian dari diri kita,
membangun keperdulian yang tinggi terhadap orang lain. Kita harus
mencintai manusia lainnya kerena kecintaan kita kepada Sang Maha Pemberi
Cinta. Dalam artian kecintaan yang dimiliki oleh manusia adalah
manifestasi dari kecintaan kita kepada Tuhan dengan segala kebesarannya.
Kecintaan dan kasih kepada orang lain adalah kasih pada sesuatu yang
kongrit dan pada dasarnya manusia mengawali kecintaannya pada sesuatu
yang kongkrit untuk bisa mencintai Tuhan yang sangat abstrak. Dalam
artian ini, manusia harus banyak-banyak mengasih sesamanya.
Beberapa pendapat para pemikir tentang hubungan yang diistilahkan dengan
Religiousitas teologis dan religiousitas humanity, berpendapat bahwa
dalam dunia kontemporer ini dengan berbagai doktrin yang di bawahnya
telah memisahkan, mengaburkan garis antara Religiousitas teologis dan
religiousitas humanity. Ada keterputusan antara nilai keagamaan yang
dipahami dan bagaimana manusia harus berperilaku dalam kehidupan.
Kerenggangan antara kedua hubungan ini berakibat pada realitas kehidupan
manusia yang menggalau dan penuh jebakan. Pada akhirnya, agama menjadi
bagian pelengkap yang sesekali ditilik dan dipegang, agama adalah bentuk
pelarian, dan pada titik tertentu agama di jadikan sebagai komoditi
atas pencarian keuntungan para kapitalis.
Pada ranah problem
social lainnya, ada pertentangan antara kelompok umat beragama yang
seiman maupun tak seimana yang tak pernah terdamaikan oleh kesepakatan
dan dialog. Ini terjadi karena adanya penafian suatu kelompok atas
kelompok lainnya. Sehingga kehidupan beragama dipenuhi dengan
kecurigaan, pesimis, intoleransi karena alasan perbedaan pemahaman,
atribut, dan metodologi perjuangan. Apatalagi dengan kondisi ini
Indonesia yang Plural dengan berbagai mazhab berpikir, agama dan
kepercayaan lainnya. Sehingga model keberagamaan yang ekslusif menjadi
trend di tengah kondisi social yang tidak stabil.
Berbagai
perdebatan, kecuriagaan, dan pertentangan antara muslim, non muslim dan
seiman sebenarnya dikarenakan adanya konstruksi social atas paradigm
yang mendominasi kehidupan manusia. Paradigma yang menggiring manusia
untuk keluar dari dirinya. Mengajak manusia untuk melupakan yang
esensial dan lebih menyibukan diri dengan realitas yang terbaru dan
popular. Sehingga manusia lupa melakukan penilaian atas dirinya
(autokritik) untuk menemukan kondisi sadar atas dirinya sendiri. Manusia
terlalu sibuk dengan kehidupan social yang terkonstruk oleh media dan
terjebak dalam dunia yang penuh dengan symbol beserta variasinya. Oleh
karena itu, sebenarnya agama menjadi penting ditengah kondisi social
yang mengila dan menyesatkan. Pentingnya agama harus terbangun dari
kesadaran yang utuh dengan kemampuan membaca realitas social yang
terjadi dan mengerakkan manusia untuk mencapai titik kualitas
kemanusiaannya. Metode kontemplasi merupakan salah satu metode untuk
mendekonstruksi diri, bisa mengenal diri, sehingga memiliki pemahaman
yang jelas akan arah dan bagaimana membangun kehidupan beragama dan
bersosial.
Agama harus dipahami dengan baik, Agama harus
dibangun dari kesadaran. Agama hanya bisa menjadi perubah social ketika
mampu membaca konteks social yang terjadi, sehingga agama akan
memberikan solusi atas permasalahan social yang terjadi. Manusia harus
membangun kesadarannya secara utuh dengan agama sebagai rujukan, karena
perubahan social butuh agent, pelaku, actor penggerak perubahan. Dengan
agama yang telah mengajarkan kasih dan kedamaian pada setiap manusia
serta kasih dan kedamaian akan melahirkan kepedulian dan ketulusan dalam
berbagi antara sesala dan membangun tolerasi antar semama. Agama
kemudian menjadi hal penting untuk dijadikan landasan dan pedoman hidup
atas pencarian diri dan perubahan social yang lebih baik.
Disampaikan pada acara Diskusi Terbuka RUMAH ANAK BANGSA
Di Mahesa Institute. Pare-Kediri
Senin, 16 April 2012
PEREMPUAN dan TANTANGAN ZAMAN
PEREMPUAN, PENGETAHUAN, dan PERJUANGAN
By: Winda Junita Ilyas
Lahir sebagai seorang perempuan adalah kodrat Sang Pencipta
yang tak dapat lagi ditolak keberadaannya dan sampai sekarang saya bersyukur
akan ‘keperempuanan’ saya. Kata perempuan yang baru dapat saya pahami maknanya
semenjak berada di bangku kuliah. Secara semantik perempuan berasal dari kata
“empu” yang diartikan sebagai orang yang ahli atau mampu. Kata Empu yang tak
asing di telinga kita seperti Empu Tantular, Empu Gandring, dan lainnya. Beliau
adalah individu yang berani, cerdas, dan menjadi ispirasi bagi masyarakatnya
layaknya seorang guru. Begitu pula pengertian secara bahasa yang semestinya
dapat dipahami oleh perempuan atau bahkan seluruh masyarakat.
Namun apakah benar adanya bahwa perempuan seharusnya adalah
pribadi yang kuat dan cerdas. Bagaimana dengan anggapan bahwa perempuan
sebaiknya tidak perlu banyak berkata, tidak perlu sekolah tinggi-tinggi karena
akan kembali ke dapur juga, perempuan tidak bisa jadi pemimpin, dan opini
lainnya?
Semenjak saya memakai seragam putih biru (baca:SMP) dan
berada di lingkungan yang cukup berada, teman-teman yang cukup memperhatikan
fashion hari ini, atmosfer belajar yang dinamis (baca: kadang rajin, kadang
malas) membuat saya cukup terbawa arus dengan kondisi ini. Terlebih lagi
masa-masa SMP adalah masa pubertas dimana seorang anak perempuan ingin terlihat
cantik dan diperhatikan oleh orang-orang di sekitarnya. Keinginan untuk membeli
sepatu bermerk, memakai produk-produk kecantikan utamanya pemutih kulit untuk
berusaha mengubah kulit saya yang kata orang coklat dan sangat jarang ditemukan
bahwa perempuan yang berkulit coklat itu bisa dikatakan cantik. Rambut yang dipermak hingga bisa seperti
rambut Dian Sastro yang lurus, rapi, dan lembut. Luar biasa, ternyata
pengeluaran yang besar pada masa-masa putih biru saya ini hanya karena
kepuasaan sesaat dan pengakuan di orang-orang di sekitar saya bahwa “saya
ada(baca: eksis)”. Terlebih lagi teman-teman yang berada dalam kepengurusan
OSIS adalah orang-orang yang terpilih karena mereka cukup “eksis” baik dalam
hal “gaya berpakaian” maupun pergaulan sosial. Kondisi ini terus berlanjut
hingga ke gerbang pendidikan formal selanjutnya, Sekolah Menengah Atas. Namun
terdapat beberapa perbedaan signifikan yang saya alami karena sekolah ini
adalah salah satu sekolah unggulan di kota Makassar. Atmosfer belajar
(baca:intelektual), persaingan dan religius sangat kuat menghiasi hari-hari
saya di sekolah ini, SMA Negeri 17 Makassar. Pemahaman tentang keorganisasian
mulai muncul ketika bergabung di organisasi Paskibra (Pasukan Pengibar Bendera)
dan MPK (Majelis Permusyawaratan Kelas) namun tetap eksis dengan mengikuti
perkembangan gaya baru hari ini yang di saat itu baju-baju karya Distro sedang
digandrungi oleh anak muda Makassar. Langganan majalah distropun kelak saya
lakoni, gaya rambut “mullet” mirip Agnes Monica menjadi pilihan saya, dan
celana botol (baca:celana ketat utamanya bagian bawah) membentuk seperti botol
yang masih sampai sekarang menjadi favorit di kalangan perempuan maupun lelaki.
Tak ayal konsumerisme pun menjamur di kalangan anak muda
utamnya perempuan yang senantiasa membutuhkan ini dan itu untuk melengkapi
kesempurnaan fisiknya sehingga tampak menawan dan pasar (baca:kapitalis) tentunya
sangat menikmati hobi kebanyakan perempuan Indonesia ini. Semakin banyak
kebutuhan mereka, maka akan semakin banyak pula keuntungan individu yang mereka
peroleh sehingga mereka pun semakin kaya dengan “pembentukan hegemoninya (baca:
doktrinasi paradigma)” dan kaum perempuan semakin terbuai akan kecantikannya
sesuai dengan “paradigma cantik yang telah di hegemoni oleh pasar” yaitu cantik
adalah ketika seorang perempuan memiliki kulit yang putih dan halus, rambut
yang panjang dan lurus, hidung yang mancung, mata yang bulat, tubuh yang
langsing, dan lainnya. Di negara lain seperti Thailand, perempuan cantik adalah
yang memakai banyak kalung di lehernya hingga lehernya semakin lama semakin
tinggi dengan keberadaan kalung yang semakin bertambah. Di negara afrika,
perempuan yang cantik adalah yang memiliki tubuh yang besar dan berkulit hitam.
Ternyata terdapat perbedaan di beberapa negara tersebut, sehingga tak pantas
ketika kita mencoba untuk menyamaratakan tentang konsep kecantikan seorang
perempuan secara fisik tersebut. Lalu, bagaimana dengan kemampuan intelektual
seorang perempuan?
Wacana ini dulunya masih menjadi tabu di beberapa daerah di
Indonesia. Namun untk hari ini perempuan mulai bangkit mengukir sejarah
intelektualnya. Walaupun masih dominan pandangan bahwa perempuan sebaiknya di
rumah saja untuk melayani suami, merawat anak, dan memasak. pekerjaan tersebut
adalahpekerjaan yang sangat mulia namun perempuan adalah salah satu ciptaan
Tuhan dimana telah ditiupkan Ruh Ilahi di dalamnya sehingga kita patut untuk
bertanggung jawab atas segala kondisi yang ada di masyarakat termasuk kezaliman
yang akhir-kahir ini sering terjadi layaknya Korupsi, konstruksi paradigma
kapitalis, ketidakadilan, kemiskinan, dan realita lainnya.
Saya pernah membaca cerita tentang salah satu perempuan
mulia yaitu Fatimah Zahra anak dari Rasulullah SAW dan Siti Khadijah. Beliau
yang dalam prinsipnya lebih memilih kesusahan daripada kemudahan, menyukai
kesederhanaan dibandingkan kemewahan, mencintai orang lain daripada diri sendiri,
dan lebih suka menentang kezaliman daripada DIAM. Fatimah as adalah pejuang Tuhan di hadapan
kezaliman, khususnya setelah Rasulullah saw wafat, ketika dirinya melancarkan
protes terhadap berbagai ketidakadilan dengan keberanian luar biasa. Dua
diantara penentangannya yang penting tercermin dari dua khutbah yang
disampaikannya dimesjid dan di rumahnya ketika orang-orang menjenguknya tatkala
sakit. (buku: membela perempuan, menakar feminisme dengan nalar agama).
Selain itu cerita tentang Bunda Theresa seorang biarawti
yang taat yang melihat Ruh Ilahi pada kaum Papa atau kamu mustadhafin
(baca:kaum tertindas) sehingga beliau mendedikasikan dirinya dengan mengabdi
pada suatu daerah di India bernama Calcutta dimana terdapat penduduk yang
sangat miskin, susah memperoleh kesehatan layak dan pendidikan yang memadai.
Perjuangan beliau dengan cinta membawa hasil yang signifikan bagi masyarakat
Calcutta pada saat itu, ditandai dengan anak-anak yang mulai bisa mengenal
huruf dan kata-kata, masyarakat yang dapat memperoleh pengobatan gratis, dan
pembatalan penggusuran daerah Calcutta yang akan dimanfaatkan sebagai lahan
bisnis oleh yang terhormat birokrasi. Cerminan tokoh perempuan seperti Fatimah
Zahra dan Bunda Theresa yang sangat jarang kita temukan figurnya di media-media
yang tersohor. Media dominan memunculkan tokoh-tokoh perempuan layaknya artis
dengan kehidupan glamour dan megah (baca:hedonism) sehingga bagi
manusia-manusia yang senantiasa mencari jati diri lewat figure yang mereka
dambakan pastinya akan mengikuti apa yang dilakukan oleh idolanya. Belum lagi
karena TV menjadi media yang paling utama dan terfavorit bagi sebagian penduduk
Indonesia, sehingga buku-buku bacaan mulai kehilangan pamornya. Jadilah
pribadi-pribadi yang pasif dan monoton serta robot kapitalis.
Memasuki miniatur
kehidupan (baca: kampus) adalah momen yang tak terduga saat terjadinya
dekonstruksi (baca:pembongkaran) dan rekonstruksi (baca:penyusunan kembali)
pola pikir atau mind-set individu-individu
melalui proses kaderisasi yang tidak akan kami dapat ditemukan di ruang-ruang
pendidikan formal. Pandangan perihal perempuan pun semakin membuka cakrawala
berpikir saya bahwa berbicara tentang perempuan tidak sesederhana apa yang saya bayangkan dan alami
selama ini, tetapi memiliki makna yang lebih dalam. Awalnya perempuan cantik
adalah yang secara fisik mirip dengan Dian Sastro atau Luna Maya, kemudian
salah satu senior saya membahasakan bahwa perempuan cantik adalah yang buku
menjadi sahabat setianya, diskusi adalah ruang aplikasi wacananya, dan menulis
adalah kesetiannya pada peradaban. Kalimat yang masih menjadi wacana favorit di
kalangan mahasiswa tersebut kadang masih saja membuat mereka ragu dan cenderung
malas untuk memulai budaya baru, budaya yang mereka sebut budaya ilmiah (baca:
membaca, berdiskusi, dan menulis). Utamanya bagi perempuan-perempuan di kampus
sehingga mungkin sebab itu masih cukup jarang ditemui pembicara, motivator, dan
penulis buku seorang perempuan. Dan sampai pada wacana bahwa perempuan adalah
makhluk ciptaan Tuhan yang berasal dari tanah dan mempunyai kesempatan yang
sama dalam hal berlaku menuju kesempurnaan Sang Maha Sempurna. Yang membedakan
perempuan dengan laki-laki hanyalah kodrat secara fisik yang mereka alami bahwa
perempuan dapat melahirkan, menyusui, memiliki ovum dan memiliki cirri-ciri
fisik yang mempertegas keperempuanannya. Sedangkan laki-laki memiliki sperma
dan tanda –tanda fisik lainnya yang telah diatur sedemikian rupa oleh Sang Maha
Pencipta. Dan selebihnya adalah sama kecuali dalam hal fikih yang mempunyai
aturan-aturan yang berbeda. Kualitas kemanusiaan seseorang ditentukan oleh
individu masing-masing baik laki-laki maupun perempuan sehingga kemampuan untuk
cerdas, militan, bermasyarakat dan berkontribusi terhadap bumi adalah tanggung
jawab setiap manusia dengan berbagai metode yang mereka pilih seperti menjadi
pedagang, pendidik, politisi, psikolog, ekonom, menteri bahkan seorang
presiden. Sehingga pandangan Aristoteles tentang perempuan yaitu (384-322 SM)
memandang bahwa perempuan sebagai manusia “yang tidak sempurna”. Perempuan
adalah “pria yang tidak produktif”. Hanya prialah manusia paripurna
(baca:sempurna). “hubungan pria dan perempuan, secara alamiah, adalah bahwa
pria lebih tinggi dan perempuan lebih rendah, juga prialah yang menguasai sementara
perempuan yang dikuasai”. Pandangan ini dapat runtuh dengan sendirinya dengan
beberapa referensi pembanding lainnya dan diikuti dengan semangat perempuan
hari ini.
Perempuan adalah semesta pertama bagi manusia karena
perempuan memiliki rahim. Sekolah pertama bagi anak-anaknya dan memiliki ikatan
batin yang cukup kuat mulai dari masa hamil, menyusui, dan merawat anaknya
hingga dewasa sehingga perempuan wajib cerdas dengan memiliki pengetahuan yang
holistik dan bijak dalam berbagai kondisi. Kendati demikian, maka tidak hanya
generasi berkualitas yang tercipta bahkan peradaban yang terdidik.
Meminjam istilah dari salah seorang perempuan hebat menurut
saya, Ms.Uun , bahwa manusia adalah kitab yang sehendaknya memiliki sampul,
judul dan isi dimana sampul adalah
tampilan fisik kita, judul adalah nama kita dan isi adalah keseluruhan semesta
yaitu intelektual, spiritual, dan emosional. Sudahkan kita mengukir isi buku
kita wahai perempuan ?
Sebuah puisi oleh Eni Rochyati ini kupersembahkan bagi
kalian perempuan Indonesia yang senantiasa rindu akan hakikat dirimu dan
bangkit untuk menyentuh peradaban.
Perempuan!
Kau taklagi sendiri
Kau tak lagi bermimpi
Berkacalah
Ketika keterpurukan negeri ini
Belalaklah matamu
Apa yang bisa kau lakukan
Demi diri
Ukirlah karyamu
Himpunlah kekuatanmu
Ciptakanlah keinginanmu hidupkanlah dirimu
Dari karyamu
Esok..tiada lagi terdengar rengekan, rinntihan
Perempuan
Kau telah mampu bangkit dan mencipta
Karyamu pembangkit generasi
Wahai perempuan mulia, Jadilah Intelektual Progresif yang senantiasa
rindu akan pengetahuan dan tidak membungkam diri dengan pengetahuanmu. Dan
hiasilah segalanya dengan cinta karena cinta seperti cahaya yang akan
memberikan kehangatan dalam hidupmu.
Selasa, 10 April 2012
Bahasa Inggris Menurut Perspektif ISLAM
Bahasa
Inggris Menurut Islam
“All
of the problem that confront the Muslim world today the educational problem is
the most challenging. The future of the Muslim world will depend upon the way
it responds to this challenge”,
Artinya:
Dari sekian banyak permasalahan yang merupakan tantangan terhadap dunia Islam
dewasa ini, maka masalah pendidikan merupakan masalah yang paling menantang.
Masa depan dunia Islam tergantung kepada cara dunia Islam menjawab dan
memecahkan tantangan ini.
Pernyataan Khursid Ahmad diatas
menunjukkan bahwa pendidikan merupakan kebutuhan penting bagi setiap manusia,
masyarakat, maupun bangsa, maka pendidikan harus selalu ditumbuhkembangkan
secara sistematis dan visioner. Berangkat dari kerangka ini, maka upaya
pendidikan yang dilakukan suatu bangsa selalu memiliki hubungan yang signifikan
dengan rekayasa bangsa tersebut di masa mendatang.
Dan perlu kita ketahui bersama bahwa
di jaman globalisasi ini, kita tidak hanya dituntut untuk mempelajari
pendidikan yang bersifat ukhrawi
melainkan juga duniawi. Karena kita
tidak hidup sendirian tapi bermasyarakat, kita tidak hidup di Negara yang hanya
satu-satunya di dunia, melainkan bertetangga. Dan dalam bertetangga pasti ada
hubungan, dalam hubungan pasti ada komunikasi dan dalam komunikasi pasti ada
bahasa. Bahasa apakah yang akan kita gunakan dalam berkomunikasi dengan Negara
lain? atau mempelajari ilmu atau buku-buku dari Negara lain yang tidak
se-bahasa dengan kita? Tentunya dunia sudah menetapkan satu bahasa
internasional pemersatu antar negara untuk melakukan komunikasi, yaitu bahasa
inggris.
Nah, sebagai Muslim bagaimanakah
hukumnya mempelajari bahasa inggris yang merupakan bahasanya orang-orang yang
menyekutukan Allah? Apakah para pelajar yang mempelajari bahasa inggris
termasuk pada Hadits:
“Barangsiapa
yang menyerupai suatu kaum, maka ia termasuk golongan mereka”.?
Sekarang ini telah terjadi
kesalahfahaman tentang hukum belajar bahasa Inggris di kalangan ikhwan
salafiyyin. Sebagian mereka jatuh ke dalam ghuluw karena mengharamkan belajar
bahasa Inggris secara mutlak dan mencela madrasah yang mengajarkan bahasa
Inggris padahal madrasah tersebut juga bermanhaj salaf sebagaimana rekomendasi
sebagian ulama’ dakwah salafiyah. Bahkan di antara mereka ada yang keterlaluan
dalam bersikap dan meng-hizbi-kan saudara mereka yang sedang belajar bahasa
Inggris padahal ia dalam posisi sangat membutuhkannya.
Tulisan ini akan sedikit memberikan
pencerahan kepada para pembaca tentang sikap para ulama salaf terhadap bahasa
Ajam (non-Arab) termasuk juga bahasa Inggris. Dengan demikian kita dapat
merancang porsi bahasa dalam pendidikan anak-anak kita.
Para ulama membagi hukum belajar bahasa
Ajam menjadi 2 keadaan:
* Membiasakan bahasa Ajam dalam percakapan sehari-hari
*
Menjadikan bahasa Ajam sebagai wasilah (perantara) untuk kepentingan dakwah
atau untuk kebutuhan duniawi
Larangan Membiasakan
Bahasa Ajam
Telah datang larangan dari Salafush
Shalih tentang larangan mempelajari bahasa Ajam (termasuk bahasa Inggris) dengan
tujuan pemakaian sehari-hari atau sebagai kebiasaan.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah
berkata:
“Dan
adapun membiasakan berbicara dengan selain bahasa Arab yang merupakan syi’ar
Al-Islam dan bahasa Al-Quran sampai bahasa tersebut menjadi adat (kebiasaan) bagi
suatu negeri dan penduduknya, juga bagi penghuni rumah tangga, juga antara
seseorang dengan temannya, bagi penduduk pasar, bagi pemerintahan atau dinas
pemerintah atau menjadi kebiasaan bagi ahli fiqih, maka tidak diragukan lagi
bahwa ini (membiasakan selain bahasa Arab) adalah dibenci karena termasuk
tasyabbuh dengan orang-orang Ajam dan perkara tersebut adalah dibenci
sebagaimana keterangan terdahulu.” (Iqtidla’ Shirathil Mustaqim: 206).
Mempelajari Bahasa
Inggris atau Ajam sebagai Wasilah
Termasuk dalam Bab ‘mempelajari
bahasa Ajam sebagai wasilah’ yaitu mempelajarinya untuk kepentingan dakwah,
untuk mendekatkan pemahaman, saling berkomunikasi atau juga untuk memenuhi
kebutuhan duniawi seperti belajar ilmu kedokteran atau teknologi yang lainnya.
Ini karena semua manusia di muka
bumi ini memiliki bahasa yang berlainan sebagai tanda kekuasaan Allah U. Allah
U berfirman:
Al-Imam Al-Qurthubi berkata:
“Firman
Allah: “berlain-lainan bahasamu dan warna kulitmu” maksudnya adalah lisan yang
ada di dalam mulut. Dan di dalamnya ada perbedaan bahasa: bahasa Arab, bahasa
Ajam, bahasa Turki dan bahasa Rum. Dan juga perbedaan warna dalam rupa: kulit
putih, kulit hitam, kulit merah. Maka kamu tidaklah melihat seseorang kecuali
kamu dapat membedakan antaranya dan orang lain.” (Tafsir Al-Qurthubi:
14/18).
Dalam riwayat lain:
“Rasulullah memerintahkanku untuk
mempelajari bahasa Suryani.” (HR. At-Tirmidzi: 2639).
Hadits dan atsar di atas menunjukkan bolehnya
menggunakan bahasa Ajam (termasuk bahasa Inggris) sebagai wasilah dakwah untuk
memudahkan pemahaman ataupun wasilah duniawi seperti mempelajari ilmu
pengetahuan, teknologi dan kedokteran karena sampai sekarang masih sedikit
buku-buku teknologi yang diterjemahkan ke dalam bahasa Arab. Dan menggunakan
bahasa Inggris adalah seperlunya saja dan tidak boleh dimasyhurkan.
Tanya: “Apakah mempelajari bahasa
Inggris itu haram ataukah halal?”
Jawab: “Jika di sana ada kebutuhan agama atau duniawi untuk
mempelajari bahasa Inggris atau bahasa Asing lainnya maka tidak ada larangan
untuk mempelajarinya. Adapun jika tidak ada kebutuhan maka dibenci
mempelajarinya. (Al-Lajnah Ad-Daimah lil
Buhuts Al-Ilmiyyah wal Ifta’)
Fatwa Al-Allamah Al-Faqih Ibnu
Utsaimin:
Beliau ditanya tentang hukum
mempelajari bahasa Inggris di waktu sekarang?
Beliau menjawab: “Mempelajarinya
adalah wasilah. Jika engkau membutuhkannya seperti sebagai wasiah dakwah kepada
Allah maka kadang-kadang menjadi wajib. Jika kamu tidak membutuhkannya maka
jangan kamu sibukkan waktumu untuknya dan sibukkan dirimu dengan sesuatu yang
lebih penting dan lebih bermanfaat. Manusia berbeda-beda kebutuhan mereka
terhadapa bahasa Inggris. Dan Rasulullah telah memerintahkan Zaid bin Tsabit
untuk mempelajari bahasa Yahudi. Maka mempelajari bahasa Inggris termasuk
wasilah dari sekian banyak wasilah. Kalau kamu membutuhkannya silakan kamu
pelajari. Dan jika tidak maka jangan kamu sia-siakan waktumu dengannya.” (Majmu
Fatawa wa Rasail Al-Utsaimin: 26/52).
Kesimpulan
Mempelajari bahasa asing adalah
dihukumi sebagai wasilah saja dan boleh dipelajari jika ada kebutuhan agama
atau duniawi.
Untuk kepentingan pendidikan
anak-anak, kita harus memprioritaskan bahasa Arab sebagai bagian dari
pendidikan Al-Quran dan As-Sunnah. Porsi kedua adalah bahasa Indonesia sehingga
mereka bisa berdakwah di lingkungan masyarakatnya. Porsi ketiga adalah bahasa
asing seperti bahasa Inggris karena anak-anak kita juga memiliki hak untuk
mengerti teknologi duniawi.
Pertanyaan: Apakah belajar bahasa
Inggris haram atau halal ?
Jawaban: Jika ada kebutuhan dunia
atau agama untuk belajar bahasa Inggris atau yang lainnya dari bahasa asing
maka tidak dilarang untuk mempelajarinya, adapun jika jika tidak ada kebutuhan
maka mempelajarinya adalah makruh. (Fatawa Lajnah Da’imah 6/8864)
Pertanyaan:
Apakah mempelajari bahasa asing
(seperti bahasa Inggris, Jerman dan yang lainnya) merupakan bahasa orang kafir
Nashara, untuk bisa saling memahami khususnya dalam pekerjaan, safar, berobat
dan yang lainya dari hal-hal duniawiah, apakah hal itu haram atau halal ?
Jawaban:
Mempelajari selain bahasa Arab untuk
mengajak kepada Islam dan butuhnya seorang da’i akan hal itu kepada orang yang
mempelajarinya adalah sesuatu yang membawa maslahat atau bisa menolak mafsadah
(kerusakan) maka itu boleh bahkan bisa menjadi wajib tergantung kepada perbedaan
kondisi dan keadaan waktu, tempat, person dan juga niatnya.
(Syaikh
Abdul Aziz bin Abdullah bin Baaz)
Bagaimana hukum mempelajari bahasa
Inggris pada masa sekarang ini?
Asy Syaikh Muhammad bin Shalih Al
Utsaimin menjawab:
“Jika engkau membutuhkan maka
mempelajarinya adalah suatu alat sebagai sarana berdakwah kepada Allah. Bisa
jadi mempelajari bahasa Inggris hukumnya wajib, namun jika engkau tidak
membutuhkan janganlah engkau menyibukkan waktumu dengan hal itu.
Sibukkanlah dengan hal yang lebih
penting dan bermanfaat. Tingkat kepentingan masyarakat mempelajari bahasa
Inggris berbeda-beda. Nabi Shallallahu’alaihi wasallam pernah memerintah Zaid
bin Tsabit mempelajari bahasa Yahudi. Jadi mempelajari bahasa Inggris merupakan
alat saja. Sekiranya engkau membutuhkan maka engkau bisa mempelajari, jika
tidak maka janganlah menyia-nyiakan waktumu untuk mempelajarinya.
Syaikh Al Utsaimin ghafarallahu lahu juga ditanya:
Bagaimana pendapat anda tentang seorang penuntut ilmu yang mempelajari bahasa
Inggris, terlebih lagi bahasa itu nantinya digunakan untuk berdakwah di jalan
Allah?
Beliau rahimahullah menjawab:
Kami menilai bahwa mempelajari
bahasa Inggris, tidak diragukan lagi, merupakan sebuah alat (saja). Suatu alat
disebut baik jika memiliki tujuan-tujuan yang baik dan menjadi buruk jika
memiliki tujuan-tujuan yang buruk (pula). Tetapi sesuatu yang wajib untuk
dijauhi adalah jika engkau menjadikan bahasa Inggris sebagai suatu alternatif
daqi bahasa Arab, maka ini sungguh tidak boleh. Kami mendengar ada sebagian
orang bodoh berbincang-bincang dengan bahasa Inggris sebagai alternatif
penggati bahasa Arab.
Sampai-sampai ada orang bodoh yang
mengalami kerugian yang saya anggap mereka ini sebagai pengekor orang lain,
mereka mengajari cara salam non muslim pada anak-anak mereka. Mereka mengajari
anak-anak mereka untuk mengucapkan “bay bay” ketika hendak berpisaH atau
istilah lain yang serupa dengan itu. Karena upaya penggantian bahasa Arab
-bahasa Al-Qur’an dan merupakan bahasa termulia- dengan bahasa Inggris, haram
hukumnya.
Namun jika bahasa Inggris ini
digunakan sebagai sarana (alat) untuk berdakwah maka tidak diragukan lagi bahwa
penggunaan bahasa ini terkadang hukumnya menjadi wajib. Saya belum pernah
mempelajari bahasa Inggris dan saya dulu berharap ingin mempelajarinya.
Rasulullah SAW bersabda:
“Belajarlah kalian bahasanya suatu
kaum, maka kalian akan selamat dari tipu daya mereka”
By: Burhanuddin
A student from West Kalimantan
PARE dan MASA DEPAN INDONESIA
PARE DAN MASA DEPAN INDONESIA*
Orang sangat mulia adalah orang yang mempelopori suatu gerakan moral
yang berguna bagi generasinya dan juga generasi
berikutnya
selanjutnya adalah orang yang memberikan jasa besar
bagi masyarakat pada umumnya
dan selanjutnya adalah orang yang kata-katanya memberikan
pencerahan
dan inspirasi bagi orang lain
ini adalah tiga pencapaian yang tak akan mati dalam
kehidupan
(The Tso Chuan, abad ke-5
SM)
Pare
adalah salah satu titik perubahan Indonesia. Pare terlibat dalam
mencetak calon pemimpin masa depan, akan mencetak pengusaha masa depan, seniman
masa depan, agamawan masa depan dan guru masa depan.
Namun dibalik harapan dan mimpi indah tersebut,
terbersit suatu pertanyaan yang dalam, apakah kampung bahasa Pare
akan mencetak generasi koruptor , yang pintar tapi penghianat bangsa atau kampung bahasa Pare akan mencetak generasi pejuang.
Kita semua berharap di kampung bahasa Pare ini akan lahir generasi Soekarno,
Hatta, Syahrir, Munir, Gusdur, dan para
pejuang lainnya. Di Pare ini akan lahir generasi yang jago bahasa asing
dan siap menjadi pasukan Tuhan di muka
bumi. Yang akan mengatakan “tidak” dan “lawan” terhadap korupsi,
penggusuran dan segala bentuk kezaliman yang ada di depan mata.
Ketakutan lainnya
adalah ketika
Pare hanya menjadi tempat rekreasi/ senang-senang.
Dan yang tak kalah berbahayanya adalah ketika Pare menjadi tempat belajar yang
mahal dan elitis, sehingga hanya orang yang berduit, anak pejabat atau mungkin hanya anak
koruptor yang bisa belajar di Pare. Karena rakyat miskin, tak sanggup lagi
untuk membayar biaya kursus yang mahal. Sehingga orang miskin semakin bodoh dan miskin, orang kaya
semakin cerdas dan kaya. Itulah kejahatan dari sistem kapitalisme yang harus kita lawan sama-sama.
Ada banyak
kelebihan yang dimiliki Pare, diantaranya adalah Pelajar
yang berasal dari sabang
sampai maraoke, dengan berbagai tingkatan
pendidikan (SMP, SMA,S1,S2, dll). Selain itu adalah Basic keilmuan yang berbeda, mulai dari politik, ekonomi, budaya, filsafat, agama, hukum, basic pesantren,dll
Motivasi orang yang kePare sangat mulia.
Misalnya:ingin lanjut study, ingin masuk dunia kerja, dll. Olehnya itu kedepan mereka semua akan mengambil peran yang
strategis di bangsa ini. Kalau mereka idealis maka selamat dan sejahteralah bangsa ini.
Tapi sebaliknya kalau mereka jahat,
korup maka hancurlah bangsa ini.
Agenda
menjadikan pare sebagai pondasi revolusi atau titik perubahan dinegeri ini sangat dipengaruhi oleh kerjasama banyak
stakeholder, yaitu: pemilik kursus progresif ,tokoh masyarakat progresif, , tutor progresif serta pelajar progresif. Yang
kita harapkan, semua stakeholder tersebut punya semangat berjuang atau
semangat mengabdi demi kebenaran dan
pendidikan. Serta senantiasa menjalin kemunikasi guna mengawal visi bagaimana
Pare menjadi surga bagi semua golongan. Golongan Kaya, menengah maupun masyarakat
miskin semua bisa belajar di Pare.
Ketika hampir semua tempat pendidikan di bangsa
ini, senantiasa mempersulit anak tukang becak, anak penjual sayur, anak PNS rendahan
serta anak pensiunan untuk cerdas, maka bisakah Pare yang menyiapkan tempat
bagi mereka.
Pare
adalah simbol perlawanan terhadap elitisasi pengetahuan. Bahwa hanya orang kaya
yang bisa cerdas. Karena mereka punya uang untuk membayar biaya pendidikan
berapapun jumlahnya.
Peran Tutor
Salah satu stakeholder yang berperan
penting dalam agenda perjuangan terhadap Pare adalah Tutor. Karena yang
datang ke Pare adalah orang-orang yang ingin cerdas bahasa, termasuk english maka otomatis ketika ada yang orang yang jago
English maka akan menjadi idola bagi siswanya. Logikanya adalah bahwa fans
ingin seperti idolanya. Fans lebih cepat percaya kalau idolanya yang ngomomg dari
pada orang lain yang ngomong
Kita
bisa mengambil contoh, orang yang kagum sama Pasya Ungu, akan mengikuti gaya rambut, anting, gaya
pakain, cara ngomong, bahkan cara berpikirnya. Begitu juga orang yang sangat mengangumi Rasulullah Muhammad, pasti akan mengikuti gaya pakaian, cara shalat dan juga karakter Rasulullah Muhammad. Misalnya:semanagat belajar,keberpihakannya
pada kaum tertindas, kesederhanaan, akhlak, keberanian,dll
Nah,, salah satu pertanyaan kunci adalah apakah
tutor bisa menjadi teladan pada wilayah keilmuan, akhlak, spirit, dll
Maka solusinya adalah tutor sambil terus bergerak
(baca:berusaha) menyempurnakan (baca: memperbaiki) dirinya, beliau juga
mengajak (baca: mendidik) murid-muridnya untuk menjadi lebih baik. Karena
kehidupan adalah sebuah proses bergerak menuju kesempurnaan
Tugas
Tutor adalah Mengajar dan Membentuk karakter
siswa
KARAKTER SEBELUM KE PARE
|
KARAKTER SESUDAH KE PARE
|
·
Polos
·
Cuek
·
Individualis
·
Emosional
·
Malas
·
Pembohong
·
Manja
|
·
Kritis
·
Bertanggung
jawab
·
Berjiwa social
·
Rasional
·
Rajin
·
Jujur
·
Dewasa
|
Kerja
tutor atau guru adalah kerja-kerja kenabian. Tutor dapat mendesain agenda penyadarannya dalam
pemilihan tema speaking, persentase profil tokoh, nonton film tentang kisah
perjuangan, meminta siswa untuk menjelaskan berita terhangat dari TV serta koran agar mereka terbiasa untuk
membaca. Yang lain adalah contoh dalam soal grammar yang punya meaning perjuangan atau kisah nyata yang menggungah kesadaran, serta nasehat atau diskusi
kecil di dalam kelas atau setelah kelas tentang berita terkini bangsa ini, tentang
relitas kaum miskin,tentang hakekat kehidupan, dll. Ketika hal tersebut rutin
di lakukan, maka akan memberi efek yang sangat besar kepada murid
Oh..sungguh guru atau tutor adalah pengajar dan
penjaga nilai kebenaran, keadilan dan kemanusiaan
Seperti yang pernah di ungkapkan oleh Bung Karno
bahwa jangan sekali-sekali melupakan sejarah, olehnya itu patutlah selalu kita
mengingat bahwa Sejarah Pare adalah sebagai tempat
pendidikan alternative di Bangsa ini. Di saat banyak lembaga pendidikan yang tidak
demokratis, elitis,mahal, kaku dan terpisah dengan realitas masyarakat, maka Kampung Bahasa Pare mengambil posisi yang
sebaliknya, sesuai dengan yang diperintahkan dalam UUD 1945, bahkan sesuai
dengan semangat pencerahan para nabi-nabi di setiap zaman.
Pare Untuk Semua
“Pendikan yang murah,
berkualitas, berkarakter, merakyat dan religius”
By: A.Zulkarnain
HP: 085242149940
Email: zulkarnain1945@gmail.com
(Penggiat komunitas RAB)
(Ketua Dewan Pendiri Philosophia Institute)
* Disampaikan dalam diskusi malam
mingguan
Rumah Anak Bangsa (RAB)
Sabtu: 24 Des 2011
Kampung Bahasa Pare, Kediri, Jawa Timur
Minggu, 08 April 2012
Lagu: Tentang Pare
Lagu : Tentang Pare
Mari semai mimpi
Di tanah penuh rasa cinta ini
Mari tetapkan tekad
Tuk kukuh belajar dan berjuang
Tentang berguru
tanpa menggurui
Tentang para pengabdi ilmu
Yang tulus
Tentang cerita anak bangsa
Yang hidup demi mencipta sepenuh hati
Demi untuk zamrud khatulistiwa
Demi suluh negeri ini
Tanpa janji tapi tekadkan diri
: Untuk tak lelah memberi
Karena tak ada janji
Langit akan selalu biru
Namun di tanah ini
Tak lelah memberkahkan teladan
Tentang berguru
tanpa menggurui
Tentang para pengabdi ilmu
Yang tulus
Tentang cerita anak bangsa
Yang hidup demi mencipta sepenuh hati
Demi untuk zamrud khatulistiwa
Demi suluh negeri ini
Tanpa janji tapi tekadkan diri
: Untuk tak lelah memberi
Menorehkan sejarah cemerlang
Para anak bangsa
..Mari semai mimpi..
# Dipersembahkan untuk pare dan seluruh jiwa yang telah bersinergi untuk menyemaikan mimpi, mewujudkannya dan tidak lelah menciptakan karya-karya nyatanya untuk Indonesia. PARE IS A TRULY INDONESIA.
Pare, Rumah Wow – ASSET 1
Selasa, 06 Maret 2012
19.30 – 22.30
Pramudya Noer
Mari semai mimpi
Di tanah penuh rasa cinta ini
Mari tetapkan tekad
Tuk kukuh belajar dan berjuang
Tentang berguru
tanpa menggurui
Tentang para pengabdi ilmu
Yang tulus
Tentang cerita anak bangsa
Yang hidup demi mencipta sepenuh hati
Demi untuk zamrud khatulistiwa
Demi suluh negeri ini
Tanpa janji tapi tekadkan diri
: Untuk tak lelah memberi
Karena tak ada janji
Langit akan selalu biru
Namun di tanah ini
Tak lelah memberkahkan teladan
Tentang berguru
tanpa menggurui
Tentang para pengabdi ilmu
Yang tulus
Tentang cerita anak bangsa
Yang hidup demi mencipta sepenuh hati
Demi untuk zamrud khatulistiwa
Demi suluh negeri ini
Tanpa janji tapi tekadkan diri
: Untuk tak lelah memberi
Menorehkan sejarah cemerlang
Para anak bangsa
..Mari semai mimpi..
# Dipersembahkan untuk pare dan seluruh jiwa yang telah bersinergi untuk menyemaikan mimpi, mewujudkannya dan tidak lelah menciptakan karya-karya nyatanya untuk Indonesia. PARE IS A TRULY INDONESIA.
Pare, Rumah Wow – ASSET 1
Selasa, 06 Maret 2012
19.30 – 22.30
Pramudya Noer
Pare: Sebuah Kupasan Pribadi
Pare: Sebuah Kupasan Pribadi
Uun Nurcahyanti
Tulisan ini adalah upaya penulisan ulang dari tulisan saya yang berjudul Selayang Pandang Tentang Pare yang pernah diposkan di blog Smart ILC lama yaitu www.smartilc.co.nr. Pada bulan Juli 2009. Tulisan ini saya coba tuangkan kembali dengan wacana yang sama tetapi dengan penjelasan yang lebih detail atas segala sisi perspektif yang saya pakai dalam mengejawantahkan jejak langkah dan pemikiran seorang tokoh yang telah meletakkan pondasi bagi pengembangan sistem pendidikan alternatif ala Pare. Ada beberapa perubahan data yang tentunya disesuaikan untuk memutakhirkan kondisi data itu sendiri.
Pare adalah sebuah kota kecamatan yang terletak di Kabupaten Kediri, Jawa Timur. Kota kecil ini terletak antara kota Kediri dan Jombang. Waktu tempuh yang dibutuhkan dari masing-masing kota tersebut ke Pare sekitar 45 menit. Di kota kecil nan damai ini terdapat sebuah wilayah yang saat ini akrab dijuluki Kampung Bahasa Inggris, yaitu wilayah desa Tulungrejo. Di wilayah ini kita bisa menemukan suatu lokasi pendidikan yang unik dan mengkhusus diri pada bidang bahasa-bahasa asing terutama bahasa Inggris.
Pare saat ini telah dikenal secara nasional. Gencarnya pemberitaan tentang Pare dalam beberapa tahun terakhir ini telah membawa Pare menapaki masa ketenarannya. Sebuah kondisi yang sungguh memang sudah menjadi bagian dari kewajarannya, karena Pare memang telah melewati masa keberhidupannya selama lebih dari 30 tahun. Masa perjuangan eksistensi sebuah wilayah belajar yang terletak pada sebuah desa yang notabene jauh dari konsepsi wilayah strategis tentunya merupakan hal yang sangat menarik untuk ditelaah. Kebersejarahan Pare bukanlah sebuah perjalanan instanitas yang pasti bertabur berjuta cerita hikmah didalamnya.
Sejarah perkembangan pendidikan kebahasaan di wilayah ini dimulai pada tahun 1977. Perintis sekaligus peletak dasar konsep kependidikannya adalah bapak Muhammad Kalen_yang akrab dipanggil Mister Kalen atau Pak Kalen. Sosok yang luar biasa ini adalah pribadi yang visioner dan dikenal memiliki kedisiplinan yang tinggi dan keteguhan sikap yang luar biasa.
Meski Mr. Kalen sendiri tidak pernah secara eksplisit mediskripsikan pemikiran-pemikirannya tentang pengembangan wilayah Kampung Kursus Bahasa Inggris ini, saya mencoba untuk menelisik retas pemikiran beliau dari segala langkah-langkah kebajikan yang sampai saat ini masih tampak jelas jejaknya.
Konsep Pendidikan Wilayah
Sistem pendidikan informal yang berkembang di Pare merupakan pengejawantahan dari gerak hidup dan pemikiran yang khas dari seorang Mr. Kalen. Sistem pendidikan yang beliau kembangkan saya istilahkan sebagai sistem pendidikan wilayah. Sistem ini beliau adopsi dari sistem pendidikan yang biasanya dianut oleh pondok-pondok pesantren di Indonesia.
Pondok pesantren merupakan wilayah belajar dimana terdapat sinergi yang kokoh antara sekolah sebagai wilayah belajar utama, masjid sebagai tempat beribadah dan juga motor untuk menggerakkan keberaktifitasan warganya, koperasi sebagai wilayah ekonomi, dan kamar-kamar sebagai tempat tinggal secara bersama-sama yang dipimpin oleh senior sebagai kepala dan pengurus kamar. Ibaratnya, seluruh tempat adalah wilayah belajar. Every place is a school.
Konsepsi ini diadopsi secara luas ke dalam sistem belajar yang melibatkan masyarakat. Sehingga, sistem pendidikan wilayah ala Mr Kalen, dalam perpektif saya adalah sebuah sistem yang melibatkan peran aktif warga di sekitar lembaga pendidikan yang bersangkutan. Disini, warga masyarakat dilibatkan secara aktif bukan hanya dalam pengembangan sistem ekonominya semata, tetapi justru lebih ditekankan pada penjagaan motivasi belajar dan keberlangsungan kultur dan sistem belajar pada para peserta didik sebagai pembelajar itu sendiri.
Bagaimanapun, peserta didik tentu lebih banyak menghabiskan waktunya di tempat kos daripada di tempat kursus. Oleh karena itu peran aktif para pemilik kos sebagai pengontrol utama situasi dan keaktifan belajar dari para peserta didik sungguh sangatlah dibutuhkan. Hal ini tentu saja bukanlah hal yang mudah untuk dirintis karena melibatkan orang-orang yang nyaris seperti tidak berurusan dengan aktifitas belajar mengajar, tapi inilah tradisi pertama dan utama yang kelak secara signifikan terus mendampingi perkembangan Pare.
Konsep Pendidikan Komunitas
Dalam pendidikan ala pondok pesantren, peran senior sangatlah signifikan. Senioritas bukan bermakna otoritas semata, senioritas lebih pada makna tanggung jawab. Entah itu tanggung jawab pada wilayah keilmuannya, pengetahuannya, kepribadiannya, maupun jiwa pengabdiannya.
Sistem inipun diadopsi secara mendalam oleh Mr. Kalen dalam mengembangkan wilayah pendidikannya. Hal ini tertuang nyata pada prinsip hidup beliau yang selalu ditularkan kepada seluruh anak didiknya, yaitu bahwa tanggung jawab itu harus lebih besar daripada penampilan. Prinsip ini jugalah yang memondasi sistem belajar yang saya sebut sebagai sistem pendidikan komunitas, yaitu sistem belajar yang bertumpu pada tanggung jawab keilmuan yang telah diperoleh. Sistem ini mendorong kesadaran penuh kepada para peserta didik untuk ikut terlibat secara aktif dalam keberhasilan adik-adik kelasnya. Pada para peserta didik dipompakan rasa percaya diri yang setinggi-tingginya bahwa di dalam dirinya terkandung potensi yang luar biasa dan dalam dirinya terkandung sebuah wilayah tanggung jawab untuk menshodaqohkan ilmu yang telah dipintalnya.
Dari sistem ini, kemudian, kelompok-kelompok belajar yang biasanya disebut study club yang diampu oleh para senior. Study club ini biasanya diadakan di rumah-rumah kos. Sistem ini merupakan salah satu tradisi penting yang menopang perkembangan Pare ke depannya dan dengan dinamis menopang sistem pendidikan wilayah yang dikembangkan. Sinergi dari kedua tradisi utama sistem pembelajaran ala Pare inilah yang dengan gagah mengarungi arus zaman hingga mampu bertahan selama puluhan tahun dan menelurkan ribuan alumni serta membangun konsepsi keberwilayahannya sendiri.
Konsep Pendidikan Mandiri
Disamping dua konsep prinsipil diatas, ada keunikan khas lain yang diusung oleh sistem pendidikan ala Mr. Kalen ini yaitu adanya kemandirian dalam hal metode dan kurikulum pembelajaran. Kemandirian ini menghasilkan kreatifitas yang tinggi dalam upaya mencipta alternatif-alternatif yang memola keberagaman cara dan gaya mengajar tetapi tetap kerangka tujuan yang telah di desain oleh lembaga.
Konsep kemandirian yang sederhana ini nantinya memberi peluang yang cukup besar bagi perkembangan metode pengajaran khas Pare maupun keberagaman model kurikulum pembelajaran bahasa asing ala Pare yang pada akhirnya membawa Pare pada kemasyurannya karena keunikannya ini.
Eksklusivitas sistem ini tidak lantas melambungkan biaya pendidikannya. Inilah hal khas lainnya dari sistem pedidikan yang dikembangkan oleh Mr. Kalen yaitu biaya pendidikannya yang relatif terjangkau atau murah. Kondisi ini memang telah dikembangkan dari awal berdirinya Basic English Course (BEC) yaitu lembaga pendidikan kursus bahasa Inggris yang tertua di wilayah Tulungrejo, Pare, yang didirikan oleh Pak Kalen dan sampai saat ini menjadi ikon utama di wilayah kursus bahasa Inggris Pare.
Sistem ini tentu juga merujuk pada model sistem pembiayaan ala pondok pesantren yang murah meriah namun padat ilmu. Sistem pembiayaan ini sekaligus merupakan upaya nyata untuk memberi bukti bahwa pendidikan yang berkualitas bukan melulu ditentukan oleh harga yang membumbung tapi lebih pada kemapanan sistem yang digunakan, kemandirian kurikulum, serta peran seluruh komponen yang terlibat dalam seluruh aktivitas belajar.
Kemandirian dalam segala sisi dan dengan disertai upaya secara terus menerus untuk mempertahankan eksistensi lembaga mau tidak mau harus diakui telah berhasil mengantarkan Pare dalam menorehkan kebersejarahan wilayah pendidikan non formalnya selama lebih dari 30 tahun.
Konsep Pendidikan Kerakyatan
Jika sistem ekonomi kerakyatan telah dikembangkan oleh Penguasa Puro Mangkunegaran I yang sangat menolak monopoli yang saat itu dikembangkan oleh Belanda, sehingga mengamanahkan negara sebagai pengendali wilayah ekonomi yang digunakan untuk sebesar-besarnya kepentingan dan kemakmuran rakyat, sistem pendidikan ala Pare mencoba dengan gigih menawarkan sistem pendidikan kerakyatan yang memiliki prinsip berbeda dari prinsip keberekonomian raja jawa yang paling ditakuti dan yang tidak pernah ditaklukan Belanda ini.
Saat negara tidak mampu lagi memenuhi amanah mulia untuk mencerdaskan anak bangsa seperti yang termaktub dalam UUD 1945, banyak warga negara mencoba untuk mengambil alih peran strategis ini demi tetap mengguritanya regenarasi sebuah bangsa. Pare yang dimotori oleh seorang visioner yang berhati kukuh mencoba mengambil bagian dari peran ini dengan konsep pendidikan wilayahnya mencoba untuk mendobrak sistem wilayah serba sekolah dengan denyut keberekonomiannya yang egoistis dengan sistem wilayah serba belajar. Juga meredefinisikan ulang konsepsi pendidikan dalam sisi pencapaian yang biasa tercantum dalam angka-angka rapor dan ijazah ke dalam konsep keperguruan dan kepengajaran yang mengedepankan kekuatan komunitas yang berpengabdian sebagai basis keberhidupan sistem belajar mengajarnya. Sebuah sistem yang berlandaskan tanggung jawab keilmuan dan tanggung jawab kemajuan komunitas.
Pare dengan segala konsepsi sistemik yang menopangnya juga melakukan kritik konstruktif secara aktif terhadap sistem pendidikan modern yang dianut oleh dunia pendidikan nasional kita dengan mengelola kemandirian kurikulum yang mencipta beragam metode pengajaran dan desain program. Juga menawarkan harga yang murah sehingga terjangkau oleh segala lapisan masyarakat namun tidak lantas lalai untuk tetap kukuh menjaga kualitas pembelajarannya. Asumsi bahwa pendidikan adalah hak seluruh anak bangsa merupakan penopang utama bagi Mr. Kalen dalam membangun keberkaryaaannya, demikan juga kesadaran bahwa penguasaan bahasa asing sangat diperlukan dalam upaya meningkatkan kecerdasan kehidupan bangsa.
Inilah bentuk tanggung jawab dalam pengejawantahan konsepsi sederhana dan humanis yang bernama sistem pendidikan kerakyatan. “Sistem ini merupakan sebuah karya nyata untuk bangsa,” demikian selalu yang diimbaukan Mr. Kalen demi menyulut keberanian para juniornya saat ingin mandiri dan berkarya di jalur pendidikan kursus juga.
Bagaimanapun, Pare juga tidak bisa begitu saja lepas dari kekurangan dan juga menuai kritik atas pilihan-pilihan ideologinya. Segala hal memang mengandung konsekuensi, bukan?
Yang pasti, Pare dan segala fenomenanya tetap saja menjadi hal yang menarik untuk dikaji. Kini, 35 tahun setelah peletakan batu pertama itu, Pare telah dikenal sebagai sebuah ikon wilayah pendidikan alternatif dalam bidang Bahasa Inggris dan bahkan dijuluki kampung Inggris.Tradisi-tradisi belajar yang telah puluhan tahun terus bermetamorfosa tentu merupakan hal yang perlu di dalami demi kebaikan sistem pendidikan di negeri tercinta ini.
Pare, 8 Maret 2012
Uun Nurcahyanti
Tulisan ini adalah upaya penulisan ulang dari tulisan saya yang berjudul Selayang Pandang Tentang Pare yang pernah diposkan di blog Smart ILC lama yaitu www.smartilc.co.nr. Pada bulan Juli 2009. Tulisan ini saya coba tuangkan kembali dengan wacana yang sama tetapi dengan penjelasan yang lebih detail atas segala sisi perspektif yang saya pakai dalam mengejawantahkan jejak langkah dan pemikiran seorang tokoh yang telah meletakkan pondasi bagi pengembangan sistem pendidikan alternatif ala Pare. Ada beberapa perubahan data yang tentunya disesuaikan untuk memutakhirkan kondisi data itu sendiri.
Pare adalah sebuah kota kecamatan yang terletak di Kabupaten Kediri, Jawa Timur. Kota kecil ini terletak antara kota Kediri dan Jombang. Waktu tempuh yang dibutuhkan dari masing-masing kota tersebut ke Pare sekitar 45 menit. Di kota kecil nan damai ini terdapat sebuah wilayah yang saat ini akrab dijuluki Kampung Bahasa Inggris, yaitu wilayah desa Tulungrejo. Di wilayah ini kita bisa menemukan suatu lokasi pendidikan yang unik dan mengkhusus diri pada bidang bahasa-bahasa asing terutama bahasa Inggris.
Pare saat ini telah dikenal secara nasional. Gencarnya pemberitaan tentang Pare dalam beberapa tahun terakhir ini telah membawa Pare menapaki masa ketenarannya. Sebuah kondisi yang sungguh memang sudah menjadi bagian dari kewajarannya, karena Pare memang telah melewati masa keberhidupannya selama lebih dari 30 tahun. Masa perjuangan eksistensi sebuah wilayah belajar yang terletak pada sebuah desa yang notabene jauh dari konsepsi wilayah strategis tentunya merupakan hal yang sangat menarik untuk ditelaah. Kebersejarahan Pare bukanlah sebuah perjalanan instanitas yang pasti bertabur berjuta cerita hikmah didalamnya.
Sejarah perkembangan pendidikan kebahasaan di wilayah ini dimulai pada tahun 1977. Perintis sekaligus peletak dasar konsep kependidikannya adalah bapak Muhammad Kalen_yang akrab dipanggil Mister Kalen atau Pak Kalen. Sosok yang luar biasa ini adalah pribadi yang visioner dan dikenal memiliki kedisiplinan yang tinggi dan keteguhan sikap yang luar biasa.
Meski Mr. Kalen sendiri tidak pernah secara eksplisit mediskripsikan pemikiran-pemikirannya tentang pengembangan wilayah Kampung Kursus Bahasa Inggris ini, saya mencoba untuk menelisik retas pemikiran beliau dari segala langkah-langkah kebajikan yang sampai saat ini masih tampak jelas jejaknya.
Konsep Pendidikan Wilayah
Sistem pendidikan informal yang berkembang di Pare merupakan pengejawantahan dari gerak hidup dan pemikiran yang khas dari seorang Mr. Kalen. Sistem pendidikan yang beliau kembangkan saya istilahkan sebagai sistem pendidikan wilayah. Sistem ini beliau adopsi dari sistem pendidikan yang biasanya dianut oleh pondok-pondok pesantren di Indonesia.
Pondok pesantren merupakan wilayah belajar dimana terdapat sinergi yang kokoh antara sekolah sebagai wilayah belajar utama, masjid sebagai tempat beribadah dan juga motor untuk menggerakkan keberaktifitasan warganya, koperasi sebagai wilayah ekonomi, dan kamar-kamar sebagai tempat tinggal secara bersama-sama yang dipimpin oleh senior sebagai kepala dan pengurus kamar. Ibaratnya, seluruh tempat adalah wilayah belajar. Every place is a school.
Konsepsi ini diadopsi secara luas ke dalam sistem belajar yang melibatkan masyarakat. Sehingga, sistem pendidikan wilayah ala Mr Kalen, dalam perpektif saya adalah sebuah sistem yang melibatkan peran aktif warga di sekitar lembaga pendidikan yang bersangkutan. Disini, warga masyarakat dilibatkan secara aktif bukan hanya dalam pengembangan sistem ekonominya semata, tetapi justru lebih ditekankan pada penjagaan motivasi belajar dan keberlangsungan kultur dan sistem belajar pada para peserta didik sebagai pembelajar itu sendiri.
Bagaimanapun, peserta didik tentu lebih banyak menghabiskan waktunya di tempat kos daripada di tempat kursus. Oleh karena itu peran aktif para pemilik kos sebagai pengontrol utama situasi dan keaktifan belajar dari para peserta didik sungguh sangatlah dibutuhkan. Hal ini tentu saja bukanlah hal yang mudah untuk dirintis karena melibatkan orang-orang yang nyaris seperti tidak berurusan dengan aktifitas belajar mengajar, tapi inilah tradisi pertama dan utama yang kelak secara signifikan terus mendampingi perkembangan Pare.
Konsep Pendidikan Komunitas
Dalam pendidikan ala pondok pesantren, peran senior sangatlah signifikan. Senioritas bukan bermakna otoritas semata, senioritas lebih pada makna tanggung jawab. Entah itu tanggung jawab pada wilayah keilmuannya, pengetahuannya, kepribadiannya, maupun jiwa pengabdiannya.
Sistem inipun diadopsi secara mendalam oleh Mr. Kalen dalam mengembangkan wilayah pendidikannya. Hal ini tertuang nyata pada prinsip hidup beliau yang selalu ditularkan kepada seluruh anak didiknya, yaitu bahwa tanggung jawab itu harus lebih besar daripada penampilan. Prinsip ini jugalah yang memondasi sistem belajar yang saya sebut sebagai sistem pendidikan komunitas, yaitu sistem belajar yang bertumpu pada tanggung jawab keilmuan yang telah diperoleh. Sistem ini mendorong kesadaran penuh kepada para peserta didik untuk ikut terlibat secara aktif dalam keberhasilan adik-adik kelasnya. Pada para peserta didik dipompakan rasa percaya diri yang setinggi-tingginya bahwa di dalam dirinya terkandung potensi yang luar biasa dan dalam dirinya terkandung sebuah wilayah tanggung jawab untuk menshodaqohkan ilmu yang telah dipintalnya.
Dari sistem ini, kemudian, kelompok-kelompok belajar yang biasanya disebut study club yang diampu oleh para senior. Study club ini biasanya diadakan di rumah-rumah kos. Sistem ini merupakan salah satu tradisi penting yang menopang perkembangan Pare ke depannya dan dengan dinamis menopang sistem pendidikan wilayah yang dikembangkan. Sinergi dari kedua tradisi utama sistem pembelajaran ala Pare inilah yang dengan gagah mengarungi arus zaman hingga mampu bertahan selama puluhan tahun dan menelurkan ribuan alumni serta membangun konsepsi keberwilayahannya sendiri.
Konsep Pendidikan Mandiri
Disamping dua konsep prinsipil diatas, ada keunikan khas lain yang diusung oleh sistem pendidikan ala Mr. Kalen ini yaitu adanya kemandirian dalam hal metode dan kurikulum pembelajaran. Kemandirian ini menghasilkan kreatifitas yang tinggi dalam upaya mencipta alternatif-alternatif yang memola keberagaman cara dan gaya mengajar tetapi tetap kerangka tujuan yang telah di desain oleh lembaga.
Konsep kemandirian yang sederhana ini nantinya memberi peluang yang cukup besar bagi perkembangan metode pengajaran khas Pare maupun keberagaman model kurikulum pembelajaran bahasa asing ala Pare yang pada akhirnya membawa Pare pada kemasyurannya karena keunikannya ini.
Eksklusivitas sistem ini tidak lantas melambungkan biaya pendidikannya. Inilah hal khas lainnya dari sistem pedidikan yang dikembangkan oleh Mr. Kalen yaitu biaya pendidikannya yang relatif terjangkau atau murah. Kondisi ini memang telah dikembangkan dari awal berdirinya Basic English Course (BEC) yaitu lembaga pendidikan kursus bahasa Inggris yang tertua di wilayah Tulungrejo, Pare, yang didirikan oleh Pak Kalen dan sampai saat ini menjadi ikon utama di wilayah kursus bahasa Inggris Pare.
Sistem ini tentu juga merujuk pada model sistem pembiayaan ala pondok pesantren yang murah meriah namun padat ilmu. Sistem pembiayaan ini sekaligus merupakan upaya nyata untuk memberi bukti bahwa pendidikan yang berkualitas bukan melulu ditentukan oleh harga yang membumbung tapi lebih pada kemapanan sistem yang digunakan, kemandirian kurikulum, serta peran seluruh komponen yang terlibat dalam seluruh aktivitas belajar.
Kemandirian dalam segala sisi dan dengan disertai upaya secara terus menerus untuk mempertahankan eksistensi lembaga mau tidak mau harus diakui telah berhasil mengantarkan Pare dalam menorehkan kebersejarahan wilayah pendidikan non formalnya selama lebih dari 30 tahun.
Konsep Pendidikan Kerakyatan
Jika sistem ekonomi kerakyatan telah dikembangkan oleh Penguasa Puro Mangkunegaran I yang sangat menolak monopoli yang saat itu dikembangkan oleh Belanda, sehingga mengamanahkan negara sebagai pengendali wilayah ekonomi yang digunakan untuk sebesar-besarnya kepentingan dan kemakmuran rakyat, sistem pendidikan ala Pare mencoba dengan gigih menawarkan sistem pendidikan kerakyatan yang memiliki prinsip berbeda dari prinsip keberekonomian raja jawa yang paling ditakuti dan yang tidak pernah ditaklukan Belanda ini.
Saat negara tidak mampu lagi memenuhi amanah mulia untuk mencerdaskan anak bangsa seperti yang termaktub dalam UUD 1945, banyak warga negara mencoba untuk mengambil alih peran strategis ini demi tetap mengguritanya regenarasi sebuah bangsa. Pare yang dimotori oleh seorang visioner yang berhati kukuh mencoba mengambil bagian dari peran ini dengan konsep pendidikan wilayahnya mencoba untuk mendobrak sistem wilayah serba sekolah dengan denyut keberekonomiannya yang egoistis dengan sistem wilayah serba belajar. Juga meredefinisikan ulang konsepsi pendidikan dalam sisi pencapaian yang biasa tercantum dalam angka-angka rapor dan ijazah ke dalam konsep keperguruan dan kepengajaran yang mengedepankan kekuatan komunitas yang berpengabdian sebagai basis keberhidupan sistem belajar mengajarnya. Sebuah sistem yang berlandaskan tanggung jawab keilmuan dan tanggung jawab kemajuan komunitas.
Pare dengan segala konsepsi sistemik yang menopangnya juga melakukan kritik konstruktif secara aktif terhadap sistem pendidikan modern yang dianut oleh dunia pendidikan nasional kita dengan mengelola kemandirian kurikulum yang mencipta beragam metode pengajaran dan desain program. Juga menawarkan harga yang murah sehingga terjangkau oleh segala lapisan masyarakat namun tidak lantas lalai untuk tetap kukuh menjaga kualitas pembelajarannya. Asumsi bahwa pendidikan adalah hak seluruh anak bangsa merupakan penopang utama bagi Mr. Kalen dalam membangun keberkaryaaannya, demikan juga kesadaran bahwa penguasaan bahasa asing sangat diperlukan dalam upaya meningkatkan kecerdasan kehidupan bangsa.
Inilah bentuk tanggung jawab dalam pengejawantahan konsepsi sederhana dan humanis yang bernama sistem pendidikan kerakyatan. “Sistem ini merupakan sebuah karya nyata untuk bangsa,” demikian selalu yang diimbaukan Mr. Kalen demi menyulut keberanian para juniornya saat ingin mandiri dan berkarya di jalur pendidikan kursus juga.
Bagaimanapun, Pare juga tidak bisa begitu saja lepas dari kekurangan dan juga menuai kritik atas pilihan-pilihan ideologinya. Segala hal memang mengandung konsekuensi, bukan?
Yang pasti, Pare dan segala fenomenanya tetap saja menjadi hal yang menarik untuk dikaji. Kini, 35 tahun setelah peletakan batu pertama itu, Pare telah dikenal sebagai sebuah ikon wilayah pendidikan alternatif dalam bidang Bahasa Inggris dan bahkan dijuluki kampung Inggris.Tradisi-tradisi belajar yang telah puluhan tahun terus bermetamorfosa tentu merupakan hal yang perlu di dalami demi kebaikan sistem pendidikan di negeri tercinta ini.
Pare, 8 Maret 2012
Sekolah dan Pembangunan Manusia Begitu Saja
Sekolah dan Pembangunan Manusia Begitu Saja
Oleh: Uun Nurcahyanti
Meminjam istilah Andi Zulkarnaen, ‘Dunia Sekolah’ adalah sebuah wacana yang selalu menjadi wilayah yang seksi untuk dibicarakan. Mengapa? Karena dunia sekolah adalah wilayah magis yang memproduksi sumber daya yang paling mendasar di muka bumi ini, yaitu sumber daya manusia. Dan berbicara tentang manusia dengan segala potensi yang dianugerahkan dan dipercayakan Tuhan kepadanya sebagai tugas ke-Tuhan-an alias kenabian tentunya menjadi pembicaraan yang tak bakal usang. Artinya, Dunia Sekolah sangat intim dengan Dunia Manusia dengan segala kebermanusiaannya.
Dalam sebuah diskusi, Bandung Mawardi pernah menjawab pertanyaan seorang peserta diskusi yang mempertanyaan pernyataan beliau bahwa manusia adalah kitab, sehingga sebenarnya perlu tidak sih manusia itu membaca. Jawaban yang mengejutkan dari beliau sangatlah mengejutkan : ”Tidak!”
Jawaban yang singkat, padat, dan terasa kurang pas dengan konsepsi kekinian kaum intelektual yang senantiasa didorong untuk membaca buku tersebut cukup membimbangkan hati saya pribadi sehingga menjadi bahan yang cukup hangat untuk direnungkan dan dibicarakan selama beberapa waktu setelah diskusi tersebut usai. Saya sendiri sejak lama meyakini bahwa kita adalah kitab, segala hal di alam semesta raya ini adalah kitab. Namun konsep ketidakperluan membaca ini menjadi pendasaran pemikiran yang sama sekali baru.
Setelah beberapa lama mencoba memecahkan misteri kata ‘tidak perlu membaca’ ala Bandung Mawardi ini dan mulai mencoba menekuni dunia menulis sebagai sebuah bentuk penuangan pikiran selain berdiskusi, kata ‘tidak perlu membaca’ ini ternyata justru memang merupakan hal mendasar bagi manusia untuk memompa potensi dirinya dan menempanya dalam lautan karya. Mengapa? Karena dalam penciptaan setiap makhluk, di dalam ragawi dan keberisian dirinya selalu ada informasi yang tertatahkan di seantero dirinya. Demikian juga dengan manusia.
Dalam setiap sel tubuh manusia terdapat informasi yang tiada tara sama seperti makhluk lainnya. Manusia memang ibarat kitab. Kitab yang bernama manusia ini sudah bersampul dan pada sampulnya itu telah terukir judul kitabnya masing-masing. Kitab itupun, sebenarnya, telah berisi aksara-aksara demi keterbacaan informasi-informasi illahiah yang dibawa oleh masing-masing kitab tersebut.
Sama seperti benda lain, kitab merupakan sebuah benda yang harus dipelihara agar tetap bagus dan memiliki keberfungsian secara maksimum. Isi kitab diri manusia ini hendaknya terbaca oleh si pemilik ragawinya sendiri dulu yaitu manusia yang bersangkutan. Disinilah istilah ‘tidak perlu membaca’ ala bandung menemukan titik maknanya. Dari sinilah, lantas, muncul istilah perenungan dan pendalaman berpikir membutuhkan perjalanan narasi biografisnya.
Perenungan adalah sebuah upaya khas manusia dalam rangka membaca isi kitab dirinya, menggalinya. Layaknya akar pepohonan yang menghunjami bumi untuk mencari air demi memberhidupkan kemakhlukannya. Sementara berpikir merupakan sebuah kegiatan khas manusia untuk menjadi seorang penghayat hidup yang berlandaskan kitab dirinya dan kitab-kitab lain diluar dirinya.
Oleh karena itu, bisa dikatakan bahwa membaca hal di luar dirinya, termasuk membaca buku, menjadi hal yang sangat perlu, karena merupakan suatu upaya kolektif untuk mencermati dan belajar dari perenungan dan pemikiran orang lain maupun hakikat hal-hal lain di luar dirinya. Bagaimanapun, buah dan hasil pemikiran orang lain adalah suatu upaya untuk mengasah pemahaman kita tentang makna diri kita dan bisa menjadi sebuah bahan untuk memperkaya konsepsi dan wacana yang telah kita miliki dalam kitab diri kita. Bukankah tingkat kualitas manusia juga ditentukan oleh goresan-goresan benda lain pada dirinya? Ibarat tatahan-tatahan ukiran pada kayu yang bukan sekedar bernilai estetika namun juga bernilai kearifan, ketekunan, kecerdasan, kecermatan, dan ketulusan. Ada banyak nilai yang terukir dalam tiap gemulai tatahannya.
Dari desain kondisi keberkitaban manusia ini bisa kita simpulkan bahwa manusia adalah makhluk pembaca dan pembelajar. Manusia adalah makhluk penghayat hidup, hidup yang melingkupi semesta raya. Manusia juga merupakan makhluk penulis atau pembincang yang memiliki keberfungsian yang khas sebagai penyampai berbagai risalah hidup dan kehidupan sebagai hasil dari pembacaannya, perenungannya, dan juga keberolah-pikirannya.
Belajar dan Mengajar
Kondisi-kondisi yang mendesain kebermakhlukan manusia tersebut di atas menunjukkan sebuah hal yang paling mendasar bahwa manusia itu selalu butuh mengkaji kitab dirinya, dan juga menelaah kitab-kitab lain disekitarnya sebagai bagian yang penting dalam keberhidupannya sebagai manusia. Bila manusia tidak lagi melakukan tindakan-tindakan yang berhubungan dengan desain hakikatnya ini, maka lambat laun ia akan jauh dari pemahamannya akan arti hidupnya sendiri.
Hal inilah yang seringkali kita sebut sebagai belajar, dan bisa dikatakan bahwa manusia memang tercipta sebagai makhluk pembelajar. Sementara tujuan belajar adalah terbangunnya tatanan pemahaman-pemahaman tentang arti hidup. Oleh karena itu seorang pembelajar sejati, yang sering disebut sebagai kaum intelektual senyatanya, tentunya juga merupakan seorang penghayat hidup yang luar biasa.
Kesejatian manusia adalah belajar, dan menghayati hidup. Dan oleh karenanya secara alamiah manusia juga memiliki keberbutuhan untuk menyebarkan hasil dari perenungan dan penelaahannya tersebut kepada manusia lainnya. Disinilah peran bahasa manusia menemukan titik puncak persenggamaannya dengan hakekat mendasar manusia sebagai pemilik bahasa bangsa manusia. Disini tampak jelas bahwa bahasa memiliki peran strategis sebagai sayap sekaligus ujung pedang risalah segala ilmu dan berbagai pengetahuan. Lantas, berbincang dan berbicara menjadi bukan sekedar sunatullah karena bahasa adalah piranti kelengkapan hidup manusia layaknya telinga dan mulut sahaja. Dengan tuangan buah pikir dan kelola semesta manusia, berbincang menjadi sebuah kebutuhan untuk bertukar ajaran dan saling memberi ilmu pengetahuan. Obrolanpun bergerak menjadi diskusi-diskusi.
Siklus rantai serba belajar ini menjadi landasan utama mengapa manusia memiliki kebutuhan mendasar lainnya yaitu mengajar.
Keberbutuhan mengajar ini adalah demi menopang siklus serba belajar yang menjadi karakteristik khas manusia. Kondisi belajar dan belajar mengajar ini merupakan siklus kehidupan alamiah manusia. Hal inilah yang kemudian kita sebut sebagai pendidikan, yaitu kondisi serba belajar demi mengikat ilmu-ilmu illahiah yang bertebaran di setiap diri makhluk atau benda yang menghiasi seantero semesta raya.
Artinya, semangat paling fundamental yang mendesain dan membangun keberhidupan manusia adalah belajar, belajar, dan belajar. Belajar pulalah yang memondasi sebuah wilayah yang bernama dunia pendidikan, sehingga bisa dikatakan bahwa pendidikan adalah sebuah sistem khas manusia dalam mengelola dan menjaga pikat serba belajarnya demi menjaga eksistensi perayaan keberhidupannya.
Berguru Kepada Pepohonan
Kita semua tentu sudah mahfum bahwa segala hal yang ada di sekitar kita adalah kitab-kitab semesta. Sehingga tak ada salahnya untuk berguru kepada pepohonan dalam memaknai kisah keberbelajaran manusia. Pada ragawi suatu pohon, ada bagian yang bernama akar, dan sudah saya tuliskan diatas bahwa akar pada pohon memiliki kemiripan fungsi seperti otak pada manusia. Akar menghujam ke dalam bumi demi mencari sumber kehidupannya yaitu air.
Tumbuhan yang berakar tunjang memiliki akar yang kokoh dan memiliki kemampuan untuk menghujam ke dalam lapisan tanah bumi. Semakin dalam akarnya menembus lapisan bumi, semakin tinggi puncak pohonnya seakan semakin tinggi menggapai langit. Sementara tumbuhan yang berakar serabut tidak memiliki akar yang kokoh tetapi memiliki akar yang liat. Akar jenis ini tidak menghujam tetapi cenderung menyebar.
Tetumbuhan dengan akar serabut ini identik dengan perdu-perduan yang memang tidak tumbuh tinggi, kokoh dan menjulang ke langit. Tumbuhan jenis ini mudah beranak pinak, mudah tumbuh di musim penghujan namun juga mudah mati bila kemarau berkepanjangan. Saat tetumbuhannya mati, akar pohon ini bisa bertahan untuk tidak serta merta layu dan mati seperti pada pepohonan yang berakar tunjang.
Artinya, apapun jenis tetumbuhannya tentu punya kisah keistimewaannya sendiri-sendiri. Ada kelebihannya, tetapi juga lepas dari kekurangan. Prinsip sebuah keberimbangan semesta. Namun, intisari dari keberhidupan sebuah pohon adalah perjuangan akar-akar pohonnya dalam mencari dan terus mencari sumber keberhidupannya yaitu air. Rasa sakit yang mengguyur sekujur ujung-ujung akar saat menyusup ke dalam tanah, menggali dan melintasi cadas dan bebatuan agar mencapai kedalaman hidupnya, akhirnya berbuah pada keterjenjangan pokok-pokok pohon yang ditopangnya. Demikian juga dengan kita, manusia. Perenungan dan pendalaman pemikiran-pemikiran dalam lingkup aksara semesta yang diukirkan tuhan pada diri-diri kita mungkin akan menimbulkan gelisah dan kesakitan seperti halnya ujung-ujung akar pohon itu. Namun itulah yang menjenjangkan pohon hidup kebermanusiaan kita. Pilihan untuk menjadi si akar tunjang atau serabut terlihat dari isi kitab hidup yang kita tuliskan dalam jejak sejarah perayaan keberhidupan kita.
Itulah perumpaan dan keberbutuhan belajar pada diri manusia yang tersirat dan tersurat dalam semesta raya pepohonan. Lha untuk perumpamaan mengajar, tentunya kitapun bisa belajar dari perawat pohonnya, si tukang kebun. Yah, menjadi guru ibarat menjadi tukang kebun. Dan mari kita berguru pada si tukang kebun ini.
Tukang kebun membangun pengabdiannya pada keberhidupan tanaman-tanaman penghias kebunnya. Ia memulainya dengan mengolah tanah tempat benih tanaman disemaikan nantinya. Setelah mengolah tanah yang bukan sekedar dicangkuli tetapi juga diberi pupuk dan disirami, ia pun menebarkan benihnya. Sembari menunggu benihnya bertunas, si tukang kebundengan rajin menyiangi tanahnya serta menyiraminya dengan penuh cinta demi keberhidupan benih yang telah ditebarkannya itu.
Setelah benih mulai bersemi, si tukang kebun akan merawatnya dengan lebih intensif dan teliti karena masalah yang mengincar si tanaman muda pasti menjadi lebih banyak dan lebih kompleks. Ia pun menyiangi tanamannya, membuang serangga-serangga yang mengincar keranumannya dan juga tetap merawat tanah tempatnya bertumbuh.
Saat tanaman-tanaman itu tumbuh besar dan mulai berbunga dan lantas berbuah lebat, si tukang kebun tidak dengan serta merta mencurahkan kebanggaannya dengan menghabiskan buah-buahnya tersebut sendirian. Mungkin akan datang para p.encuri buah, mungkin si tukang kebun akan jengkel karenanya, namun seorang tukang kebun pasti memiliki kesadaran untuk memahami bahwa hasil dari tanah perkebunannya bukan sekedar untuk memenuhi hasrat kepuasan pribadinya. Hasil dari kebunnya itu akan terasa manis justru ketika orang lainlah yang memuji kemanisan buah yang dihasilkannya, atau keelokan tanaman yang dirawatnya.
Tanaman-tanaman yang dirawat oleh seorang tukang kebun dengan penuh pengabdian tidak akan tumbuh seadanya. Ia akan tumbuh dengan baik dan sehat. Ia juga akan berbunga dengan cantik dan lebih kompak. Ia juga akan menghasilkan buah yang baik dan lebat. Ia tidak hidup dan bertumbuh dengan begitu saja, seadanya. Demikian juga dengan peran guru dalam wilayah dunia pendidikan. Guru bukanlah orang yang mengajari seperti halnya tukang kebun yang tidak sekedar menanami.
Guru adalah orang yang belajar mengajar. Guru adalah pembelajar sejati, orang yang mengabdi pada segala hal yang bernama serba ajar-ajaran. Pelajaran, ajaran, pembelajaran, pelajar, belajar dan keberbelajaran.
Dunia manusia memang dunia serba belajar dan penuh ajaran. Manusia sendiri adalah goresan dari ajaran-ajaran saat ia belajar. Lantas, apa kabar dunia pendidikan kita sekarang? sekolah kita sekarang, masihkah memberikan hak keberbelajaran itu? Apakah masih menjadi sebuah perguru-guruan? Bagaimana denganmu, kawan? Sudah belajarkah? Belajar apakah dirimu hari ini? Begitu?
Pare, 25 Februari 2012
Uun Nurcahyanti
Disampaikan dalam diskusi Rumah Anak Bangsa 25 Februari 2012
Di Global E Female, Pare-Kediri
Oleh: Uun Nurcahyanti
Meminjam istilah Andi Zulkarnaen, ‘Dunia Sekolah’ adalah sebuah wacana yang selalu menjadi wilayah yang seksi untuk dibicarakan. Mengapa? Karena dunia sekolah adalah wilayah magis yang memproduksi sumber daya yang paling mendasar di muka bumi ini, yaitu sumber daya manusia. Dan berbicara tentang manusia dengan segala potensi yang dianugerahkan dan dipercayakan Tuhan kepadanya sebagai tugas ke-Tuhan-an alias kenabian tentunya menjadi pembicaraan yang tak bakal usang. Artinya, Dunia Sekolah sangat intim dengan Dunia Manusia dengan segala kebermanusiaannya.
Dalam sebuah diskusi, Bandung Mawardi pernah menjawab pertanyaan seorang peserta diskusi yang mempertanyaan pernyataan beliau bahwa manusia adalah kitab, sehingga sebenarnya perlu tidak sih manusia itu membaca. Jawaban yang mengejutkan dari beliau sangatlah mengejutkan : ”Tidak!”
Jawaban yang singkat, padat, dan terasa kurang pas dengan konsepsi kekinian kaum intelektual yang senantiasa didorong untuk membaca buku tersebut cukup membimbangkan hati saya pribadi sehingga menjadi bahan yang cukup hangat untuk direnungkan dan dibicarakan selama beberapa waktu setelah diskusi tersebut usai. Saya sendiri sejak lama meyakini bahwa kita adalah kitab, segala hal di alam semesta raya ini adalah kitab. Namun konsep ketidakperluan membaca ini menjadi pendasaran pemikiran yang sama sekali baru.
Setelah beberapa lama mencoba memecahkan misteri kata ‘tidak perlu membaca’ ala Bandung Mawardi ini dan mulai mencoba menekuni dunia menulis sebagai sebuah bentuk penuangan pikiran selain berdiskusi, kata ‘tidak perlu membaca’ ini ternyata justru memang merupakan hal mendasar bagi manusia untuk memompa potensi dirinya dan menempanya dalam lautan karya. Mengapa? Karena dalam penciptaan setiap makhluk, di dalam ragawi dan keberisian dirinya selalu ada informasi yang tertatahkan di seantero dirinya. Demikian juga dengan manusia.
Dalam setiap sel tubuh manusia terdapat informasi yang tiada tara sama seperti makhluk lainnya. Manusia memang ibarat kitab. Kitab yang bernama manusia ini sudah bersampul dan pada sampulnya itu telah terukir judul kitabnya masing-masing. Kitab itupun, sebenarnya, telah berisi aksara-aksara demi keterbacaan informasi-informasi illahiah yang dibawa oleh masing-masing kitab tersebut.
Sama seperti benda lain, kitab merupakan sebuah benda yang harus dipelihara agar tetap bagus dan memiliki keberfungsian secara maksimum. Isi kitab diri manusia ini hendaknya terbaca oleh si pemilik ragawinya sendiri dulu yaitu manusia yang bersangkutan. Disinilah istilah ‘tidak perlu membaca’ ala bandung menemukan titik maknanya. Dari sinilah, lantas, muncul istilah perenungan dan pendalaman berpikir membutuhkan perjalanan narasi biografisnya.
Perenungan adalah sebuah upaya khas manusia dalam rangka membaca isi kitab dirinya, menggalinya. Layaknya akar pepohonan yang menghunjami bumi untuk mencari air demi memberhidupkan kemakhlukannya. Sementara berpikir merupakan sebuah kegiatan khas manusia untuk menjadi seorang penghayat hidup yang berlandaskan kitab dirinya dan kitab-kitab lain diluar dirinya.
Oleh karena itu, bisa dikatakan bahwa membaca hal di luar dirinya, termasuk membaca buku, menjadi hal yang sangat perlu, karena merupakan suatu upaya kolektif untuk mencermati dan belajar dari perenungan dan pemikiran orang lain maupun hakikat hal-hal lain di luar dirinya. Bagaimanapun, buah dan hasil pemikiran orang lain adalah suatu upaya untuk mengasah pemahaman kita tentang makna diri kita dan bisa menjadi sebuah bahan untuk memperkaya konsepsi dan wacana yang telah kita miliki dalam kitab diri kita. Bukankah tingkat kualitas manusia juga ditentukan oleh goresan-goresan benda lain pada dirinya? Ibarat tatahan-tatahan ukiran pada kayu yang bukan sekedar bernilai estetika namun juga bernilai kearifan, ketekunan, kecerdasan, kecermatan, dan ketulusan. Ada banyak nilai yang terukir dalam tiap gemulai tatahannya.
Dari desain kondisi keberkitaban manusia ini bisa kita simpulkan bahwa manusia adalah makhluk pembaca dan pembelajar. Manusia adalah makhluk penghayat hidup, hidup yang melingkupi semesta raya. Manusia juga merupakan makhluk penulis atau pembincang yang memiliki keberfungsian yang khas sebagai penyampai berbagai risalah hidup dan kehidupan sebagai hasil dari pembacaannya, perenungannya, dan juga keberolah-pikirannya.
Belajar dan Mengajar
Kondisi-kondisi yang mendesain kebermakhlukan manusia tersebut di atas menunjukkan sebuah hal yang paling mendasar bahwa manusia itu selalu butuh mengkaji kitab dirinya, dan juga menelaah kitab-kitab lain disekitarnya sebagai bagian yang penting dalam keberhidupannya sebagai manusia. Bila manusia tidak lagi melakukan tindakan-tindakan yang berhubungan dengan desain hakikatnya ini, maka lambat laun ia akan jauh dari pemahamannya akan arti hidupnya sendiri.
Hal inilah yang seringkali kita sebut sebagai belajar, dan bisa dikatakan bahwa manusia memang tercipta sebagai makhluk pembelajar. Sementara tujuan belajar adalah terbangunnya tatanan pemahaman-pemahaman tentang arti hidup. Oleh karena itu seorang pembelajar sejati, yang sering disebut sebagai kaum intelektual senyatanya, tentunya juga merupakan seorang penghayat hidup yang luar biasa.
Kesejatian manusia adalah belajar, dan menghayati hidup. Dan oleh karenanya secara alamiah manusia juga memiliki keberbutuhan untuk menyebarkan hasil dari perenungan dan penelaahannya tersebut kepada manusia lainnya. Disinilah peran bahasa manusia menemukan titik puncak persenggamaannya dengan hakekat mendasar manusia sebagai pemilik bahasa bangsa manusia. Disini tampak jelas bahwa bahasa memiliki peran strategis sebagai sayap sekaligus ujung pedang risalah segala ilmu dan berbagai pengetahuan. Lantas, berbincang dan berbicara menjadi bukan sekedar sunatullah karena bahasa adalah piranti kelengkapan hidup manusia layaknya telinga dan mulut sahaja. Dengan tuangan buah pikir dan kelola semesta manusia, berbincang menjadi sebuah kebutuhan untuk bertukar ajaran dan saling memberi ilmu pengetahuan. Obrolanpun bergerak menjadi diskusi-diskusi.
Siklus rantai serba belajar ini menjadi landasan utama mengapa manusia memiliki kebutuhan mendasar lainnya yaitu mengajar.
Keberbutuhan mengajar ini adalah demi menopang siklus serba belajar yang menjadi karakteristik khas manusia. Kondisi belajar dan belajar mengajar ini merupakan siklus kehidupan alamiah manusia. Hal inilah yang kemudian kita sebut sebagai pendidikan, yaitu kondisi serba belajar demi mengikat ilmu-ilmu illahiah yang bertebaran di setiap diri makhluk atau benda yang menghiasi seantero semesta raya.
Artinya, semangat paling fundamental yang mendesain dan membangun keberhidupan manusia adalah belajar, belajar, dan belajar. Belajar pulalah yang memondasi sebuah wilayah yang bernama dunia pendidikan, sehingga bisa dikatakan bahwa pendidikan adalah sebuah sistem khas manusia dalam mengelola dan menjaga pikat serba belajarnya demi menjaga eksistensi perayaan keberhidupannya.
Berguru Kepada Pepohonan
Kita semua tentu sudah mahfum bahwa segala hal yang ada di sekitar kita adalah kitab-kitab semesta. Sehingga tak ada salahnya untuk berguru kepada pepohonan dalam memaknai kisah keberbelajaran manusia. Pada ragawi suatu pohon, ada bagian yang bernama akar, dan sudah saya tuliskan diatas bahwa akar pada pohon memiliki kemiripan fungsi seperti otak pada manusia. Akar menghujam ke dalam bumi demi mencari sumber kehidupannya yaitu air.
Tumbuhan yang berakar tunjang memiliki akar yang kokoh dan memiliki kemampuan untuk menghujam ke dalam lapisan tanah bumi. Semakin dalam akarnya menembus lapisan bumi, semakin tinggi puncak pohonnya seakan semakin tinggi menggapai langit. Sementara tumbuhan yang berakar serabut tidak memiliki akar yang kokoh tetapi memiliki akar yang liat. Akar jenis ini tidak menghujam tetapi cenderung menyebar.
Tetumbuhan dengan akar serabut ini identik dengan perdu-perduan yang memang tidak tumbuh tinggi, kokoh dan menjulang ke langit. Tumbuhan jenis ini mudah beranak pinak, mudah tumbuh di musim penghujan namun juga mudah mati bila kemarau berkepanjangan. Saat tetumbuhannya mati, akar pohon ini bisa bertahan untuk tidak serta merta layu dan mati seperti pada pepohonan yang berakar tunjang.
Artinya, apapun jenis tetumbuhannya tentu punya kisah keistimewaannya sendiri-sendiri. Ada kelebihannya, tetapi juga lepas dari kekurangan. Prinsip sebuah keberimbangan semesta. Namun, intisari dari keberhidupan sebuah pohon adalah perjuangan akar-akar pohonnya dalam mencari dan terus mencari sumber keberhidupannya yaitu air. Rasa sakit yang mengguyur sekujur ujung-ujung akar saat menyusup ke dalam tanah, menggali dan melintasi cadas dan bebatuan agar mencapai kedalaman hidupnya, akhirnya berbuah pada keterjenjangan pokok-pokok pohon yang ditopangnya. Demikian juga dengan kita, manusia. Perenungan dan pendalaman pemikiran-pemikiran dalam lingkup aksara semesta yang diukirkan tuhan pada diri-diri kita mungkin akan menimbulkan gelisah dan kesakitan seperti halnya ujung-ujung akar pohon itu. Namun itulah yang menjenjangkan pohon hidup kebermanusiaan kita. Pilihan untuk menjadi si akar tunjang atau serabut terlihat dari isi kitab hidup yang kita tuliskan dalam jejak sejarah perayaan keberhidupan kita.
Itulah perumpaan dan keberbutuhan belajar pada diri manusia yang tersirat dan tersurat dalam semesta raya pepohonan. Lha untuk perumpamaan mengajar, tentunya kitapun bisa belajar dari perawat pohonnya, si tukang kebun. Yah, menjadi guru ibarat menjadi tukang kebun. Dan mari kita berguru pada si tukang kebun ini.
Tukang kebun membangun pengabdiannya pada keberhidupan tanaman-tanaman penghias kebunnya. Ia memulainya dengan mengolah tanah tempat benih tanaman disemaikan nantinya. Setelah mengolah tanah yang bukan sekedar dicangkuli tetapi juga diberi pupuk dan disirami, ia pun menebarkan benihnya. Sembari menunggu benihnya bertunas, si tukang kebundengan rajin menyiangi tanahnya serta menyiraminya dengan penuh cinta demi keberhidupan benih yang telah ditebarkannya itu.
Setelah benih mulai bersemi, si tukang kebun akan merawatnya dengan lebih intensif dan teliti karena masalah yang mengincar si tanaman muda pasti menjadi lebih banyak dan lebih kompleks. Ia pun menyiangi tanamannya, membuang serangga-serangga yang mengincar keranumannya dan juga tetap merawat tanah tempatnya bertumbuh.
Saat tanaman-tanaman itu tumbuh besar dan mulai berbunga dan lantas berbuah lebat, si tukang kebun tidak dengan serta merta mencurahkan kebanggaannya dengan menghabiskan buah-buahnya tersebut sendirian. Mungkin akan datang para p.encuri buah, mungkin si tukang kebun akan jengkel karenanya, namun seorang tukang kebun pasti memiliki kesadaran untuk memahami bahwa hasil dari tanah perkebunannya bukan sekedar untuk memenuhi hasrat kepuasan pribadinya. Hasil dari kebunnya itu akan terasa manis justru ketika orang lainlah yang memuji kemanisan buah yang dihasilkannya, atau keelokan tanaman yang dirawatnya.
Tanaman-tanaman yang dirawat oleh seorang tukang kebun dengan penuh pengabdian tidak akan tumbuh seadanya. Ia akan tumbuh dengan baik dan sehat. Ia juga akan berbunga dengan cantik dan lebih kompak. Ia juga akan menghasilkan buah yang baik dan lebat. Ia tidak hidup dan bertumbuh dengan begitu saja, seadanya. Demikian juga dengan peran guru dalam wilayah dunia pendidikan. Guru bukanlah orang yang mengajari seperti halnya tukang kebun yang tidak sekedar menanami.
Guru adalah orang yang belajar mengajar. Guru adalah pembelajar sejati, orang yang mengabdi pada segala hal yang bernama serba ajar-ajaran. Pelajaran, ajaran, pembelajaran, pelajar, belajar dan keberbelajaran.
Dunia manusia memang dunia serba belajar dan penuh ajaran. Manusia sendiri adalah goresan dari ajaran-ajaran saat ia belajar. Lantas, apa kabar dunia pendidikan kita sekarang? sekolah kita sekarang, masihkah memberikan hak keberbelajaran itu? Apakah masih menjadi sebuah perguru-guruan? Bagaimana denganmu, kawan? Sudah belajarkah? Belajar apakah dirimu hari ini? Begitu?
Pare, 25 Februari 2012
Uun Nurcahyanti
Disampaikan dalam diskusi Rumah Anak Bangsa 25 Februari 2012
Di Global E Female, Pare-Kediri
Langganan:
Postingan (Atom)