Lahir sebagai seorang perempuan adalah kodrat Sang Pencipta
yang tak dapat lagi ditolak keberadaannya dan sampai sekarang saya bersyukur
akan ‘keperempuanan’ saya. Kata perempuan yang baru dapat saya pahami maknanya
semenjak berada di bangku kuliah. Secara semantik perempuan berasal dari kata
“empu” yang diartikan sebagai orang yang ahli atau mampu. Kata Empu yang tak
asing di telinga kita seperti Empu Tantular, Empu Gandring, dan lainnya. Beliau
adalah individu yang berani, cerdas, dan menjadi ispirasi bagi masyarakatnya
layaknya seorang guru. Begitu pula pengertian secara bahasa yang semestinya
dapat dipahami oleh perempuan atau bahkan seluruh masyarakat.
Namun apakah benar adanya bahwa perempuan seharusnya adalah
pribadi yang kuat dan cerdas. Bagaimana dengan anggapan bahwa perempuan
sebaiknya tidak perlu banyak berkata, tidak perlu sekolah tinggi-tinggi karena
akan kembali ke dapur juga, perempuan tidak bisa jadi pemimpin, dan opini
lainnya?
Semenjak saya memakai seragam putih biru (baca:SMP) dan
berada di lingkungan yang cukup berada, teman-teman yang cukup memperhatikan
fashion hari ini, atmosfer belajar yang dinamis (baca: kadang rajin, kadang
malas) membuat saya cukup terbawa arus dengan kondisi ini. Terlebih lagi
masa-masa SMP adalah masa pubertas dimana seorang anak perempuan ingin terlihat
cantik dan diperhatikan oleh orang-orang di sekitarnya. Keinginan untuk membeli
sepatu bermerk, memakai produk-produk kecantikan utamanya pemutih kulit untuk
berusaha mengubah kulit saya yang kata orang coklat dan sangat jarang ditemukan
bahwa perempuan yang berkulit coklat itu bisa dikatakan cantik.Rambut yang dipermak hingga bisa seperti
rambut Dian Sastro yang lurus, rapi, dan lembut. Luar biasa, ternyata
pengeluaran yang besar pada masa-masa putih biru saya ini hanya karena
kepuasaan sesaat dan pengakuan di orang-orang di sekitar saya bahwa “saya
ada(baca: eksis)”. Terlebih lagi teman-teman yang berada dalam kepengurusan
OSIS adalah orang-orang yang terpilih karena mereka cukup “eksis” baik dalam
hal “gaya berpakaian” maupun pergaulan sosial. Kondisi ini terus berlanjut
hingga ke gerbang pendidikan formal selanjutnya, Sekolah Menengah Atas. Namun
terdapat beberapa perbedaan signifikan yang saya alami karena sekolah ini
adalah salah satu sekolah unggulan di kota Makassar. Atmosfer belajar
(baca:intelektual), persaingan dan religius sangat kuat menghiasi hari-hari
saya di sekolah ini, SMA Negeri 17 Makassar. Pemahaman tentang keorganisasian
mulai muncul ketika bergabung di organisasi Paskibra (Pasukan Pengibar Bendera)
dan MPK (Majelis Permusyawaratan Kelas) namun tetap eksis dengan mengikuti
perkembangan gaya baru hari ini yang di saat itu baju-baju karya Distro sedang
digandrungi oleh anak muda Makassar. Langganan majalah distropun kelak saya
lakoni, gaya rambut “mullet” mirip Agnes Monica menjadi pilihan saya, dan
celana botol (baca:celana ketat utamanya bagian bawah) membentuk seperti botol
yang masih sampai sekarang menjadi favorit di kalangan perempuan maupun lelaki.
Tak ayal konsumerisme pun menjamur di kalangan anak muda
utamnya perempuan yang senantiasa membutuhkan ini dan itu untuk melengkapi
kesempurnaan fisiknya sehingga tampak menawan dan pasar (baca:kapitalis) tentunya
sangat menikmati hobi kebanyakan perempuan Indonesia ini. Semakin banyak
kebutuhan mereka, maka akan semakin banyak pula keuntungan individu yang mereka
peroleh sehingga mereka pun semakin kaya dengan “pembentukan hegemoninya (baca:
doktrinasi paradigma)” dan kaum perempuan semakin terbuai akan kecantikannya
sesuai dengan “paradigma cantik yang telah di hegemoni oleh pasar” yaitu cantik
adalah ketika seorang perempuan memiliki kulit yang putih dan halus, rambut
yang panjang dan lurus, hidung yang mancung, mata yang bulat, tubuh yang
langsing, dan lainnya. Di negara lain seperti Thailand, perempuan cantik adalah
yang memakai banyak kalung di lehernya hingga lehernya semakin lama semakin
tinggi dengan keberadaan kalung yang semakin bertambah. Di negara afrika,
perempuan yang cantik adalah yang memiliki tubuh yang besar dan berkulit hitam.
Ternyata terdapat perbedaan di beberapa negara tersebut, sehingga tak pantas
ketika kita mencoba untuk menyamaratakan tentang konsep kecantikan seorang
perempuan secara fisik tersebut. Lalu, bagaimana dengan kemampuan intelektual
seorang perempuan?
Wacana ini dulunya masih menjadi tabu di beberapa daerah di
Indonesia. Namun untk hari ini perempuan mulai bangkit mengukir sejarah
intelektualnya. Walaupun masih dominan pandangan bahwa perempuan sebaiknya di
rumah saja untuk melayani suami, merawat anak, dan memasak. pekerjaan tersebut
adalahpekerjaan yang sangat mulia namun perempuan adalah salah satu ciptaan
Tuhan dimana telah ditiupkan Ruh Ilahi di dalamnya sehingga kita patut untuk
bertanggung jawab atas segala kondisi yang ada di masyarakat termasuk kezaliman
yang akhir-kahir ini sering terjadi layaknya Korupsi, konstruksi paradigma
kapitalis, ketidakadilan, kemiskinan, dan realita lainnya.
Saya pernah membaca cerita tentang salah satu perempuan
mulia yaitu Fatimah Zahra anak dari Rasulullah SAW dan Siti Khadijah. Beliau
yang dalam prinsipnya lebih memilih kesusahan daripada kemudahan, menyukai
kesederhanaan dibandingkan kemewahan, mencintai orang lain daripada diri sendiri,
dan lebih suka menentang kezaliman daripada DIAM.Fatimah as adalah pejuang Tuhan di hadapan
kezaliman, khususnya setelah Rasulullah saw wafat, ketika dirinya melancarkan
protes terhadap berbagai ketidakadilan dengan keberanian luar biasa. Dua
diantara penentangannya yang penting tercermin dari dua khutbah yang
disampaikannya dimesjid dan di rumahnya ketika orang-orang menjenguknya tatkala
sakit. (buku: membela perempuan, menakar feminisme dengan nalar agama).
Selain itu cerita tentang Bunda Theresa seorang biarawti
yang taat yang melihat Ruh Ilahi pada kaum Papa atau kamu mustadhafin
(baca:kaum tertindas) sehingga beliau mendedikasikan dirinya dengan mengabdi
pada suatu daerah di India bernama Calcutta dimana terdapat penduduk yang
sangat miskin, susah memperoleh kesehatan layak dan pendidikan yang memadai.
Perjuangan beliau dengan cinta membawa hasil yang signifikan bagi masyarakat
Calcutta pada saat itu, ditandai dengan anak-anak yang mulai bisa mengenal
huruf dan kata-kata, masyarakat yang dapat memperoleh pengobatan gratis, dan
pembatalan penggusuran daerah Calcutta yang akan dimanfaatkan sebagai lahan
bisnis oleh yang terhormat birokrasi. Cerminan tokoh perempuan seperti Fatimah
Zahra dan Bunda Theresa yang sangat jarang kita temukan figurnya di media-media
yang tersohor. Media dominan memunculkan tokoh-tokoh perempuan layaknya artis
dengan kehidupan glamour dan megah (baca:hedonism) sehingga bagi
manusia-manusia yang senantiasa mencari jati diri lewat figure yang mereka
dambakan pastinya akan mengikuti apa yang dilakukan oleh idolanya. Belum lagi
karena TV menjadi media yang paling utama dan terfavorit bagi sebagian penduduk
Indonesia, sehingga buku-buku bacaan mulai kehilangan pamornya. Jadilah
pribadi-pribadi yang pasif dan monoton serta robot kapitalis.
Memasuki miniatur
kehidupan (baca: kampus) adalah momen yang tak terduga saat terjadinya
dekonstruksi (baca:pembongkaran) dan rekonstruksi (baca:penyusunan kembali)
pola pikir atau mind-set individu-individu
melalui proses kaderisasi yang tidak akan kami dapat ditemukan di ruang-ruang
pendidikan formal. Pandangan perihal perempuan pun semakin membuka cakrawala
berpikir saya bahwa berbicara tentang perempuan tidaksesederhana apa yang saya bayangkan dan alami
selama ini, tetapi memiliki makna yang lebih dalam. Awalnya perempuan cantik
adalah yang secara fisik mirip dengan Dian Sastro atau Luna Maya, kemudian
salah satu senior saya membahasakan bahwa perempuan cantik adalah yang buku
menjadi sahabat setianya, diskusi adalah ruang aplikasi wacananya, dan menulis
adalah kesetiannya pada peradaban. Kalimat yang masih menjadi wacana favorit di
kalangan mahasiswa tersebut kadang masih saja membuat mereka ragu dan cenderung
malas untuk memulai budaya baru, budaya yang mereka sebut budaya ilmiah (baca:
membaca, berdiskusi, dan menulis). Utamanya bagi perempuan-perempuan di kampus
sehingga mungkin sebab itu masih cukup jarang ditemui pembicara, motivator, dan
penulis buku seorang perempuan. Dan sampai pada wacana bahwa perempuan adalah
makhluk ciptaan Tuhan yang berasal dari tanah dan mempunyai kesempatan yang
sama dalam hal berlaku menuju kesempurnaan Sang Maha Sempurna. Yang membedakan
perempuan dengan laki-laki hanyalah kodrat secara fisik yang mereka alami bahwa
perempuan dapat melahirkan, menyusui, memiliki ovum dan memiliki cirri-ciri
fisik yang mempertegas keperempuanannya. Sedangkan laki-laki memiliki sperma
dan tanda –tanda fisik lainnya yang telah diatur sedemikian rupa oleh Sang Maha
Pencipta. Dan selebihnya adalah sama kecuali dalam hal fikih yang mempunyai
aturan-aturan yang berbeda. Kualitas kemanusiaan seseorang ditentukan oleh
individu masing-masing baik laki-laki maupun perempuan sehingga kemampuan untuk
cerdas, militan, bermasyarakat dan berkontribusi terhadap bumi adalah tanggung
jawab setiap manusia dengan berbagai metode yang mereka pilih seperti menjadi
pedagang, pendidik, politisi, psikolog, ekonom, menteri bahkan seorang
presiden. Sehingga pandangan Aristoteles tentang perempuan yaitu (384-322 SM)
memandang bahwa perempuan sebagai manusia “yang tidak sempurna”. Perempuan
adalah “pria yang tidak produktif”. Hanya prialah manusia paripurna
(baca:sempurna). “hubungan pria dan perempuan, secara alamiah, adalah bahwa
pria lebih tinggi dan perempuan lebih rendah, juga prialah yang menguasai sementara
perempuan yang dikuasai”. Pandangan ini dapat runtuh dengan sendirinya dengan
beberapa referensi pembanding lainnya dan diikuti dengan semangat perempuan
hari ini.
Perempuan adalah semesta pertama bagi manusia karena
perempuan memiliki rahim. Sekolah pertama bagi anak-anaknya dan memiliki ikatan
batin yang cukup kuat mulai dari masa hamil, menyusui, dan merawat anaknya
hingga dewasa sehingga perempuan wajib cerdas dengan memiliki pengetahuan yang
holistik dan bijak dalam berbagai kondisi. Kendati demikian, maka tidak hanya
generasi berkualitas yang tercipta bahkan peradaban yang terdidik.
Meminjam istilah dari salah seorang perempuan hebat menurut
saya, Ms.Uun , bahwa manusia adalah kitab yang sehendaknya memiliki sampul,
judul dan isidimana sampul adalah
tampilan fisik kita, judul adalah nama kita dan isi adalah keseluruhan semesta
yaitu intelektual, spiritual, dan emosional. Sudahkan kita mengukir isi buku
kita wahai perempuan ?
Sebuah puisi oleh Eni Rochyati ini kupersembahkan bagi
kalian perempuan Indonesia yang senantiasa rindu akan hakikat dirimu dan
bangkit untuk menyentuh peradaban.
Perempuan!
Kau taklagi sendiri
Kau tak lagi bermimpi
Berkacalah
Ketika keterpurukan negeri ini
Belalaklah matamu
Apa yang bisa kau lakukan
Demi diri
Ukirlah karyamu
Himpunlah kekuatanmu
Ciptakanlah keinginanmu hidupkanlah dirimu
Dari karyamu
Esok..tiada lagi terdengar rengekan, rinntihan
Perempuan
Kau telah mampu bangkit dan mencipta
Karyamu pembangkit generasi
Wahai perempuan mulia, Jadilah Intelektual Progresif yang senantiasa
rindu akan pengetahuan dan tidak membungkam diri dengan pengetahuanmu. Dan
hiasilah segalanya dengan cinta karena cinta seperti cahaya yang akan
memberikan kehangatan dalam hidupmu.
“All
of the problem that confront the Muslim world today the educational problem is
the most challenging. The future of the Muslim world will depend upon the way
it responds to this challenge”,
Artinya:
Dari sekian banyak permasalahan yang merupakan tantangan terhadap dunia Islam
dewasa ini, maka masalah pendidikan merupakan masalah yang paling menantang.
Masa depan dunia Islam tergantung kepada cara dunia Islam menjawab dan
memecahkan tantangan ini.
Pernyataan Khursid Ahmad diatas
menunjukkan bahwa pendidikan merupakan kebutuhan penting bagi setiap manusia,
masyarakat, maupun bangsa, maka pendidikan harus selalu ditumbuhkembangkan
secara sistematis dan visioner. Berangkat dari kerangka ini, maka upaya
pendidikan yang dilakukan suatu bangsa selalu memiliki hubungan yang signifikan
dengan rekayasa bangsa tersebut di masa mendatang.
Dan perlu kita ketahui bersama bahwa
di jaman globalisasi ini, kita tidak hanya dituntut untuk mempelajari
pendidikan yang bersifat ukhrawi
melainkan juga duniawi. Karena kita
tidak hidup sendirian tapi bermasyarakat, kita tidak hidup di Negara yang hanya
satu-satunya di dunia, melainkan bertetangga. Dan dalam bertetangga pasti ada
hubungan, dalam hubungan pasti ada komunikasi dan dalam komunikasi pasti ada
bahasa. Bahasa apakah yang akan kita gunakan dalam berkomunikasi dengan Negara
lain? atau mempelajari ilmu atau buku-buku dari Negara lain yang tidak
se-bahasa dengan kita? Tentunya dunia sudah menetapkan satu bahasa
internasional pemersatu antar negara untuk melakukan komunikasi, yaitu bahasa
inggris.
Nah, sebagai Muslim bagaimanakah
hukumnya mempelajari bahasa inggris yang merupakan bahasanya orang-orang yang
menyekutukan Allah? Apakah para pelajar yang mempelajari bahasa inggris
termasuk pada Hadits:
“Barangsiapa
yang menyerupai suatu kaum, maka ia termasuk golongan mereka”.?
Sekarang ini telah terjadi
kesalahfahaman tentang hukum belajar bahasa Inggris di kalangan ikhwan
salafiyyin. Sebagian mereka jatuh ke dalam ghuluw karena mengharamkan belajar
bahasa Inggris secara mutlak dan mencela madrasah yang mengajarkan bahasa
Inggris padahal madrasah tersebut juga bermanhaj salaf sebagaimana rekomendasi
sebagian ulama’ dakwah salafiyah. Bahkan di antara mereka ada yang keterlaluan
dalam bersikap dan meng-hizbi-kan saudara mereka yang sedang belajar bahasa
Inggris padahal ia dalam posisi sangat membutuhkannya.
Tulisan ini akan sedikit memberikan
pencerahan kepada para pembaca tentang sikap para ulama salaf terhadap bahasa
Ajam (non-Arab) termasuk juga bahasa Inggris. Dengan demikian kita dapat
merancang porsi bahasa dalam pendidikan anak-anak kita.
Para ulama membagi hukum belajar bahasa
Ajam menjadi 2 keadaan:
* Membiasakan bahasa Ajam dalam percakapan sehari-hari
*
Menjadikan bahasa Ajam sebagai wasilah (perantara) untuk kepentingan dakwah
atau untuk kebutuhan duniawi
Larangan Membiasakan
Bahasa Ajam
Telah datang larangan dari Salafush
Shalih tentang larangan mempelajari bahasa Ajam (termasuk bahasa Inggris) dengan
tujuan pemakaian sehari-hari atau sebagai kebiasaan.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah
berkata:
“Dan
adapun membiasakan berbicara dengan selain bahasa Arab yang merupakan syi’ar
Al-Islam dan bahasa Al-Quran sampai bahasa tersebut menjadi adat (kebiasaan) bagi
suatu negeri dan penduduknya, juga bagi penghuni rumah tangga, juga antara
seseorang dengan temannya, bagi penduduk pasar, bagi pemerintahan atau dinas
pemerintah atau menjadi kebiasaan bagi ahli fiqih, maka tidak diragukan lagi
bahwa ini (membiasakan selain bahasa Arab) adalah dibenci karena termasuk
tasyabbuh dengan orang-orang Ajam dan perkara tersebut adalah dibenci
sebagaimana keterangan terdahulu.” (Iqtidla’ Shirathil Mustaqim: 206).
Mempelajari Bahasa
Inggris atau Ajam sebagai Wasilah
Termasuk dalam Bab ‘mempelajari
bahasa Ajam sebagai wasilah’ yaitu mempelajarinya untuk kepentingan dakwah,
untuk mendekatkan pemahaman, saling berkomunikasi atau juga untuk memenuhi
kebutuhan duniawi seperti belajar ilmu kedokteran atau teknologi yang lainnya.
Ini karena semua manusia di muka
bumi ini memiliki bahasa yang berlainan sebagai tanda kekuasaan Allah U. Allah
U berfirman:
Al-Imam Al-Qurthubi berkata:
“Firman
Allah: “berlain-lainan bahasamu dan warna kulitmu” maksudnya adalah lisan yang
ada di dalam mulut. Dan di dalamnya ada perbedaan bahasa: bahasa Arab, bahasa
Ajam, bahasa Turki dan bahasa Rum. Dan juga perbedaan warna dalam rupa: kulit
putih, kulit hitam, kulit merah. Maka kamu tidaklah melihat seseorang kecuali
kamu dapat membedakan antaranya dan orang lain.” (Tafsir Al-Qurthubi:
14/18).
Dalam riwayat lain:
“Rasulullah memerintahkanku untuk
mempelajari bahasa Suryani.” (HR. At-Tirmidzi: 2639).
Hadits dan atsar di atas menunjukkan bolehnya
menggunakan bahasa Ajam (termasuk bahasa Inggris) sebagai wasilah dakwah untuk
memudahkan pemahaman ataupun wasilah duniawi seperti mempelajari ilmu
pengetahuan, teknologi dan kedokteran karena sampai sekarang masih sedikit
buku-buku teknologi yang diterjemahkan ke dalam bahasa Arab. Dan menggunakan
bahasa Inggris adalah seperlunya saja dan tidak boleh dimasyhurkan.
Tanya: “Apakah mempelajari bahasa
Inggris itu haram ataukah halal?”
Jawab: “Jika di sana ada kebutuhan agama atau duniawi untuk
mempelajari bahasa Inggris atau bahasa Asing lainnya maka tidak ada larangan
untuk mempelajarinya. Adapun jika tidak ada kebutuhan maka dibenci
mempelajarinya. (Al-Lajnah Ad-Daimah lil
Buhuts Al-Ilmiyyah wal Ifta’)
Fatwa Al-Allamah Al-Faqih Ibnu
Utsaimin:
Beliau ditanya tentang hukum
mempelajari bahasa Inggris di waktu sekarang?
Beliau menjawab: “Mempelajarinya
adalah wasilah. Jika engkau membutuhkannya seperti sebagai wasiah dakwah kepada
Allah maka kadang-kadang menjadi wajib. Jika kamu tidak membutuhkannya maka
jangan kamu sibukkan waktumu untuknya dan sibukkan dirimu dengan sesuatu yang
lebih penting dan lebih bermanfaat. Manusia berbeda-beda kebutuhan mereka
terhadapa bahasa Inggris. Dan Rasulullah telah memerintahkan Zaid bin Tsabit
untuk mempelajari bahasa Yahudi. Maka mempelajari bahasa Inggris termasuk
wasilah dari sekian banyak wasilah. Kalau kamu membutuhkannya silakan kamu
pelajari. Dan jika tidak maka jangan kamu sia-siakan waktumu dengannya.” (Majmu
Fatawa wa Rasail Al-Utsaimin: 26/52).
Kesimpulan
Mempelajari bahasa asing adalah
dihukumi sebagai wasilah saja dan boleh dipelajari jika ada kebutuhan agama
atau duniawi.
Untuk kepentingan pendidikan
anak-anak, kita harus memprioritaskan bahasa Arab sebagai bagian dari
pendidikan Al-Quran dan As-Sunnah. Porsi kedua adalah bahasa Indonesia sehingga
mereka bisa berdakwah di lingkungan masyarakatnya. Porsi ketiga adalah bahasa
asing seperti bahasa Inggris karena anak-anak kita juga memiliki hak untuk
mengerti teknologi duniawi.
Pertanyaan: Apakah belajar bahasa
Inggris haram atau halal ?
Jawaban: Jika ada kebutuhan dunia
atau agama untuk belajar bahasa Inggris atau yang lainnya dari bahasa asing
maka tidak dilarang untuk mempelajarinya, adapun jika jika tidak ada kebutuhan
maka mempelajarinya adalah makruh. (Fatawa Lajnah Da’imah 6/8864)
Pertanyaan:
Apakah mempelajari bahasa asing
(seperti bahasa Inggris, Jerman dan yang lainnya) merupakan bahasa orang kafir
Nashara, untuk bisa saling memahami khususnya dalam pekerjaan, safar, berobat
dan yang lainya dari hal-hal duniawiah, apakah hal itu haram atau halal ?
Jawaban:
Mempelajari selain bahasa Arab untuk
mengajak kepada Islam dan butuhnya seorang da’i akan hal itu kepada orang yang
mempelajarinya adalah sesuatu yang membawa maslahat atau bisa menolak mafsadah
(kerusakan) maka itu boleh bahkan bisa menjadi wajib tergantung kepada perbedaan
kondisi dan keadaan waktu, tempat, person dan juga niatnya.
(Syaikh
Abdul Aziz bin Abdullah bin Baaz)
Bagaimana hukum mempelajari bahasa
Inggris pada masa sekarang ini?
Asy Syaikh Muhammad bin Shalih Al
Utsaimin menjawab:
“Jika engkau membutuhkan maka
mempelajarinya adalah suatu alat sebagai sarana berdakwah kepada Allah. Bisa
jadi mempelajari bahasa Inggris hukumnya wajib, namun jika engkau tidak
membutuhkan janganlah engkau menyibukkan waktumu dengan hal itu.
Sibukkanlah dengan hal yang lebih
penting dan bermanfaat. Tingkat kepentingan masyarakat mempelajari bahasa
Inggris berbeda-beda. Nabi Shallallahu’alaihi wasallam pernah memerintah Zaid
bin Tsabit mempelajari bahasa Yahudi. Jadi mempelajari bahasa Inggris merupakan
alat saja. Sekiranya engkau membutuhkan maka engkau bisa mempelajari, jika
tidak maka janganlah menyia-nyiakan waktumu untuk mempelajarinya.
Syaikh Al Utsaimin ghafarallahu lahu juga ditanya:
Bagaimana pendapat anda tentang seorang penuntut ilmu yang mempelajari bahasa
Inggris, terlebih lagi bahasa itu nantinya digunakan untuk berdakwah di jalan
Allah?
Beliau rahimahullah menjawab:
Kami menilai bahwa mempelajari
bahasa Inggris, tidak diragukan lagi, merupakan sebuah alat (saja). Suatu alat
disebut baik jika memiliki tujuan-tujuan yang baik dan menjadi buruk jika
memiliki tujuan-tujuan yang buruk (pula). Tetapi sesuatu yang wajib untuk
dijauhi adalah jika engkau menjadikan bahasa Inggris sebagai suatu alternatif
daqi bahasa Arab, maka ini sungguh tidak boleh. Kami mendengar ada sebagian
orang bodoh berbincang-bincang dengan bahasa Inggris sebagai alternatif
penggati bahasa Arab.
Sampai-sampai ada orang bodoh yang
mengalami kerugian yang saya anggap mereka ini sebagai pengekor orang lain,
mereka mengajari cara salam non muslim pada anak-anak mereka. Mereka mengajari
anak-anak mereka untuk mengucapkan “bay bay” ketika hendak berpisaH atau
istilah lain yang serupa dengan itu. Karena upaya penggantian bahasa Arab
-bahasa Al-Qur’an dan merupakan bahasa termulia- dengan bahasa Inggris, haram
hukumnya.
Namun jika bahasa Inggris ini
digunakan sebagai sarana (alat) untuk berdakwah maka tidak diragukan lagi bahwa
penggunaan bahasa ini terkadang hukumnya menjadi wajib. Saya belum pernah
mempelajari bahasa Inggris dan saya dulu berharap ingin mempelajarinya.
Rasulullah SAW bersabda:
“Belajarlah kalian bahasanya suatu
kaum, maka kalian akan selamat dari tipu daya mereka”
Orang sangat mulia adalah orang yang mempelopori suatu
gerakan moral
yang berguna bagi generasinya dan juga generasi
berikutnya
selanjutnya adalah orang yang memberikan jasa besar
bagi masyarakat pada umumnya
dan selanjutnya adalah orang yang kata-katanya memberikan
pencerahan
dan inspirasi bagi orang lain
ini adalah tiga pencapaian yang tak akan mati dalam
kehidupan
(The Tso Chuan, abad ke-5
SM)
Pare
adalah salah satu titik perubahan Indonesia. Pare terlibat dalam
mencetak calon pemimpin masa depan, akan mencetak pengusaha masa depan, seniman
masa depan, agamawan masa depan dan guru masa depan.
Namun dibalik harapan dan mimpi indah tersebut,
terbersit suatu pertanyaan yang dalam, apakah kampung bahasa Pare
akan mencetak generasi koruptor , yang pintar tapi penghianat bangsaatau kampung bahasa Pare akan mencetak generasi pejuang.
Kita semua berharap di kampung bahasa Pare ini akan lahir generasi Soekarno,
Hatta, Syahrir, Munir, Gusdur, dan para
pejuang lainnya. Di Pare ini akan lahir generasi yang jago bahasa asing
dan siap menjadi pasukan Tuhan di muka
bumi. Yang akan mengatakan “tidak” dan “lawan” terhadap korupsi,
penggusuran dan segala bentuk kezaliman yang ada di depan mata.
Ketakutan lainnya
adalah ketika
Pare hanya menjadi tempat rekreasi/ senang-senang.
Dan yang tak kalah berbahayanya adalah ketika Pare menjadi tempat belajar yang
mahal dan elitis,sehingga hanya orang yang berduit, anak pejabat atau mungkin hanya anak
koruptor yang bisa belajar di Pare. Karena rakyat miskin, tak sanggup lagi
untuk membayar biaya kursus yang mahal. Sehingga orang miskin semakin bodoh dan miskin, orang kaya
semakin cerdas dan kaya. Itulah kejahatan dari sistem kapitalisme yang harus kita lawan sama-sama.
Ada banyak
kelebihan yang dimiliki Pare, diantaranya adalah Pelajar
yang berasal dari sabang
sampai maraoke, dengan berbagai tingkatan
pendidikan(SMP, SMA,S1,S2, dll). Selain itu adalah Basic keilmuan yang berbeda, mulai dari politik, ekonomi, budaya, filsafat, agama, hukum, basic pesantren,dll
Motivasi orang yang kePare sangat mulia.
Misalnya:ingin lanjut study, ingin masuk dunia kerja, dll. Olehnya itu kedepan mereka semua akan mengambil peran yang
strategis di bangsa ini. Kalau mereka idealis maka selamatdan sejahteralah bangsa ini.
Tapi sebaliknya kalau mereka jahat,
korup maka hancurlah bangsa ini.
Agenda
menjadikan pare sebagai pondasi revolusi atau titik perubahan dinegeri ini sangat dipengaruhi oleh kerjasama banyak
stakeholder, yaitu: pemilik kursus progresif ,tokoh masyarakat progresif, , tutor progresif serta pelajar progresif. Yang
kita harapkan, semua stakeholder tersebut punya semangat berjuang atau
semangat mengabdi demi kebenaran dan
pendidikan. Serta senantiasa menjalin kemunikasi guna mengawal visi bagaimana
Pare menjadi surga bagi semua golongan. Golongan Kaya, menengah maupun masyarakat
miskin semua bisa belajar di Pare.
Ketika hampir semua tempat pendidikan di bangsa
ini, senantiasa mempersulit anak tukang becak, anak penjual sayur, anak PNS rendahan
serta anak pensiunan untuk cerdas, maka bisakah Pare yang menyiapkan tempat
bagi mereka.
Pare
adalah simbol perlawanan terhadap elitisasi pengetahuan. Bahwa hanya orang kaya
yang bisa cerdas. Karena mereka punya uang untuk membayar biaya pendidikan
berapapun jumlahnya.
Peran Tutor
Salah satu stakeholder yang berperan
penting dalam agenda perjuangan terhadap Pare adalah Tutor. Karena yang
datang kePare adalah orang-orang yang ingin cerdas bahasa, termasuk english maka otomatis ketika ada yang orang yang jago
English maka akan menjadi idola bagi siswanya. Logikanya adalah bahwa fans
ingin seperti idolanya. Fans lebih cepat percaya kalau idolanya yang ngomomg dari
pada orang lain yang ngomong
Kita
bisa mengambil contoh, orang yang kagum sama Pasya Ungu, akan mengikuti gaya rambut, anting, gaya
pakain, cara ngomong, bahkan cara berpikirnya. Begitu juga orang yang sangat mengangumi Rasulullah Muhammad, pasti akan mengikuti gaya pakaian, cara shalat dan juga karakter Rasulullah Muhammad. Misalnya:semanagat belajar,keberpihakannya
pada kaum tertindas, kesederhanaan, akhlak, keberanian,dll
Nah,, salah satu pertanyaan kunci adalah apakah
tutor bisa menjadi teladan pada wilayah keilmuan, akhlak, spirit, dll
Maka solusinya adalah tutor sambil terus bergerak
(baca:berusaha) menyempurnakan (baca: memperbaiki) dirinya, beliau juga
mengajak (baca: mendidik) murid-muridnya untuk menjadi lebih baik. Karena
kehidupan adalah sebuah proses bergerak menuju kesempurnaan
Tugas
Tutor adalah Mengajar dan Membentuk karakter
siswa
KARAKTER SEBELUM KE PARE
KARAKTER SESUDAH KE PARE
·Polos
·Cuek
·Individualis
·Emosional
·Malas
·Pembohong
· Manja
·Kritis
·Bertanggung
jawab
·Berjiwa social
·Rasional
·Rajin
·Jujur
·Dewasa
Kerja
tutor atau guru adalah kerja-kerja kenabian. Tutor dapat mendesain agenda penyadarannya dalam
pemilihan tema speaking, persentase profil tokoh, nonton film tentang kisah
perjuangan, meminta siswa untuk menjelaskan berita terhangat dari TV serta koran agar mereka terbiasa untuk
membaca. Yang lain adalah contoh dalam soal grammar yang punya meaning perjuangan atau kisah nyata yang menggungah kesadaran, serta nasehat atau diskusi
kecil di dalam kelas atau setelah kelas tentang berita terkini bangsa ini, tentang
relitas kaum miskin,tentang hakekat kehidupan, dll. Ketika hal tersebut rutin
di lakukan, maka akan memberi efek yang sangat besar kepada murid
Oh..sungguh guru atau tutor adalah pengajar dan
penjaga nilai kebenaran, keadilan dan kemanusiaan
Seperti yang pernah di ungkapkan oleh Bung Karno
bahwa jangan sekali-sekali melupakan sejarah, olehnya itu patutlah selalu kita
mengingat bahwa Sejarah Pare adalah sebagai tempat
pendidikan alternative di Bangsa ini. Di saat banyak lembaga pendidikan yang tidak
demokratis, elitis,mahal, kaku dan terpisah dengan realitas masyarakat, maka Kampung Bahasa Pare mengambil posisi yang
sebaliknya, sesuai dengan yang diperintahkan dalam UUD 1945, bahkan sesuai
dengan semangat pencerahan para nabi-nabi di setiap zaman.
Pare Untuk Semua
“Pendikan yang murah,
berkualitas, berkarakter, merakyat dan religius”
Mari semai mimpi
Di tanah penuh rasa cinta ini
Mari tetapkan tekad
Tuk kukuh belajar dan berjuang
Tentang berguru
tanpa menggurui
Tentang para pengabdi ilmu
Yang tulus
Tentang cerita anak bangsa
Yang hidup demi mencipta sepenuh hati
Demi untuk zamrud khatulistiwa
Demi suluh negeri ini
Tanpa janji tapi tekadkan diri
: Untuk tak lelah memberi
Karena tak ada janji
Langit akan selalu biru
Namun di tanah ini
Tak lelah memberkahkan teladan
Tentang berguru
tanpa menggurui
Tentang para pengabdi ilmu
Yang tulus
Tentang cerita anak bangsa
Yang hidup demi mencipta sepenuh hati
Demi untuk zamrud khatulistiwa
Demi suluh negeri ini
Tanpa janji tapi tekadkan diri
: Untuk tak lelah memberi
Menorehkan sejarah cemerlang
Para anak bangsa
..Mari semai mimpi..
# Dipersembahkan untuk pare dan seluruh jiwa yang telah bersinergi untuk menyemaikan mimpi, mewujudkannya dan tidak lelah menciptakan karya-karya nyatanya untuk Indonesia. PARE IS A TRULY INDONESIA.
Pare, Rumah Wow – ASSET 1
Selasa, 06 Maret 2012
19.30 – 22.30
Tulisan ini adalah upaya penulisan ulang dari tulisan saya yang berjudul Selayang Pandang Tentang Pare yang pernah diposkan di blog Smart ILC lama yaitu www.smartilc.co.nr. Pada bulan Juli 2009. Tulisan ini saya coba tuangkan kembali dengan wacana yang sama tetapi dengan penjelasan yang lebih detail atas segala sisi perspektif yang saya pakai dalam mengejawantahkan jejak langkah dan pemikiran seorang tokoh yang telah meletakkan pondasi bagi pengembangan sistem pendidikan alternatif ala Pare. Ada beberapa perubahan data yang tentunya disesuaikan untuk memutakhirkan kondisi data itu sendiri.
Pare adalah sebuah kota kecamatan yang terletak di Kabupaten Kediri, Jawa Timur. Kota kecil ini terletak antara kota Kediri dan Jombang. Waktu tempuh yang dibutuhkan dari masing-masing kota tersebut ke Pare sekitar 45 menit. Di kota kecil nan damai ini terdapat sebuah wilayah yang saat ini akrab dijuluki Kampung Bahasa Inggris, yaitu wilayah desa Tulungrejo. Di wilayah ini kita bisa menemukan suatu lokasi pendidikan yang unik dan mengkhusus diri pada bidang bahasa-bahasa asing terutama bahasa Inggris.
Pare saat ini telah dikenal secara nasional. Gencarnya pemberitaan tentang Pare dalam beberapa tahun terakhir ini telah membawa Pare menapaki masa ketenarannya. Sebuah kondisi yang sungguh memang sudah menjadi bagian dari kewajarannya, karena Pare memang telah melewati masa keberhidupannya selama lebih dari 30 tahun. Masa perjuangan eksistensi sebuah wilayah belajar yang terletak pada sebuah desa yang notabene jauh dari konsepsi wilayah strategis tentunya merupakan hal yang sangat menarik untuk ditelaah. Kebersejarahan Pare bukanlah sebuah perjalanan instanitas yang pasti bertabur berjuta cerita hikmah didalamnya.
Sejarah perkembangan pendidikan kebahasaan di wilayah ini dimulai pada tahun 1977. Perintis sekaligus peletak dasar konsep kependidikannya adalah bapak Muhammad Kalen_yang akrab dipanggil Mister Kalen atau Pak Kalen. Sosok yang luar biasa ini adalah pribadi yang visioner dan dikenal memiliki kedisiplinan yang tinggi dan keteguhan sikap yang luar biasa.
Meski Mr. Kalen sendiri tidak pernah secara eksplisit mediskripsikan pemikiran-pemikirannya tentang pengembangan wilayah Kampung Kursus Bahasa Inggris ini, saya mencoba untuk menelisik retas pemikiran beliau dari segala langkah-langkah kebajikan yang sampai saat ini masih tampak jelas jejaknya.
Konsep Pendidikan Wilayah
Sistem pendidikan informal yang berkembang di Pare merupakan pengejawantahan dari gerak hidup dan pemikiran yang khas dari seorang Mr. Kalen. Sistem pendidikan yang beliau kembangkan saya istilahkan sebagai sistem pendidikan wilayah. Sistem ini beliau adopsi dari sistem pendidikan yang biasanya dianut oleh pondok-pondok pesantren di Indonesia.
Pondok pesantren merupakan wilayah belajar dimana terdapat sinergi yang kokoh antara sekolah sebagai wilayah belajar utama, masjid sebagai tempat beribadah dan juga motor untuk menggerakkan keberaktifitasan warganya, koperasi sebagai wilayah ekonomi, dan kamar-kamar sebagai tempat tinggal secara bersama-sama yang dipimpin oleh senior sebagai kepala dan pengurus kamar. Ibaratnya, seluruh tempat adalah wilayah belajar. Every place is a school.
Konsepsi ini diadopsi secara luas ke dalam sistem belajar yang melibatkan masyarakat. Sehingga, sistem pendidikan wilayah ala Mr Kalen, dalam perpektif saya adalah sebuah sistem yang melibatkan peran aktif warga di sekitar lembaga pendidikan yang bersangkutan. Disini, warga masyarakat dilibatkan secara aktif bukan hanya dalam pengembangan sistem ekonominya semata, tetapi justru lebih ditekankan pada penjagaan motivasi belajar dan keberlangsungan kultur dan sistem belajar pada para peserta didik sebagai pembelajar itu sendiri.
Bagaimanapun, peserta didik tentu lebih banyak menghabiskan waktunya di tempat kos daripada di tempat kursus. Oleh karena itu peran aktif para pemilik kos sebagai pengontrol utama situasi dan keaktifan belajar dari para peserta didik sungguh sangatlah dibutuhkan. Hal ini tentu saja bukanlah hal yang mudah untuk dirintis karena melibatkan orang-orang yang nyaris seperti tidak berurusan dengan aktifitas belajar mengajar, tapi inilah tradisi pertama dan utama yang kelak secara signifikan terus mendampingi perkembangan Pare.
Konsep Pendidikan Komunitas
Dalam pendidikan ala pondok pesantren, peran senior sangatlah signifikan. Senioritas bukan bermakna otoritas semata, senioritas lebih pada makna tanggung jawab. Entah itu tanggung jawab pada wilayah keilmuannya, pengetahuannya, kepribadiannya, maupun jiwa pengabdiannya.
Sistem inipun diadopsi secara mendalam oleh Mr. Kalen dalam mengembangkan wilayah pendidikannya. Hal ini tertuang nyata pada prinsip hidup beliau yang selalu ditularkan kepada seluruh anak didiknya, yaitu bahwa tanggung jawab itu harus lebih besar daripada penampilan. Prinsip ini jugalah yang memondasi sistem belajar yang saya sebut sebagai sistem pendidikan komunitas, yaitu sistem belajar yang bertumpu pada tanggung jawab keilmuan yang telah diperoleh. Sistem ini mendorong kesadaran penuh kepada para peserta didik untuk ikut terlibat secara aktif dalam keberhasilan adik-adik kelasnya. Pada para peserta didik dipompakan rasa percaya diri yang setinggi-tingginya bahwa di dalam dirinya terkandung potensi yang luar biasa dan dalam dirinya terkandung sebuah wilayah tanggung jawab untuk menshodaqohkan ilmu yang telah dipintalnya.
Dari sistem ini, kemudian, kelompok-kelompok belajar yang biasanya disebut study club yang diampu oleh para senior. Study club ini biasanya diadakan di rumah-rumah kos. Sistem ini merupakan salah satu tradisi penting yang menopang perkembangan Pare ke depannya dan dengan dinamis menopang sistem pendidikan wilayah yang dikembangkan. Sinergi dari kedua tradisi utama sistem pembelajaran ala Pare inilah yang dengan gagah mengarungi arus zaman hingga mampu bertahan selama puluhan tahun dan menelurkan ribuan alumni serta membangun konsepsi keberwilayahannya sendiri.
Konsep Pendidikan Mandiri
Disamping dua konsep prinsipil diatas, ada keunikan khas lain yang diusung oleh sistem pendidikan ala Mr. Kalen ini yaitu adanya kemandirian dalam hal metode dan kurikulum pembelajaran. Kemandirian ini menghasilkan kreatifitas yang tinggi dalam upaya mencipta alternatif-alternatif yang memola keberagaman cara dan gaya mengajar tetapi tetap kerangka tujuan yang telah di desain oleh lembaga. Konsep kemandirian yang sederhana ini nantinya memberi peluang yang cukup besar bagi perkembangan metode pengajaran khas Pare maupun keberagaman model kurikulum pembelajaran bahasa asing ala Pare yang pada akhirnya membawa Pare pada kemasyurannya karena keunikannya ini. Eksklusivitas sistem ini tidak lantas melambungkan biaya pendidikannya. Inilah hal khas lainnya dari sistem pedidikan yang dikembangkan oleh Mr. Kalen yaitu biaya pendidikannya yang relatif terjangkau atau murah. Kondisi ini memang telah dikembangkan dari awal berdirinya Basic English Course (BEC) yaitu lembaga pendidikan kursus bahasa Inggris yang tertua di wilayah Tulungrejo, Pare, yang didirikan oleh Pak Kalen dan sampai saat ini menjadi ikon utama di wilayah kursus bahasa Inggris Pare.
Sistem ini tentu juga merujuk pada model sistem pembiayaan ala pondok pesantren yang murah meriah namun padat ilmu. Sistem pembiayaan ini sekaligus merupakan upaya nyata untuk memberi bukti bahwa pendidikan yang berkualitas bukan melulu ditentukan oleh harga yang membumbung tapi lebih pada kemapanan sistem yang digunakan, kemandirian kurikulum, serta peran seluruh komponen yang terlibat dalam seluruh aktivitas belajar.
Kemandirian dalam segala sisi dan dengan disertai upaya secara terus menerus untuk mempertahankan eksistensi lembaga mau tidak mau harus diakui telah berhasil mengantarkan Pare dalam menorehkan kebersejarahan wilayah pendidikan non formalnya selama lebih dari 30 tahun.
Konsep Pendidikan Kerakyatan
Jika sistem ekonomi kerakyatan telah dikembangkan oleh Penguasa Puro Mangkunegaran I yang sangat menolak monopoli yang saat itu dikembangkan oleh Belanda, sehingga mengamanahkan negara sebagai pengendali wilayah ekonomi yang digunakan untuk sebesar-besarnya kepentingan dan kemakmuran rakyat, sistem pendidikan ala Pare mencoba dengan gigih menawarkan sistem pendidikan kerakyatan yang memiliki prinsip berbeda dari prinsip keberekonomian raja jawa yang paling ditakuti dan yang tidak pernah ditaklukan Belanda ini.
Saat negara tidak mampu lagi memenuhi amanah mulia untuk mencerdaskan anak bangsa seperti yang termaktub dalam UUD 1945, banyak warga negara mencoba untuk mengambil alih peran strategis ini demi tetap mengguritanya regenarasi sebuah bangsa. Pare yang dimotori oleh seorang visioner yang berhati kukuh mencoba mengambil bagian dari peran ini dengan konsep pendidikan wilayahnya mencoba untuk mendobrak sistem wilayah serba sekolah dengan denyut keberekonomiannya yang egoistis dengan sistem wilayah serba belajar. Juga meredefinisikan ulang konsepsi pendidikan dalam sisi pencapaian yang biasa tercantum dalam angka-angka rapor dan ijazah ke dalam konsep keperguruan dan kepengajaran yang mengedepankan kekuatan komunitas yang berpengabdian sebagai basis keberhidupan sistem belajar mengajarnya. Sebuah sistem yang berlandaskan tanggung jawab keilmuan dan tanggung jawab kemajuan komunitas.
Pare dengan segala konsepsi sistemik yang menopangnya juga melakukan kritik konstruktif secara aktif terhadap sistem pendidikan modern yang dianut oleh dunia pendidikan nasional kita dengan mengelola kemandirian kurikulum yang mencipta beragam metode pengajaran dan desain program. Juga menawarkan harga yang murah sehingga terjangkau oleh segala lapisan masyarakat namun tidak lantas lalai untuk tetap kukuh menjaga kualitas pembelajarannya. Asumsi bahwa pendidikan adalah hak seluruh anak bangsa merupakan penopang utama bagi Mr. Kalen dalam membangun keberkaryaaannya, demikan juga kesadaran bahwa penguasaan bahasa asing sangat diperlukan dalam upaya meningkatkan kecerdasan kehidupan bangsa.
Inilah bentuk tanggung jawab dalam pengejawantahan konsepsi sederhana dan humanis yang bernama sistem pendidikan kerakyatan. “Sistem ini merupakan sebuah karya nyata untuk bangsa,” demikian selalu yang diimbaukan Mr. Kalen demi menyulut keberanian para juniornya saat ingin mandiri dan berkarya di jalur pendidikan kursus juga.
Bagaimanapun, Pare juga tidak bisa begitu saja lepas dari kekurangan dan juga menuai kritik atas pilihan-pilihan ideologinya. Segala hal memang mengandung konsekuensi, bukan?
Yang pasti, Pare dan segala fenomenanya tetap saja menjadi hal yang menarik untuk dikaji. Kini, 35 tahun setelah peletakan batu pertama itu, Pare telah dikenal sebagai sebuah ikon wilayah pendidikan alternatif dalam bidang Bahasa Inggris dan bahkan dijuluki kampung Inggris.Tradisi-tradisi belajar yang telah puluhan tahun terus bermetamorfosa tentu merupakan hal yang perlu di dalami demi kebaikan sistem pendidikan di negeri tercinta ini.
Sekolah dan Pembangunan Manusia Begitu Saja
Oleh: Uun Nurcahyanti
Meminjam istilah Andi Zulkarnaen, ‘Dunia Sekolah’ adalah sebuah wacana yang selalu menjadi wilayah yang seksi untuk dibicarakan. Mengapa? Karena dunia sekolah adalah wilayah magis yang memproduksi sumber daya yang paling mendasar di muka bumi ini, yaitu sumber daya manusia. Dan berbicara tentang manusia dengan segala potensi yang dianugerahkan dan dipercayakan Tuhan kepadanya sebagai tugas ke-Tuhan-an alias kenabian tentunya menjadi pembicaraan yang tak bakal usang. Artinya, Dunia Sekolah sangat intim dengan Dunia Manusia dengan segala kebermanusiaannya.
Dalam sebuah diskusi, Bandung Mawardi pernah menjawab pertanyaan seorang peserta diskusi yang mempertanyaan pernyataan beliau bahwa manusia adalah kitab, sehingga sebenarnya perlu tidak sih manusia itu membaca. Jawaban yang mengejutkan dari beliau sangatlah mengejutkan : ”Tidak!”
Jawaban yang singkat, padat, dan terasa kurang pas dengan konsepsi kekinian kaum intelektual yang senantiasa didorong untuk membaca buku tersebut cukup membimbangkan hati saya pribadi sehingga menjadi bahan yang cukup hangat untuk direnungkan dan dibicarakan selama beberapa waktu setelah diskusi tersebut usai. Saya sendiri sejak lama meyakini bahwa kita adalah kitab, segala hal di alam semesta raya ini adalah kitab. Namun konsep ketidakperluan membaca ini menjadi pendasaran pemikiran yang sama sekali baru.
Setelah beberapa lama mencoba memecahkan misteri kata ‘tidak perlu membaca’ ala Bandung Mawardi ini dan mulai mencoba menekuni dunia menulis sebagai sebuah bentuk penuangan pikiran selain berdiskusi, kata ‘tidak perlu membaca’ ini ternyata justru memang merupakan hal mendasar bagi manusia untuk memompa potensi dirinya dan menempanya dalam lautan karya. Mengapa? Karena dalam penciptaan setiap makhluk, di dalam ragawi dan keberisian dirinya selalu ada informasi yang tertatahkan di seantero dirinya. Demikian juga dengan manusia.
Dalam setiap sel tubuh manusia terdapat informasi yang tiada tara sama seperti makhluk lainnya. Manusia memang ibarat kitab. Kitab yang bernama manusia ini sudah bersampul dan pada sampulnya itu telah terukir judul kitabnya masing-masing. Kitab itupun, sebenarnya, telah berisi aksara-aksara demi keterbacaan informasi-informasi illahiah yang dibawa oleh masing-masing kitab tersebut. Sama seperti benda lain, kitab merupakan sebuah benda yang harus dipelihara agar tetap bagus dan memiliki keberfungsian secara maksimum. Isi kitab diri manusia ini hendaknya terbaca oleh si pemilik ragawinya sendiri dulu yaitu manusia yang bersangkutan. Disinilah istilah ‘tidak perlu membaca’ ala bandung menemukan titik maknanya. Dari sinilah, lantas, muncul istilah perenungan dan pendalaman berpikir membutuhkan perjalanan narasi biografisnya.
Perenungan adalah sebuah upaya khas manusia dalam rangka membaca isi kitab dirinya, menggalinya. Layaknya akar pepohonan yang menghunjami bumi untuk mencari air demi memberhidupkan kemakhlukannya. Sementara berpikir merupakan sebuah kegiatan khas manusia untuk menjadi seorang penghayat hidup yang berlandaskan kitab dirinya dan kitab-kitab lain diluar dirinya.
Oleh karena itu, bisa dikatakan bahwa membaca hal di luar dirinya, termasuk membaca buku, menjadi hal yang sangat perlu, karena merupakan suatu upaya kolektif untuk mencermati dan belajar dari perenungan dan pemikiran orang lain maupun hakikat hal-hal lain di luar dirinya. Bagaimanapun, buah dan hasil pemikiran orang lain adalah suatu upaya untuk mengasah pemahaman kita tentang makna diri kita dan bisa menjadi sebuah bahan untuk memperkaya konsepsi dan wacana yang telah kita miliki dalam kitab diri kita. Bukankah tingkat kualitas manusia juga ditentukan oleh goresan-goresan benda lain pada dirinya? Ibarat tatahan-tatahan ukiran pada kayu yang bukan sekedar bernilai estetika namun juga bernilai kearifan, ketekunan, kecerdasan, kecermatan, dan ketulusan. Ada banyak nilai yang terukir dalam tiap gemulai tatahannya.
Dari desain kondisi keberkitaban manusia ini bisa kita simpulkan bahwa manusia adalah makhluk pembaca dan pembelajar. Manusia adalah makhluk penghayat hidup, hidup yang melingkupi semesta raya. Manusia juga merupakan makhluk penulis atau pembincang yang memiliki keberfungsian yang khas sebagai penyampai berbagai risalah hidup dan kehidupan sebagai hasil dari pembacaannya, perenungannya, dan juga keberolah-pikirannya.
Belajar dan Mengajar
Kondisi-kondisi yang mendesain kebermakhlukan manusia tersebut di atas menunjukkan sebuah hal yang paling mendasar bahwa manusia itu selalu butuh mengkaji kitab dirinya, dan juga menelaah kitab-kitab lain disekitarnya sebagai bagian yang penting dalam keberhidupannya sebagai manusia. Bila manusia tidak lagi melakukan tindakan-tindakan yang berhubungan dengan desain hakikatnya ini, maka lambat laun ia akan jauh dari pemahamannya akan arti hidupnya sendiri.
Hal inilah yang seringkali kita sebut sebagai belajar, dan bisa dikatakan bahwa manusia memang tercipta sebagai makhluk pembelajar. Sementara tujuan belajar adalah terbangunnya tatanan pemahaman-pemahaman tentang arti hidup. Oleh karena itu seorang pembelajar sejati, yang sering disebut sebagai kaum intelektual senyatanya, tentunya juga merupakan seorang penghayat hidup yang luar biasa.
Kesejatian manusia adalah belajar, dan menghayati hidup. Dan oleh karenanya secara alamiah manusia juga memiliki keberbutuhan untuk menyebarkan hasil dari perenungan dan penelaahannya tersebut kepada manusia lainnya. Disinilah peran bahasa manusia menemukan titik puncak persenggamaannya dengan hakekat mendasar manusia sebagai pemilik bahasa bangsa manusia. Disini tampak jelas bahwa bahasa memiliki peran strategis sebagai sayap sekaligus ujung pedang risalah segala ilmu dan berbagai pengetahuan. Lantas, berbincang dan berbicara menjadi bukan sekedar sunatullah karena bahasa adalah piranti kelengkapan hidup manusia layaknya telinga dan mulut sahaja. Dengan tuangan buah pikir dan kelola semesta manusia, berbincang menjadi sebuah kebutuhan untuk bertukar ajaran dan saling memberi ilmu pengetahuan. Obrolanpun bergerak menjadi diskusi-diskusi. Siklus rantai serba belajar ini menjadi landasan utama mengapa manusia memiliki kebutuhan mendasar lainnya yaitu mengajar.
Keberbutuhan mengajar ini adalah demi menopang siklus serba belajar yang menjadi karakteristik khas manusia. Kondisi belajar dan belajar mengajar ini merupakan siklus kehidupan alamiah manusia. Hal inilah yang kemudian kita sebut sebagai pendidikan, yaitu kondisi serba belajar demi mengikat ilmu-ilmu illahiah yang bertebaran di setiap diri makhluk atau benda yang menghiasi seantero semesta raya. Artinya, semangat paling fundamental yang mendesain dan membangun keberhidupan manusia adalah belajar, belajar, dan belajar. Belajar pulalah yang memondasi sebuah wilayah yang bernama dunia pendidikan, sehingga bisa dikatakan bahwa pendidikan adalah sebuah sistem khas manusia dalam mengelola dan menjaga pikat serba belajarnya demi menjaga eksistensi perayaan keberhidupannya.
Berguru Kepada Pepohonan
Kita semua tentu sudah mahfum bahwa segala hal yang ada di sekitar kita adalah kitab-kitab semesta. Sehingga tak ada salahnya untuk berguru kepada pepohonan dalam memaknai kisah keberbelajaran manusia. Pada ragawi suatu pohon, ada bagian yang bernama akar, dan sudah saya tuliskan diatas bahwa akar pada pohon memiliki kemiripan fungsi seperti otak pada manusia. Akar menghujam ke dalam bumi demi mencari sumber kehidupannya yaitu air.
Tumbuhan yang berakar tunjang memiliki akar yang kokoh dan memiliki kemampuan untuk menghujam ke dalam lapisan tanah bumi. Semakin dalam akarnya menembus lapisan bumi, semakin tinggi puncak pohonnya seakan semakin tinggi menggapai langit. Sementara tumbuhan yang berakar serabut tidak memiliki akar yang kokoh tetapi memiliki akar yang liat. Akar jenis ini tidak menghujam tetapi cenderung menyebar.
Tetumbuhan dengan akar serabut ini identik dengan perdu-perduan yang memang tidak tumbuh tinggi, kokoh dan menjulang ke langit. Tumbuhan jenis ini mudah beranak pinak, mudah tumbuh di musim penghujan namun juga mudah mati bila kemarau berkepanjangan. Saat tetumbuhannya mati, akar pohon ini bisa bertahan untuk tidak serta merta layu dan mati seperti pada pepohonan yang berakar tunjang.
Artinya, apapun jenis tetumbuhannya tentu punya kisah keistimewaannya sendiri-sendiri. Ada kelebihannya, tetapi juga lepas dari kekurangan. Prinsip sebuah keberimbangan semesta. Namun, intisari dari keberhidupan sebuah pohon adalah perjuangan akar-akar pohonnya dalam mencari dan terus mencari sumber keberhidupannya yaitu air. Rasa sakit yang mengguyur sekujur ujung-ujung akar saat menyusup ke dalam tanah, menggali dan melintasi cadas dan bebatuan agar mencapai kedalaman hidupnya, akhirnya berbuah pada keterjenjangan pokok-pokok pohon yang ditopangnya. Demikian juga dengan kita, manusia. Perenungan dan pendalaman pemikiran-pemikiran dalam lingkup aksara semesta yang diukirkan tuhan pada diri-diri kita mungkin akan menimbulkan gelisah dan kesakitan seperti halnya ujung-ujung akar pohon itu. Namun itulah yang menjenjangkan pohon hidup kebermanusiaan kita. Pilihan untuk menjadi si akar tunjang atau serabut terlihat dari isi kitab hidup yang kita tuliskan dalam jejak sejarah perayaan keberhidupan kita.
Itulah perumpaan dan keberbutuhan belajar pada diri manusia yang tersirat dan tersurat dalam semesta raya pepohonan. Lha untuk perumpamaan mengajar, tentunya kitapun bisa belajar dari perawat pohonnya, si tukang kebun. Yah, menjadi guru ibarat menjadi tukang kebun. Dan mari kita berguru pada si tukang kebun ini.
Tukang kebun membangun pengabdiannya pada keberhidupan tanaman-tanaman penghias kebunnya. Ia memulainya dengan mengolah tanah tempat benih tanaman disemaikan nantinya. Setelah mengolah tanah yang bukan sekedar dicangkuli tetapi juga diberi pupuk dan disirami, ia pun menebarkan benihnya. Sembari menunggu benihnya bertunas, si tukang kebundengan rajin menyiangi tanahnya serta menyiraminya dengan penuh cinta demi keberhidupan benih yang telah ditebarkannya itu.
Setelah benih mulai bersemi, si tukang kebun akan merawatnya dengan lebih intensif dan teliti karena masalah yang mengincar si tanaman muda pasti menjadi lebih banyak dan lebih kompleks. Ia pun menyiangi tanamannya, membuang serangga-serangga yang mengincar keranumannya dan juga tetap merawat tanah tempatnya bertumbuh.
Saat tanaman-tanaman itu tumbuh besar dan mulai berbunga dan lantas berbuah lebat, si tukang kebun tidak dengan serta merta mencurahkan kebanggaannya dengan menghabiskan buah-buahnya tersebut sendirian. Mungkin akan datang para p.encuri buah, mungkin si tukang kebun akan jengkel karenanya, namun seorang tukang kebun pasti memiliki kesadaran untuk memahami bahwa hasil dari tanah perkebunannya bukan sekedar untuk memenuhi hasrat kepuasan pribadinya. Hasil dari kebunnya itu akan terasa manis justru ketika orang lainlah yang memuji kemanisan buah yang dihasilkannya, atau keelokan tanaman yang dirawatnya.
Tanaman-tanaman yang dirawat oleh seorang tukang kebun dengan penuh pengabdian tidak akan tumbuh seadanya. Ia akan tumbuh dengan baik dan sehat. Ia juga akan berbunga dengan cantik dan lebih kompak. Ia juga akan menghasilkan buah yang baik dan lebat. Ia tidak hidup dan bertumbuh dengan begitu saja, seadanya. Demikian juga dengan peran guru dalam wilayah dunia pendidikan. Guru bukanlah orang yang mengajari seperti halnya tukang kebun yang tidak sekedar menanami.
Guru adalah orang yang belajar mengajar. Guru adalah pembelajar sejati, orang yang mengabdi pada segala hal yang bernama serba ajar-ajaran. Pelajaran, ajaran, pembelajaran, pelajar, belajar dan keberbelajaran.
Dunia manusia memang dunia serba belajar dan penuh ajaran. Manusia sendiri adalah goresan dari ajaran-ajaran saat ia belajar. Lantas, apa kabar dunia pendidikan kita sekarang? sekolah kita sekarang, masihkah memberikan hak keberbelajaran itu? Apakah masih menjadi sebuah perguru-guruan? Bagaimana denganmu, kawan? Sudah belajarkah? Belajar apakah dirimu hari ini? Begitu?
Pare, 25 Februari 2012
Uun Nurcahyanti Disampaikan dalam diskusi Rumah Anak Bangsa 25 Februari 2012 Di Global E Female, Pare-Kediri
SEJARAH RUMAH ANAK BANGSA
RUMAH ANAK BANGSA I. Latar Belakang
Rumah Anak Bangsa adalah sebuah forum
diskusi yang digelar setiap malam minggu. Forum diskusi ini terbentuk dari
sebuah keinginan untuk tetap menjaga iklim intelektual di Kampung Pelajar Pare
yang merupakan sebuah wilayah khusus yang mempelajari bahasa asing terutama
bahasa Inggris.
Sebagian besar orang datang ke Pare untuk
mendalami bahasa Inggris yang memang merupakan tuntutan zaman. Kebanyakan para
pendatang tersebut hanya memiliki sedikit waktu saja untuk tinggal di Pare,
sehingga mereka memaksimalkan seluruh waktu, tenaga dan pikiran untuk belajar
bahasa Inggris. Sementara sebenarnya mereka memiliki latar belakang keilmuan
dan organisasi yang cukup mumpuni. Mereka juga berasal dari berbagai level
pendidikan dan berasal dari berbagai wilayah Indonesia.
Alangkah sayang bila amunisi-amunisi yang
cukup banyak dimiliki oleh para pelajar pendatang ini mengendap begitu saja
tanpa bertemu dalam sebuah pertalian silaturahmi keilmuan sama sekali.
Ke-bhineka-an dalam berbagai sendi yang menghiasi Pare menaburkan makna-makna
kehidupan yang tentu sangat penting untuk kita ikat dalam satu bejana tradisi
dan kebersamaan, yaitu ilmu itu sendiri. Dari semangat inilah forum diskusi
Rumah Anak Bangsa ini lahir, dan meskipun sempat mengalami masa pasang surut
tapi api kecil forum ini terus dijaga untuk tetap hidup.
Konsep diskusi yang diusung oleh Rumah Anak
Bangsa adalah konsep keilmuan aplikatif yang bersifat personalis political yang
disampaikan dalam bahasa yang sederhana, sehingga memungkinkan setiap individu
yang mengikuti diskusi bisa pulang dengan mengikat ilmu baru yang mengalir pada
ladang diskusi ini dan bisa mereka aplikasikan dalam kehidupan sehari-hari.
Tujuan forum diskusi ini adalah penyadaran
dan pencerahan konsepsi individu yang melekat pada setiap orang dan juga
konsepsi individu terhadap kewajiban dan haknya sebagai seorang warga negara
dari sebuah rumah besar Indonesia.
Harapan terbesar yang diemban oleh forum
diskusi ini adalah terjaganya komunitas dan iklim keilmuan di wilayah Kampung
Pelajar Pare, dimana miniatur Indonesia
yang senyata-nyatanya terbentuk. Bahwa di wilayah ini para pelajar pendatang
dan sudah tinggal tidak sekedar belajar bahasa Inggris dan mengajarkan bahasa
Inggris, namun juga menjelajahi ilmu-ilmu lain yang diharapkan mampu
meningkatkan kualitas diri dan kualitas intelektual mereka.
II. Sejarah Rumah Anak Bangsa
Ide pembentukan forum diskusi Rumah Anak
bangsa ini muncul pada akhir bulan Juni 2007, tepatnya pasca workshop 2007 yang
diadakan oleh SMART International Language College. Ideatornya adalah Abdul
Muhib, salah satu SMART team yang berasal dari Tegal. Ide awalnya adalah kumpul
bareng malam mingguan untuk semakin mengakrabkan SMART team.
Dalam kumpul bareng pertama, agendanya
adalah saling menceritakan latar belakang keluarga masing-masing. Kemudian, di
akhir acara muncul ide baru untuk membuat tema diskusi pada pertemuan
berikutnya dan mengisi materi adalah Miss Uun Nurcahyanti sebagai pimpinan
team. Dan diharapkan temanya berhubungan dengan peningkatan kualitas individu
dan mampu menggugah kesadaran untuk bergerak demi peningkatan kualitas diri
dari para peserta diskusi yang notabene adalah SMART team tersebut.
Tema pertama yang diusung adalah Kewajiban
Sebagai Seorang warga Negara Indonesia.
Diskusi ini ternyata diikuti juga oleh beberapa siswa yang tertarik akan forum
kumpul bareng malam mingguan ini.
Tema kedua adalah Merawat Mimpi. Kedua tema
ini dibawakan oleh Miss Uun Nurcahyanti. Dan keberadaan forum diskusi ini
semakin bergaung dengan semakin banyaknya peserta diskusi yang ikut bergabung
untuk merajut ilmu bersama SMART team.
Dalam diskusi ini muncul usulan agar
diskusi tidak diadakan setiap malam minggu karena ketika ada agenda Placement
Test yang diadakan setiap hari minggu pertama dan ketiga, maka para calon
peserta Placement Test akan ketinggalan mengikuti forum diskusi ini. Dan
akhirnya disepakati diskusi diadakan setiap dua minggu sekali. Diusulkan juga
pemateri diambilkan dari siswa yang bersedia bershodaqoh ilmu untuk para
peserta diskusi ini. Dan hal ini pun disepakati bersama.
Dengan adanya usulan ini, maka dibentuk
team kecil untuk mengawal jalannya forum diskusi malam mingguan ini.
Penanggungjawab : Uun Nurcahyanti, Ketua : Iim Ismail Luthfi, Sekretaris :
Chomsinatin Nila Wardah, Bendahara : Nur Laila, Seksi acara : Munafiyah dan
Mulyono. Seluruh anggota team adalah SMART team, dan diskusi diadakan di
perumahan rektorat SMART ILC pada waktu itu, yaitu Faletehan House, Jl. Yos
Sudarso 77-78 Pare.
Tema-tema berikutnya pun akhirnya
bervariasi sesuai dengan latar belakang pemateri, yaitu : Hutang Luar Negeri Indonesia, Ekonomi Kapitalis, Pendidikan
Kerakyatan, Bias Gender sampai Wacana Revolusi Untuk Membentuk Indonesia Baru
(didiskusikan pada HUTRI,
17 Agustus 2007, dan diikuti ikrar peserta untuk Indonesia).
Kendala yang sering muncul adalah molornya
waktu mulai diskusi karena diskusi diadakan pada malam minggu dan ada sebagian
peserta yang bermalam minggu dulu sebelum datang ke acara diskusi. Selain itu
karena diskusi diadakan di pinggir jalan besar, maka seringkali suara pemateri,
moderator ataupun peserta harus bersaing ketat dengan suara kendaraan yang
berlalu-lalang
Kendala waktu ini, akhirnya disiasati
dengan pengadaan perpustakaan kecil yang disediakan sebelum diskusi dimulai.
Buku-buku yang disediakan adalah buku dari perpustakaan pribadi SMART team yang
tinggal di Faletehan House yaitu Miss Uun, Mr. Keceng, Miss Luluk dan Miss Via.
Pengadaan perpustakaan ini cukup efektif untuk mengatasi kendala molornya
waktu, karena peserta bisa membaca dan berbincang tentang buku sambari menunggu
dimulainya diskusi. Untuk kendala suara, belum ada solusi yang cukup solutif
untuk mengatasinya.
Mulai dari awal berdirinya sampai November
2007, forum diskusi ini masih bernama Forum Diskusi Malam Mingguan. Awal
Desember 2007 diusulkan untuk memberi nama pada forum diskusi ini. Selain itu
diusulkan juga ada buletin yang bisa dibagikan agar peserta yang terkendala
kehadirannya tidak ketinggalan informasi dari diskusi yang telah berjalan.
Team penyelenggara diskusi pun mengadakan
diskusi lanjutan untuk membahas usulan-usulan tersebut. Dan nama Rumah Anak
Bangsa disepakati untuk menjadi nama forum diskusi malam mingguan ini, format
buletin pun disiapkan untuk bisa segera diterbitkan.
Pertengahan 2008, forum diskusi Rumah Anak
Bangsa mulai terkendala pada masalah pengawal forum diskusi itu sendiri karena
team penyelenggaranya satu persatu mulai meninggalkan Pare untuk kembali
mengalir ke ladang kehidupannya masing-masing. Tampuk kepemimpinan pun beralih
ke Mr ahwy beserta teamnya. Forum pun mulai mengalami masa surut yang pasangnya
hanya sesekali saja.
Awal 2009, forum diskusi ini mati suri
meski komunikasi antara para penyelenggara awal masih berdenyut. 18 Mei 2009,
secara iseng-iseng Miss Uun Nurcahyanti membuat blog Rumah Anak Bangsa dengan
alamat: http://www.rumahanakbangsa.blogspot.com. Blog ini diisi dengan tulisan
pribadi yang berhubungan dengan pemikiran dan kisah yang terjadi di seputar
lingkungan SMART International Language college. Blog sederhana ini berfungsi
untuk menjaga nama dan semangat Rumah Anak Bangsa yang telah ditinggalkan para
punggawanya.
Pertengahan Juni 2010, seorang siswa SMART
ILC yang berasal dari Makasar yaitu Andi Zulkarnain, berdiskusi dengan pimpinan
SMRT team, Miss Uun Nurcahyanti tentang kondisi Pare yang sangat unik dan
menarik sebagai wilayah pembelajaran dan hal-hal lain yang berhubungan dengan
kondisi Indonesia masa kini. Di akhir pembicaraan disepakati untuk menghidupkan
kembali forum diskusi Rumah Anak Bangsa dengan semangat untuk tetap menjaga
iklim intelektual di wilayah Kampung Pelajar Pare ini.
Sistem diskusi dibuat lebih mengglobal,
baik dalam hal penyelenggara, peserta maupun tempat diskusinya. Punggawa baru
yang mengawal forum diskusi Rumah Anak Bangsa ini yaitu : Penanggungjawab : Uun
Nurcahyanti, Ketua : Andi Zulkarnain, Sekretaris : Rusna Meswari, Bendahara :
Umi Mustamidah, Seksi acara : Awal Muqsith, Maulana Zainal, Seksi Publikasi :
Feri Febriari.
Tempat diskusi diharapkan bisa berpindah-pindah
antar kursusan agar peserta mengenal tempat-tempat kursus yang ada di wilayah
Kampung Pelajar Pare ini. Pembicaranya pun diharapkan dari para pemiliki kursus
agar terjadi interaksi yang intens dan harmonis antara para pemilik lembaga dan
para peserta kursus dengan belajar hal lain diluar materi kebahasa-Inggrisan.
Diskusi pertama diadakan pada tanggal 19
Juni 2010 di Global E Centre, Jl. Anyelir, dengan pemateri Andi Zulkarnain dari
Makasar (alumni Universitas Hasanuddin Makasar dan aktifis HMI) dan
dimoderatori oleh Uun Nurcahyanti (direktur SMART ILC). Tema yang dibawakan adalah
Pare: Meretas Jejak Revolusi Indonesia(Pare
dan Masa Depan Indonesia).
Diskusi ini diikuti oleh sekitar 40 peserta.
Diskusi kedua diadakan tanggal 26 Juni 2010
di Genta Campus, Jl Kemuning, dengan pemateri Uun Nurcahyanti dan moderator
Rizal (alumni Universitas Hasanuddin Makasar). Tema yang dibawakan adalah
Hakekat Manusia. Kendala yang muncul pada waktu itu adalah molornya acara
diskusi yang disebabkan oleh kesulitan peserta mencari lokasi diskusi.
Diskusi ketiga diadakan hari sabtu
berikutnya, 3 Juli 2010, di OxfordInstituteLanguageAcademy. Pemateri Dwi
Indah Wahyuni (Miss Indah, salah satu pemilik The Daffodills) dengan moderator
Djawier. Tema yang dibawakan : Experience in Education.
Diskusi keempat diadakan di Alfalfa female,
Jl Glagah, pada tanggal 10 Juli 2010. Tema yang dibawakan dalam bahasa Inggris
dan Indonesia
ini adalah tentang Pemuda dan Kapasitas Yang Dimilikinya. Pemateri Sudarmanto
(Mr Toto, direktur dan pemilik Global E) dengan moderator Umi Mustamidah
(alumni Universitas Muhammadiyah Magelang dan aktifis HMI).
Diskusi berikutnya berbicara tentang
Televisi dengan segala problematikanya dan dibawakan dengan apik oleh Rusmin
(alumni Universitas Islam Negeri Makasar). Diskusi ini digelar tanggal 17 Juli
2010 di Global Female I.
Diskusi keenam diadakan di S’TORY 2, Jl
Brawijaya, dengan tema Sufi Masuk Kota. Pematerinya adalah seorang alumni Al
Azhar Mesir yaitu Awal Muqsith. Moderator yang mendampingi adalah Feri Febriari
(mahasiswa Universitas Hasanuddin Makasar). Diskusi ini diadakan 24 Juli 2010.
Diskusi ketujuh diadakan di penghujung
bulan Juli 2010 di Kresna English Course dengan pemateri Rahmad Ariadi, S.T.
(Mr Bagas). Beliau adalah salah seorang pengajar di Kresna english Course
sekaligus pemilik lembaga yang bersangkutan. Tema yang beliau bawakan adalah
Tirani Pendidikan-Kebudayaan.
Diskusi kedelapan yang dihelat tanggal 7
Agustus 2010 adalah diskusi Rumah Anak Bangsa Pertama yang diadakan pada saat
bulan Suci Ramadhan. Sehingga jam tayang diskusi diubah bakda Ashar hingga
menjelang saat berbuka puasa. Bertempat di 24 Hours, keta Forum Diskusi Rumah
Anak Bangsa ini, Andi Zulkarnain, menguraikan konsep puasa dalam perjuangan
dengan penuh semangat.
Diskusi kesembilan diadakan tanggal 15
Agustus 2010 di rumah Wow dengan tema Indonesia dan Entrepreneur Muda.
Tema ini disajikan dengan memesona oleh Farida Riyanti Zainal (trainer NLP
Indonesia yang berasal dar Jakarta)
dengan moderator Andi Zulkarnain.
Diskusi kesepuluh diadakan tanggal 21
Agustus 2010. Awalnya diskusi ini hendak diadakan di Poker Camp, tapi ketika
tiba-tiba hujan turun dengan deras saat menjelang diskusi sementara diskusi
diadakan di ruang terbuka, maka diskusi dipindahkan ke SMART ILC. Pematerinya
adalah Uun Nurcahyanti dengan tema Usia Kita Yang Hilang. Moderator yang
mendampingi adalah Ismawan A.S. (jurnalis yang berasal dari Makasar).
Diskusi berikutnya kembali dihandle oleh
Andi Zulkarnain dengan tema Islam Agama Perlawanan. Diskusi yang nyaris gagal
ini diadakan tanggal 28 Agustus 2010 di S’TORY 3, Jl Kemuning 64, di tengah
lebatnya hujan yang mengguyur bumi Pare.
Diskusi terakhir bulan Ramadhan diadakan
pada tanggal 3 september 2010 di Excellent English Course. Pematerinya adalah
Muh. Azhar Kurniawan (seorang aktifis dan penggiat kegiatan kepemudaan yang
berasal dari Lamong, Pare) dengan moderator Djawier. Diskusi partisipatif ini
mengusung tema: Memupuk Nasionalisme melalui Pergerakan Bahasa Inggris?
Pasca libur panjang Iedul Fitri 1421 H,
diskusi Rumah Anak Bangsa aktif kembali tanggal 9 Oktober 2010 dengan pemateri
zahid El H (alumni Ponpes Modern Darussalam Solo). Tema yang dibawakannya
adalah Membentuk Kepribadian Tangguh. Diskusi diadakan di S’TORY 2.
Diskusi keempatbelas Rumah Anak Bangsa
diadakan tanggal 16 Oktober 2010 di Eminence, Jl Anyelir, dengan pemateri M.
Azhar Kurniawan. Tema yang dibawakan adalah Analisis Sosial.
Diskusi berikutnya diadakan di ACCESS 4
pada tanggal 30 Oktober 2010 dengan tema menarik yaitu Pemuda Idaman menjadi
Impian. Tema ini dibawakan oleh pemilik ACCESS sendiri yaitu Arif Ramdhani.
Diskusi Rumah Anak Bangsa terus bergulir
dengan tema Manusia Dalam Perspektif Filosofi. Tema ini di bawakan oleh
Mustamin Al Bugishy. Diskusi diadakan di Excellent English Course, Jl Dahlia,
pada tanggal 6 November 2010.
Diskusi ketujuhbelas Rumah Anak Bangsa ini
adalah diskusi besar pertama yang diadakan untuk memperingati Hari Sumpah
Pemuda dan Hari Pahlawan. Diskusi digelar di Basic English Course dengan
pemateri Marendra Darwis, pengasuh Cafe Curhat di Radio Andhika FM Kediri. Diskusi ini
diadakan tanggal 13 November 2010. Dalam diskusi ini juga digelar petunjukan
teater dan pembacaan puisi. Diskusi diakhiri dengan ikrar dan wejangan dari
Bapak Kalen, pemilik BEC dan perintis wilayah Kampung Pelajar Pare ini.
Diskusi berikutnya dibawakan kembali oleh
Rahmat Ariadi, S. T. di Be Friend English Course, Jl Brawijaya. Tema yang
dikupas oleh Mr Bagas adalah Indonesia Dalam Pusaran Globalisasi Dan
Liberalisasi Ekonomi.
Dhilla Sri Meutia adalah pemateri
berikutnya dalam forum diskusi Rumah Anak Bangsa yang diadakan di Global E
office, Jl Brawijaya, pada tanggal 18 Desember 2010. Tema yang dibawakan adalah
Tinjauan Sosiologi terhadap Ideologi Pendidikan.
Memasuki tahun 2011, diskusi Rumah anak
Bangsa diawali dengan tema Relasi Pendidikan dan Kesadaran Kosmis (Cosmic
Conciousness). Tema ini dibawakan oleh shanhaji, yang lebih akrab dipanggil Mr
Shonhaji. Beiau adalah salah seorang staf pengajar di ELFAST English Course.
Diskusi diadakan di S’TORY 5.
Diskusi berikutnya diadakan tanggal 15
Januari 2011 di GUSTO. Pematerinya adalah Ary Hakim, pemilik lembaga kursus
Hakim yang terletak di Jl Anggrek. Tema yang dibawakan adalah Learning
Revolutioner.
Diskusi ketiga di tahun 2011 diadakan di
Genta Campus, Jl Kemuning, dengan tema Konsep Pendidikan Masa Depan. Diskusi
ini dimoderatori oleh Muhyidin, seorang pengampu S’TORY yang berasal dari
gresik. Pematerinya adalah Direktur Genta English Course yaitu Mohammad Qomar.
Diskusi keempat di tahun 2011 bergulir di
Female Alfalfa English Dormitory yang terletak di Jalan Glagah, dengan pemateri
Dwi Indah Wahyuni yang lebih familiar dengan panggilan Miss Indah. Materi yang
dibawakan adalah Emotional Quotion For English Learning Process. Diskusi ini
diselenggarakan pada tanggal 29 Januari 2011.
Diskusi berikutnya diadakan tanggal 5
Februari 2011 di Global E Reading centre, Jl Anyelir. Pematerinya adalah Uun
Nurcahyanti dengan moderator Umi Mustamidah. Tema yang dibawakan adalah Posisi
Lokalitas Dalam Globalitas.
Diskusi berikutnya masih diadakan di tempat
yang sama yaitu Global E Reading Centre dengan pemateri Mr Ridho. Beliau adalah
salah satu tutor dari Global E yang merupakan orang asli Pare. Materi yang
dibawakan adalah Strategi Budaya.
Diskusi ketujuh di tahun 2011 diadakan
tanggal 26 Februari 2011 di sebuah tempat kos baru yang bernama Shafa And
Marwah. Pematerinya adalah Bapak Matsudi ( Kepala Dusun Tegalsari, Pare). Tema
yang beliau bawakan adalah Dinamika Pare Sebagai Kota Bahasa.
Diskusi berikutnya diadakan di WTC tanggal
5 Mei 2011. Diskusi partisipatif ini dkomandoi oleh Rahmad Ariadi,S.T. Tema
yang dibawakan adalah Persoalan Kebangsaan: Sudah Hilangkah Arti Kebangsaan,
Pentingkah Arti Kebangsaan Bagi Kita? Meskipun peserta yang hadir tidak begitu
banyak karena Pare tengah diguyur hujan deras, tetapi diskusi ini berlangsung
hangat dan menarik. Diskusi berlangsung hingga jam 23.00 karena seluruh peserta
nya laki-laki.
Diskusi kesembilan Rumah Anak Bangsa
diadakan di Kresna English Course pada tanggal 12 Maret 2011. Temanya adalah Indonesia
dalam Tantangan Globalisasi. Penyaji materinya adalah Muhtar Luthfi.
Diskusi berikutnya diadakan tanggal 19
Maret 2011 di Samudra Camp, yaitu salah satu asrama dibawah naungan ELFAST
English Course, Jl Kemuning. Pematerinya adalah Adjie Pahlevi (pemilik dan
direktur Liberty English Course). Tema yang dibawakan adalah Prospek Kampung
English Di Luar Pare.
Diskusi kesebelas di tahun 2011 diadakan di
Merlbourne English Course, Jl Anyelir, pada tanggal 26 Maret 2011. Tema untuk
diskusi ini adalah Rezim Tuna Sejarah Dan Rumah Besar Indonesia. Pematerinya adalah Uun
Nurcahyanti dengan moderator Umi Mustamidah.
Diskusi berikutnya diadakan di UNESCO Jl
Brawijaya dengan tema yang tidak biasa yaitu Melacurkan Dunia Pendidikan.
Diskusi partisipatif ini dimoderatori oleh Muhyidin dan pematerinya adalah
Mohammad Fauzan yang lebih populer dengan sebutan Papa Ocan. Beliau adalah
penanggungjawab kurikulum di Global E English Course. Diskusi ini dilaksanakan
tanggal 2 April 2011.
Diskusi tanggal 9 April 2011 yang diadakan
di Out Loud English Course, Jl. Anyelir, merupakan diskusi yang lain dari
diskusi Rumah Anak Bangsa biasanya, karena pada kesempatan ini diadakan bedah
buku terbitan Resist Yogyakarta yang berjudul Miskin Itu Menjual. Pematerinya
adalah sang penulis buku yang bersangkutan yaitu Saiful Totona yang berasal
dari Ternate.
Diskusi yang diadakan tanggal 16 April 2011
di Global E Female ini sedianya akan diisi langsung oleh Bapak Wahyudi Kepala
Desa Tulungrejo. Namun karena satu dan lain hal, beliau tidak bisa hadir dan
diwakili oleh Bapak Kepala Dusun Tegalsari yaitu Bapak Matsudi. Tema yang
disuguhkan adalah Masterplan Desa Tulungrejo.
Diskusi berikutnya mengambil momentum Hari
Kartini, sehingga pematerinya diambil dari kaum hawa dengan sistem panel, yaitu
Djawier (Ketua forum diskusi Rumah Anak Bangsa) dan Umi Mustamidah (aktifis
HMI). Diskusi ini dimoderatori oleh Sada dari Makasar. Tema yang diusung adalah
Perempuan Di Bawah Bayang-Bayang Lelaki. Diskusi ini diadakan tanggal 23 April
2011 di Excellent English Course.
Diskusi di penghujung bulan April 2011,
diadakan di Brilliant English Centre Jl Anyelir. Tema yang diusung cukup
menggelitik yaitu Islam Tidak Anti Kekerasan. Pematerinya adalah Hendi Nugraha
yang merupakan alumni sebuah perguruan tinggi di Libya. Diskusi yang minim kaum hawa
ini dimoderatori oleh Zainal Arifin dari komunitas Utan Kayu, Jakarta.
Diskusi berikutnya sebenarnya diagendakan
untuk Eko Prasetyo, direktur Resist Book Yogyakarta, namun berhubung beliau
tidak bisa mengisi agenda luar kota pada hari Sabtu dan Ahad, maka diskusi ini
dilimpahkan kepada Uun Nurcahyanti untuk menggawanginya. Materi yang dibawakan
adalah Ketika ajaran Menjadi Mata Pelajaran, Nilai Berapa Yang Kau Inginkan?
Diskusi partisipatif ini dimoderatori oleh Umi Mustamidah dan diselenggarakan
di UNESCO pada tanggal 7 Mei 2011.
Diskusi berikutnya diadakan pada hari aktif
yaitu Selasa, 10 Mei 2011, karena pemateri yaitu Eko Prasetyo dari Resist Book
Yogyakarta bisa datang ke Pare pada tanggal tersebut sebelum beliau bertolak ke
Bengkulu pada hari berikutnya. Diskusi diadakan di SMART ILC dengan tema
Pendidikan Yang Melahirkan Kemiskinan.
Malam minggu berikutnya diadakan diskusi
lagi dengan tema Negara Islam. Diskusi ini diadakan tanggal 14 Mei 2011 di
S’TORY 2, Jl Brawijaya. Pematerinya ada M Sholahudin, seorang penulis yang
berasal dari Gurah, Kediri.
Diskusi ini dimotori oleh Moh. Sadjudin.