Minggu, 08 April 2012

Sekolah dan Pembangunan Manusia Begitu Saja

 Sekolah dan Pembangunan Manusia Begitu Saja
Oleh: Uun Nurcahyanti

Meminjam istilah Andi Zulkarnaen, ‘Dunia Sekolah’ adalah sebuah wacana yang selalu menjadi wilayah yang seksi untuk dibicarakan. Mengapa? Karena dunia sekolah adalah wilayah magis yang memproduksi sumber daya yang paling mendasar di muka bumi ini, yaitu sumber daya manusia. Dan berbicara tentang manusia dengan segala potensi yang dianugerahkan dan dipercayakan Tuhan kepadanya sebagai tugas ke-Tuhan-an alias kenabian tentunya menjadi pembicaraan yang tak bakal usang. Artinya, Dunia Sekolah sangat intim dengan Dunia Manusia dengan segala kebermanusiaannya.

Dalam sebuah diskusi, Bandung Mawardi pernah menjawab pertanyaan seorang peserta diskusi yang mempertanyaan pernyataan beliau bahwa manusia adalah kitab, sehingga sebenarnya perlu tidak sih manusia itu membaca. Jawaban yang mengejutkan dari beliau sangatlah mengejutkan : ”Tidak!”

Jawaban yang singkat, padat, dan terasa kurang pas dengan konsepsi kekinian kaum intelektual yang senantiasa didorong untuk membaca buku tersebut cukup membimbangkan hati saya pribadi sehingga menjadi bahan yang cukup hangat untuk direnungkan dan dibicarakan selama beberapa waktu setelah diskusi tersebut usai. Saya sendiri sejak lama meyakini bahwa kita adalah kitab, segala hal di alam semesta raya ini adalah kitab. Namun konsep ketidakperluan membaca ini menjadi pendasaran pemikiran yang sama sekali baru.

Setelah beberapa lama mencoba memecahkan misteri kata ‘tidak perlu membaca’ ala Bandung Mawardi ini dan mulai mencoba menekuni dunia menulis sebagai sebuah bentuk penuangan pikiran selain berdiskusi, kata ‘tidak perlu membaca’ ini ternyata justru memang merupakan hal mendasar bagi manusia untuk memompa potensi dirinya dan menempanya dalam lautan karya. Mengapa? Karena dalam penciptaan setiap makhluk, di dalam ragawi dan keberisian dirinya selalu ada informasi yang tertatahkan di seantero dirinya. Demikian juga dengan manusia.

Dalam setiap sel tubuh manusia terdapat informasi yang tiada tara sama seperti makhluk lainnya. Manusia memang ibarat kitab. Kitab yang bernama manusia ini sudah bersampul dan pada sampulnya itu telah terukir judul kitabnya masing-masing. Kitab itupun, sebenarnya, telah berisi aksara-aksara demi keterbacaan informasi-informasi illahiah yang dibawa oleh masing-masing kitab tersebut.
Sama seperti benda lain, kitab merupakan sebuah benda yang harus dipelihara agar tetap bagus dan memiliki keberfungsian secara maksimum. Isi kitab diri manusia ini hendaknya terbaca oleh si pemilik ragawinya sendiri dulu yaitu manusia yang bersangkutan. Disinilah istilah ‘tidak perlu membaca’ ala bandung menemukan titik maknanya. Dari sinilah, lantas, muncul istilah perenungan dan pendalaman berpikir membutuhkan perjalanan narasi biografisnya.

Perenungan adalah sebuah upaya khas manusia dalam rangka membaca isi kitab dirinya, menggalinya. Layaknya akar pepohonan yang menghunjami bumi untuk mencari air demi memberhidupkan kemakhlukannya. Sementara berpikir merupakan sebuah kegiatan khas manusia untuk menjadi seorang penghayat hidup yang berlandaskan kitab dirinya dan kitab-kitab lain diluar dirinya.

Oleh karena itu, bisa dikatakan bahwa membaca hal di luar dirinya, termasuk membaca buku, menjadi hal yang sangat perlu, karena merupakan suatu upaya kolektif untuk mencermati dan belajar dari perenungan dan pemikiran orang lain maupun hakikat hal-hal lain di luar dirinya. Bagaimanapun, buah dan hasil pemikiran orang lain adalah suatu upaya untuk mengasah pemahaman kita tentang makna diri kita dan bisa menjadi sebuah bahan untuk memperkaya konsepsi dan wacana yang telah kita miliki dalam kitab diri kita. Bukankah tingkat kualitas manusia juga ditentukan oleh goresan-goresan benda lain pada dirinya? Ibarat tatahan-tatahan ukiran pada kayu yang bukan sekedar bernilai estetika namun juga bernilai kearifan, ketekunan, kecerdasan, kecermatan, dan ketulusan. Ada banyak nilai yang terukir dalam tiap gemulai tatahannya.

Dari desain kondisi keberkitaban manusia ini bisa kita simpulkan bahwa manusia adalah makhluk pembaca dan pembelajar. Manusia adalah makhluk penghayat hidup, hidup yang melingkupi semesta raya. Manusia juga merupakan makhluk penulis atau pembincang yang memiliki keberfungsian yang khas sebagai penyampai berbagai risalah hidup dan kehidupan sebagai hasil dari pembacaannya, perenungannya, dan juga keberolah-pikirannya.

Belajar dan Mengajar

Kondisi-kondisi yang mendesain kebermakhlukan manusia tersebut di atas menunjukkan sebuah hal yang paling mendasar bahwa manusia itu selalu butuh mengkaji kitab dirinya, dan juga menelaah kitab-kitab lain disekitarnya sebagai bagian yang penting dalam keberhidupannya sebagai manusia. Bila manusia tidak lagi melakukan tindakan-tindakan yang berhubungan dengan desain hakikatnya ini, maka lambat laun ia akan jauh dari pemahamannya akan arti hidupnya sendiri.

Hal inilah yang seringkali kita sebut sebagai belajar, dan bisa dikatakan bahwa manusia memang tercipta sebagai makhluk pembelajar. Sementara tujuan belajar adalah terbangunnya tatanan pemahaman-pemahaman tentang arti hidup. Oleh karena itu seorang pembelajar sejati, yang sering disebut sebagai kaum intelektual senyatanya, tentunya juga merupakan seorang penghayat hidup yang luar biasa.

Kesejatian manusia adalah belajar, dan menghayati hidup. Dan oleh karenanya secara alamiah manusia juga memiliki keberbutuhan untuk menyebarkan hasil dari perenungan dan penelaahannya tersebut kepada manusia lainnya. Disinilah peran bahasa manusia menemukan titik puncak persenggamaannya dengan hakekat mendasar manusia sebagai pemilik bahasa bangsa manusia. Disini tampak jelas bahwa bahasa memiliki peran strategis sebagai sayap sekaligus ujung pedang risalah segala ilmu dan berbagai pengetahuan. Lantas, berbincang dan berbicara menjadi bukan sekedar sunatullah karena bahasa adalah piranti kelengkapan hidup manusia layaknya telinga dan mulut sahaja. Dengan tuangan buah pikir dan kelola semesta manusia, berbincang menjadi sebuah kebutuhan untuk bertukar ajaran dan saling memberi ilmu pengetahuan. Obrolanpun bergerak menjadi diskusi-diskusi.
Siklus rantai serba belajar ini menjadi landasan utama mengapa manusia memiliki kebutuhan mendasar lainnya yaitu mengajar.

Keberbutuhan mengajar ini adalah demi menopang siklus serba belajar yang menjadi karakteristik khas manusia. Kondisi belajar dan belajar mengajar ini merupakan siklus kehidupan alamiah manusia. Hal inilah yang kemudian kita sebut sebagai pendidikan, yaitu kondisi serba belajar demi mengikat ilmu-ilmu illahiah yang bertebaran di setiap diri makhluk atau benda yang menghiasi seantero semesta raya.
Artinya, semangat paling fundamental yang mendesain dan membangun keberhidupan manusia adalah belajar, belajar, dan belajar. Belajar pulalah yang memondasi sebuah wilayah yang bernama dunia pendidikan, sehingga bisa dikatakan bahwa pendidikan adalah sebuah sistem khas manusia dalam mengelola dan menjaga pikat serba belajarnya demi menjaga eksistensi perayaan keberhidupannya.

Berguru Kepada Pepohonan

Kita semua tentu sudah mahfum bahwa segala hal yang ada di sekitar kita adalah kitab-kitab semesta. Sehingga tak ada salahnya untuk berguru kepada pepohonan dalam memaknai kisah keberbelajaran manusia. Pada ragawi suatu pohon, ada bagian yang bernama akar, dan sudah saya tuliskan diatas bahwa akar pada pohon memiliki kemiripan fungsi seperti otak pada manusia. Akar menghujam ke dalam bumi demi mencari sumber kehidupannya yaitu air.

Tumbuhan yang berakar tunjang memiliki akar yang kokoh dan memiliki kemampuan untuk menghujam ke dalam lapisan tanah bumi. Semakin dalam akarnya menembus lapisan bumi, semakin tinggi puncak pohonnya seakan semakin tinggi menggapai langit. Sementara tumbuhan yang berakar serabut tidak memiliki akar yang kokoh tetapi memiliki akar yang liat. Akar jenis ini tidak menghujam tetapi cenderung menyebar.

Tetumbuhan dengan akar serabut ini identik dengan perdu-perduan yang memang tidak tumbuh tinggi, kokoh dan menjulang ke langit. Tumbuhan jenis ini mudah beranak pinak, mudah tumbuh di musim penghujan namun juga mudah mati bila kemarau berkepanjangan. Saat tetumbuhannya mati, akar pohon ini bisa bertahan untuk tidak serta merta layu dan mati seperti pada pepohonan yang berakar tunjang.

Artinya, apapun jenis tetumbuhannya tentu punya kisah keistimewaannya sendiri-sendiri. Ada kelebihannya, tetapi juga lepas dari kekurangan. Prinsip sebuah keberimbangan semesta. Namun, intisari dari keberhidupan sebuah pohon adalah perjuangan akar-akar pohonnya dalam mencari dan terus mencari sumber keberhidupannya yaitu air. Rasa sakit yang mengguyur sekujur ujung-ujung akar saat menyusup ke dalam tanah, menggali dan melintasi cadas dan bebatuan agar mencapai kedalaman hidupnya, akhirnya berbuah pada keterjenjangan pokok-pokok pohon yang ditopangnya. Demikian juga dengan kita, manusia. Perenungan dan pendalaman pemikiran-pemikiran dalam lingkup aksara semesta yang diukirkan tuhan pada diri-diri kita mungkin akan menimbulkan gelisah dan kesakitan seperti halnya ujung-ujung akar pohon itu. Namun itulah yang menjenjangkan pohon hidup kebermanusiaan kita. Pilihan untuk menjadi si akar tunjang atau serabut terlihat dari isi kitab hidup yang kita tuliskan dalam jejak sejarah perayaan keberhidupan kita.

Itulah perumpaan dan keberbutuhan belajar pada diri manusia yang tersirat dan tersurat dalam semesta raya pepohonan. Lha untuk perumpamaan mengajar, tentunya kitapun bisa belajar dari perawat pohonnya, si tukang kebun. Yah, menjadi guru ibarat menjadi tukang kebun. Dan mari kita berguru pada si tukang kebun ini.

Tukang kebun membangun pengabdiannya pada keberhidupan tanaman-tanaman penghias kebunnya. Ia memulainya dengan mengolah tanah tempat benih tanaman disemaikan nantinya. Setelah mengolah tanah yang bukan sekedar dicangkuli tetapi juga diberi pupuk dan disirami, ia pun menebarkan benihnya. Sembari menunggu benihnya bertunas, si tukang kebundengan rajin menyiangi tanahnya serta menyiraminya dengan penuh cinta demi keberhidupan benih yang telah ditebarkannya itu.

Setelah benih mulai bersemi, si tukang kebun akan merawatnya dengan lebih intensif dan teliti karena masalah yang mengincar si tanaman muda pasti menjadi lebih banyak dan lebih kompleks. Ia pun menyiangi tanamannya, membuang serangga-serangga yang mengincar keranumannya dan juga tetap merawat tanah tempatnya bertumbuh.

Saat tanaman-tanaman itu tumbuh besar dan mulai berbunga dan lantas berbuah lebat, si tukang kebun tidak dengan serta merta mencurahkan kebanggaannya dengan menghabiskan buah-buahnya tersebut sendirian. Mungkin akan datang para p.encuri buah, mungkin si tukang kebun akan jengkel karenanya, namun seorang tukang kebun pasti memiliki kesadaran untuk memahami bahwa hasil dari tanah perkebunannya bukan sekedar untuk memenuhi hasrat kepuasan pribadinya. Hasil dari kebunnya itu akan terasa manis justru ketika orang lainlah yang memuji kemanisan buah yang dihasilkannya, atau keelokan tanaman yang dirawatnya.

Tanaman-tanaman yang dirawat oleh seorang tukang kebun dengan penuh pengabdian tidak akan tumbuh seadanya. Ia akan tumbuh dengan baik dan sehat. Ia juga akan berbunga dengan cantik dan lebih kompak. Ia juga akan menghasilkan buah yang baik dan lebat. Ia tidak hidup dan bertumbuh dengan begitu saja, seadanya. Demikian juga dengan peran guru dalam wilayah dunia pendidikan. Guru bukanlah orang yang mengajari seperti halnya tukang kebun yang tidak sekedar menanami.

Guru adalah orang yang belajar mengajar. Guru adalah pembelajar sejati, orang yang mengabdi pada segala hal yang bernama serba ajar-ajaran. Pelajaran, ajaran, pembelajaran, pelajar, belajar dan keberbelajaran.

Dunia manusia memang dunia serba belajar dan penuh ajaran. Manusia sendiri adalah goresan dari ajaran-ajaran saat ia belajar. Lantas, apa kabar dunia pendidikan kita sekarang? sekolah kita sekarang, masihkah memberikan hak keberbelajaran itu? Apakah masih menjadi sebuah perguru-guruan? Bagaimana denganmu, kawan? Sudah belajarkah? Belajar apakah dirimu hari ini? Begitu?

Pare, 25 Februari 2012

Uun Nurcahyanti
Disampaikan dalam diskusi Rumah Anak Bangsa 25 Februari 2012
Di Global E Female, Pare-Kediri

Tidak ada komentar:

Posting Komentar