Sabtu, 19 Mei 2012

Panggung Sendratari Reformasi

 By: Uun Nurcahyanti

Reformasi ala Indonesia 1998 seperti bisnis Gelombang Cinta demi bekal berumah tangga. Awal tahun 2000 hingga akhir dekade lalu, lalu usaha hortikultural Indonesia mengalami masa manis madu dengan merebaknya banyak pebisnis nurseri. Gerak tanaman taman sebagai pemanis ruang dan pajangan meroketkan pikatnya dalam menarik pandangan mata. Tanaman-tanaman dari Thailand yang lebih berwarna-warni elok merembesi wilayah-wilayah perkotaan. Pujapuji tampilan interior ruang dengan sentuhan bunga-bunga hidup merajalelai ruang-ruang publik dengan eksistensi prestise, harga diri. Puja gengsi dengan orientasi dekorasi.
Kondisi ini membuka peluang usaha model nurseri yang memesat dengan sangat cepat. Puncak pujapuji keterpikatan tanaman hias ini adalah munculnya generasi Gelombang Cinta yang harganya bisa begitu tidak masuk akal. Saya teringat pada suatu sore, adik saya tiba-tiba berkunjung dari Solo karena mengejar sebuah tanaman yang namanya terasa asing di telinga saya, Gelombang Cinta. Hal yang teramat mengejutkan adalah harga tanaman yang dibelinya itu. 3 juta rupiah! Jumlah nominal yang terasa sangat tidak masuk akal. Setara dengan harga rumah kontrakan kami untuk satu tahun yang pembayarannya pun biasanya kami cicil. Hal yang lebih mengejutkan adalah kabar dari adik saya tersebut keesokan harinya yang menceritakan kalau tanaman tersebut terjual dengan bandrol 15 juta rupiah. Sebelum sampai di pintu rumah, bahkan.
Saat masa keemasan tanaman ini, harga satu tanaman Gelombang Cinta ini bisa setara dengan harga mobil. Pernah dihargai setara dengan Suzuki Taruna. 90 juta-an. Pikat dengan konsep logika seperti apa yang bisa menjelaskan fenomena tersebut kecuali keberpujaan akanritual pajang-memajang demi kemanjaan visualitas sahaja.
Dalam masyarakat Jawa ada sanepan, guyonan umum yang bermakna sindiran. Arti katanya adalah mustahil untuk mencemooh harga yang terlalu melambung. Pernyataannya adalah “Mosok’o dibayar nganggo godong” (masak akan dibayar pakai daun). Dan pada masa-masa kejayaan Gelombang Cinta ini pernyataan tersebut ternyata menemukan simpul realitasnya. Sebuah gelisah zaman.
Dalam biografinya, kedahsyatan ‘harga’ tanaman ini ternyata mengempis dengan tiba-tiba. Usaha dadakan serba nurseri bertumbangan. Pepatah yang menyatakan bahwa sesuatu yang cepat meroket memang akan dengan lebih mudah terpelanting ternyata benar-benar bijak adanya. Bisnis mahal yang tidak mudah dimulai ini menjanjikan hasil dan keuntungan yang menggiurkan. Pikat kegiuran ini berpotensi memabukkan para pelakunya. Dan bila tidak berpijak pada sepenuh kesadaran maka justru akan memerosokkan.
Bisa dibayangkan bila seseorang berpegang pada usaha ini dan dijadikan sandaran untuk memasuki jenjang pernikahan. Saat usahanya menyusut, rumah tanggapun surut entah bagaimana. Usaha dengan sandar penopang yang melompong dan tidak mewariskan kekukuhan sistem kecuali puja tampilan yang serba sesaat alias musim-musiman ini, bisa jadi hanya seperti peragawati yang melintas sesaat di catwalk dengan rancangan busana model terbaru. Indah, menggiurkan tetapi hanya sekedar numpang lewat. Bagi yang berduit dan para pemuja fesyen, maka ia pasti bersegera untuk membelanjakan uangnya. Bagi yang hanya sekedar nonton, maka ia akan dipeningkan dengan angan-angan ingin yang memenuhi ceruk pikirannya.
Kisah perjalanan kerumah-tanggaannya pun bisa menggak-menggok dan serba oleng. Konsep keluarga dibangun atas dasar konsepsi iming-iming mimpi dan harapan untuk suatu saat bisnis itu kan berkecambah kembali. Masalah dilerai dengan sampan harap-mengharap. Jauh dari upaya perjuangan membangunkan keberhidupan dan menghayati kehidupan. Berdoa arus dan angin akan turut menuntun laju si perahu?
Lakon Reformasi ala Orde Baru
Ada ungkapan populer bahwa pergantian dasar kemimpinan di Indonesia selalu dibarengi dengan pergolakan dan selalu menelan banyak korban. Dimulai dengan revolusi yang melahirkan negara Indonesia. Ontran-ontran pergantian dari orde lama ke orde baru. Juga saat upaya penumbangan orde baru. Penumbangan orde terlama Indonesia itu terjadi 14 tahun silam. Ketimpangan penguasaan negara dan ketidakpercayaan publik terhadap para pengelola negara meretas jalannya sendiri da menglahirkan perlawanan dan mengobarkan keberanian massa rakyat untuk bergerak dinamis dengan turun ke jalan. Melakukan unjuk rasa dan unjuk kekuatan.
Gembar-gembor demokrasi yang dianut pemerintah dalam menata sistem negara dijajal kebermutuannya. Digoyahkan kekuatan konsepnya. Pilihan rakyat yang konon terpantau lewat pemilihan umum sebagai simbol demokrasi ternyata ditolak oleh massa rakyat itu sendiri. Pendidikan politik yang canggih, karena lewat praktek rasa dan pencitaan elemen masyarakat bangsa dalam alur realitas. Masyarakat yang duduk nyaman pun tiba-tiba terhenyak oleh kondisi bangsanya. Kata kemajuan dan keberhasilan yang selalu digaung-gaungkan adalah candu yang melenakan ternyata. Tumpukan hutang dan serangkaian pengkhianatan dengan merek khas Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme telah berkesanggupan melukai hati nurani rakyat. Rakyat serta merta berada dalam satu payung rasa yang sama. Terpana bersama-sama. Geleng-geleng kepala atas tingkah polah para anggota Dewan Perwakilan Rakyat Yang Terhormat, yang ternyata tidak mewakili ungkapan hati nurani mereka. Lantas, mereka mewakili siapa?
Kegerahan ini memantik rasa lara yang seragam seirama. Massa rakyat pu bergerak bersama. Nostalgia kekerasan masa revolusi bangkit demi kemartaban bangsa dan negara. Aparat negara pun dengan terpaksa berhadapan dengan mahasiswa dan masyarakat yang seyogyanya dilindunginya. Pertengahan tahun 1998, demonstrasi besar pun melanda kota-kota besar di Indonesia. Kematian mahasiswa Universitas Atmajaya Yogyakarta yang bernama Moses menjadi mortir penggalangan kekuatan masal masyarakat kampus untuk bergerak dalam satu payung perjuangan. Merobohkan rezim yang berkuasa. Revolusi ala orde baru ini berjalan tanpa pengelolaan strategi yang taktis dan futuristik. Rawan untuk tumbang dan gamang dalam berjalan.
Kekerasan dan penjarahan meletus di berbagai wilayah ekonomi. Akumulasi kelelahan masyarakat secara fundamental hadir begitu telanjang. Jiwa pengecut dan karakteristik maling dan perampok menyebar bagai virus dan menular dengan luar biasa. Pusat-pusat perdagangan tuntas dengan sekedipan mata. Kejerian meluas dan melukai setiap lapis rasa masyarakatnya. Biografi kotaberkota pun memeristiwai endus kesakitannya. Mengisahkan biografi kelaraan pada tikungan gerak zaman. Sakan lupa ada tunas-tunas muda yang belum tiba saatnya untuk meretas ranggas. Menjamu sekarat kanak-kanaknya.
Polisi dan tentara dipaksa menepikan para anak bangsanya dipinggir panggung kehidupan. Bersinergi dengan waktu mengatur dan menskenariokan pentas baru yang dadakan pada panggung lama. Pemain profesional pun berpura-pura gagu. Bertingkah seakan mengalami demam panggung akut. Melepaskan diri dari tanggung jawab kesuksesan cerita drama dadakan itu. Para aktor baru bersikap sok-sok profesional dan malah dijadikan boneka dan kacung-kacung demi kelancaran alur cerita. Menjadi pion-pion yang petentengan berdiri di depan dengan gagah. Berjalan tanpa berpikir panjang karena langkah memang tidak boleh terlalu panjang, cukup selangkah demi setapak.
Orde Baru ala Reformasi
Sudah 14 tahun panggung lama itu menggelar sendratari kontemporer yang gemerlap. Tidak mau mengikuti pakem katanya, tetapi sangat patuh pada ritual sesaji yang malah luar biasa pakem. Memuja upeti-upeti layaknya raja-raja masa lalu. Saling memback-up layaknya para pemain teater profesional. Membiarkan penonton bosan dan kehilangan selera untuk duduk nyaman dalam pikat lakon drama yang menggugah rasa dan seluruh karsa. Lakon-lakon kliselah yang tergarap. Muncul di atas panggung dengan senandung normatif yang agung. Dan sengaja di dengungkan.
Lakon korupsi dan drama kenaikan BBM menjadi suguhan cerita yang sekan tiada habisnya. Sendratari konspirasi dan persekongkolan dilakonkan dengan gandes luwes dan sangat telanjang. Bukan pornografi, katanya, karena ini atas nama seni berpolitik. Bukan pula pornoaksi, tangkisnya. meski banyak suguhan nudis dan perselingkuhan gaya klasik karena ini adalah tarian dan kerja seni. Bukan pelanggaran hukum karena ini adalah panggung untuk mengais rejeki. Rejeki itu bukan korupsi. Bukan pula persekongkolan maling dan perampok karena ada peraturan yang melindungi gerombolan ala si berat di komik Donal Bebek ini.
Penonton yan baik hendaknya diam karena penonton profesional itu adalah penikmat seni sejati. Seperti layaknya penonton final tenis lapangan di Wimbledon. Tidak berisik dan tidak boleh mengusik konsentrasi pemain. Pemain dan penonton adalah komunitas yang tak sama. Tidak ada hubungpenghubung antarnya.
Hanya, hal yang perlu dihati-hatikan sedikit adalah adanya kemungkinan bila nanti gedung pertunjukkannya roboh atau terbakar. Penonton boleh lari kemana saja. Bila ingin masuk surga ya tetaplah diam menunggu kematian sambil berpasrah karena memang begitulah Pepesten Sang Maha Asih atas nasib gedung pertunjukan tua Indonesia ini. Bukankah kematian adalah sebuah kerinduan dan hidup adalah perayaan atasnya kata Muhammad Damm. Jadi mau menyambut kerinduan atau merayakan kerinduan itu adalah hak penonton sekalian.
Hal yang perlu untuk diketahui adalah bahwa dalam setiap gedung pertunjukan berpanggung, selalu ada jalan keluar dari kamar ganti pemain. Dan ada banyak helikopter pribadi siap terbang untuk mengamankan para aktris dan aktor ini dari bencana-bencana tak terduga. Dan gedung hebat ini adalah gedung pertunjukan nan canggih 27 lantai. Satu-satunya di dunia.

Pare, 31 Maret 2012

Tidak ada komentar:

Posting Komentar