By: Han's
Rasulullah berpesan kepada Aisyah
ra : “Ya Aisyah janganlah engkau tidur sebelum melakukan empat perkara,
yaitu :
1. Sebelum Khatam Al Qur’an,
2. Sebelum membuat para Nabi memberimu syafaat di hari akhir,
3. Sebelum para muslim meridloi kamu,
4. Sebelum kau laksanakan haji dan umroh.
Aisyah bertanya : “Ya Rasulullah… Bagaimana aku dapat
melaksanakan empat perkara seketika?”
Rasul tersenyum dan bersabda
: “Jika engkau tidur bacalah :
1. Al Ikhlas tiga kali
2. Bacalah sholawat untukku
dan para nabi sebelum aku
3. Beristighfarlah untuk para muslimin
4. Perbanyaklah bertasbih, bertahmid, bertahlil, bertakbir “
PARE untuk Semua Pendidikan yang Murah, Merakyat, Berkualitas, Berkarakter dan Religius
Sabtu, 19 Mei 2012
Panggung Sendratari Reformasi
By: Uun Nurcahyanti
Reformasi ala Indonesia 1998 seperti bisnis Gelombang Cinta demi bekal berumah tangga. Awal tahun 2000 hingga akhir dekade lalu, lalu usaha hortikultural Indonesia mengalami masa manis madu dengan merebaknya banyak pebisnis nurseri. Gerak tanaman taman sebagai pemanis ruang dan pajangan meroketkan pikatnya dalam menarik pandangan mata. Tanaman-tanaman dari Thailand yang lebih berwarna-warni elok merembesi wilayah-wilayah perkotaan. Pujapuji tampilan interior ruang dengan sentuhan bunga-bunga hidup merajalelai ruang-ruang publik dengan eksistensi prestise, harga diri. Puja gengsi dengan orientasi dekorasi.
Kondisi ini membuka peluang usaha model nurseri yang memesat dengan sangat cepat. Puncak pujapuji keterpikatan tanaman hias ini adalah munculnya generasi Gelombang Cinta yang harganya bisa begitu tidak masuk akal. Saya teringat pada suatu sore, adik saya tiba-tiba berkunjung dari Solo karena mengejar sebuah tanaman yang namanya terasa asing di telinga saya, Gelombang Cinta. Hal yang teramat mengejutkan adalah harga tanaman yang dibelinya itu. 3 juta rupiah! Jumlah nominal yang terasa sangat tidak masuk akal. Setara dengan harga rumah kontrakan kami untuk satu tahun yang pembayarannya pun biasanya kami cicil. Hal yang lebih mengejutkan adalah kabar dari adik saya tersebut keesokan harinya yang menceritakan kalau tanaman tersebut terjual dengan bandrol 15 juta rupiah. Sebelum sampai di pintu rumah, bahkan.
Saat masa keemasan tanaman ini, harga satu tanaman Gelombang Cinta ini bisa setara dengan harga mobil. Pernah dihargai setara dengan Suzuki Taruna. 90 juta-an. Pikat dengan konsep logika seperti apa yang bisa menjelaskan fenomena tersebut kecuali keberpujaan akanritual pajang-memajang demi kemanjaan visualitas sahaja.
Dalam masyarakat Jawa ada sanepan, guyonan umum yang bermakna sindiran. Arti katanya adalah mustahil untuk mencemooh harga yang terlalu melambung. Pernyataannya adalah “Mosok’o dibayar nganggo godong” (masak akan dibayar pakai daun). Dan pada masa-masa kejayaan Gelombang Cinta ini pernyataan tersebut ternyata menemukan simpul realitasnya. Sebuah gelisah zaman.
Dalam biografinya, kedahsyatan ‘harga’ tanaman ini ternyata mengempis dengan tiba-tiba. Usaha dadakan serba nurseri bertumbangan. Pepatah yang menyatakan bahwa sesuatu yang cepat meroket memang akan dengan lebih mudah terpelanting ternyata benar-benar bijak adanya. Bisnis mahal yang tidak mudah dimulai ini menjanjikan hasil dan keuntungan yang menggiurkan. Pikat kegiuran ini berpotensi memabukkan para pelakunya. Dan bila tidak berpijak pada sepenuh kesadaran maka justru akan memerosokkan.
Bisa dibayangkan bila seseorang berpegang pada usaha ini dan dijadikan sandaran untuk memasuki jenjang pernikahan. Saat usahanya menyusut, rumah tanggapun surut entah bagaimana. Usaha dengan sandar penopang yang melompong dan tidak mewariskan kekukuhan sistem kecuali puja tampilan yang serba sesaat alias musim-musiman ini, bisa jadi hanya seperti peragawati yang melintas sesaat di catwalk dengan rancangan busana model terbaru. Indah, menggiurkan tetapi hanya sekedar numpang lewat. Bagi yang berduit dan para pemuja fesyen, maka ia pasti bersegera untuk membelanjakan uangnya. Bagi yang hanya sekedar nonton, maka ia akan dipeningkan dengan angan-angan ingin yang memenuhi ceruk pikirannya.
Kisah perjalanan kerumah-tanggaannya pun bisa menggak-menggok dan serba oleng. Konsep keluarga dibangun atas dasar konsepsi iming-iming mimpi dan harapan untuk suatu saat bisnis itu kan berkecambah kembali. Masalah dilerai dengan sampan harap-mengharap. Jauh dari upaya perjuangan membangunkan keberhidupan dan menghayati kehidupan. Berdoa arus dan angin akan turut menuntun laju si perahu?
Lakon Reformasi ala Orde Baru
Ada ungkapan populer bahwa pergantian dasar kemimpinan di Indonesia selalu dibarengi dengan pergolakan dan selalu menelan banyak korban. Dimulai dengan revolusi yang melahirkan negara Indonesia. Ontran-ontran pergantian dari orde lama ke orde baru. Juga saat upaya penumbangan orde baru. Penumbangan orde terlama Indonesia itu terjadi 14 tahun silam. Ketimpangan penguasaan negara dan ketidakpercayaan publik terhadap para pengelola negara meretas jalannya sendiri da menglahirkan perlawanan dan mengobarkan keberanian massa rakyat untuk bergerak dinamis dengan turun ke jalan. Melakukan unjuk rasa dan unjuk kekuatan.
Gembar-gembor demokrasi yang dianut pemerintah dalam menata sistem negara dijajal kebermutuannya. Digoyahkan kekuatan konsepnya. Pilihan rakyat yang konon terpantau lewat pemilihan umum sebagai simbol demokrasi ternyata ditolak oleh massa rakyat itu sendiri. Pendidikan politik yang canggih, karena lewat praktek rasa dan pencitaan elemen masyarakat bangsa dalam alur realitas. Masyarakat yang duduk nyaman pun tiba-tiba terhenyak oleh kondisi bangsanya. Kata kemajuan dan keberhasilan yang selalu digaung-gaungkan adalah candu yang melenakan ternyata. Tumpukan hutang dan serangkaian pengkhianatan dengan merek khas Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme telah berkesanggupan melukai hati nurani rakyat. Rakyat serta merta berada dalam satu payung rasa yang sama. Terpana bersama-sama. Geleng-geleng kepala atas tingkah polah para anggota Dewan Perwakilan Rakyat Yang Terhormat, yang ternyata tidak mewakili ungkapan hati nurani mereka. Lantas, mereka mewakili siapa?
Kegerahan ini memantik rasa lara yang seragam seirama. Massa rakyat pu bergerak bersama. Nostalgia kekerasan masa revolusi bangkit demi kemartaban bangsa dan negara. Aparat negara pun dengan terpaksa berhadapan dengan mahasiswa dan masyarakat yang seyogyanya dilindunginya. Pertengahan tahun 1998, demonstrasi besar pun melanda kota-kota besar di Indonesia. Kematian mahasiswa Universitas Atmajaya Yogyakarta yang bernama Moses menjadi mortir penggalangan kekuatan masal masyarakat kampus untuk bergerak dalam satu payung perjuangan. Merobohkan rezim yang berkuasa. Revolusi ala orde baru ini berjalan tanpa pengelolaan strategi yang taktis dan futuristik. Rawan untuk tumbang dan gamang dalam berjalan.
Kekerasan dan penjarahan meletus di berbagai wilayah ekonomi. Akumulasi kelelahan masyarakat secara fundamental hadir begitu telanjang. Jiwa pengecut dan karakteristik maling dan perampok menyebar bagai virus dan menular dengan luar biasa. Pusat-pusat perdagangan tuntas dengan sekedipan mata. Kejerian meluas dan melukai setiap lapis rasa masyarakatnya. Biografi kotaberkota pun memeristiwai endus kesakitannya. Mengisahkan biografi kelaraan pada tikungan gerak zaman. Sakan lupa ada tunas-tunas muda yang belum tiba saatnya untuk meretas ranggas. Menjamu sekarat kanak-kanaknya.
Polisi dan tentara dipaksa menepikan para anak bangsanya dipinggir panggung kehidupan. Bersinergi dengan waktu mengatur dan menskenariokan pentas baru yang dadakan pada panggung lama. Pemain profesional pun berpura-pura gagu. Bertingkah seakan mengalami demam panggung akut. Melepaskan diri dari tanggung jawab kesuksesan cerita drama dadakan itu. Para aktor baru bersikap sok-sok profesional dan malah dijadikan boneka dan kacung-kacung demi kelancaran alur cerita. Menjadi pion-pion yang petentengan berdiri di depan dengan gagah. Berjalan tanpa berpikir panjang karena langkah memang tidak boleh terlalu panjang, cukup selangkah demi setapak.
Orde Baru ala Reformasi
Sudah 14 tahun panggung lama itu menggelar sendratari kontemporer yang gemerlap. Tidak mau mengikuti pakem katanya, tetapi sangat patuh pada ritual sesaji yang malah luar biasa pakem. Memuja upeti-upeti layaknya raja-raja masa lalu. Saling memback-up layaknya para pemain teater profesional. Membiarkan penonton bosan dan kehilangan selera untuk duduk nyaman dalam pikat lakon drama yang menggugah rasa dan seluruh karsa. Lakon-lakon kliselah yang tergarap. Muncul di atas panggung dengan senandung normatif yang agung. Dan sengaja di dengungkan.
Lakon korupsi dan drama kenaikan BBM menjadi suguhan cerita yang sekan tiada habisnya. Sendratari konspirasi dan persekongkolan dilakonkan dengan gandes luwes dan sangat telanjang. Bukan pornografi, katanya, karena ini atas nama seni berpolitik. Bukan pula pornoaksi, tangkisnya. meski banyak suguhan nudis dan perselingkuhan gaya klasik karena ini adalah tarian dan kerja seni. Bukan pelanggaran hukum karena ini adalah panggung untuk mengais rejeki. Rejeki itu bukan korupsi. Bukan pula persekongkolan maling dan perampok karena ada peraturan yang melindungi gerombolan ala si berat di komik Donal Bebek ini.
Penonton yan baik hendaknya diam karena penonton profesional itu adalah penikmat seni sejati. Seperti layaknya penonton final tenis lapangan di Wimbledon. Tidak berisik dan tidak boleh mengusik konsentrasi pemain. Pemain dan penonton adalah komunitas yang tak sama. Tidak ada hubungpenghubung antarnya.
Hanya, hal yang perlu dihati-hatikan sedikit adalah adanya kemungkinan bila nanti gedung pertunjukkannya roboh atau terbakar. Penonton boleh lari kemana saja. Bila ingin masuk surga ya tetaplah diam menunggu kematian sambil berpasrah karena memang begitulah Pepesten Sang Maha Asih atas nasib gedung pertunjukan tua Indonesia ini. Bukankah kematian adalah sebuah kerinduan dan hidup adalah perayaan atasnya kata Muhammad Damm. Jadi mau menyambut kerinduan atau merayakan kerinduan itu adalah hak penonton sekalian.
Hal yang perlu untuk diketahui adalah bahwa dalam setiap gedung pertunjukan berpanggung, selalu ada jalan keluar dari kamar ganti pemain. Dan ada banyak helikopter pribadi siap terbang untuk mengamankan para aktris dan aktor ini dari bencana-bencana tak terduga. Dan gedung hebat ini adalah gedung pertunjukan nan canggih 27 lantai. Satu-satunya di dunia.
Pare, 31 Maret 2012
Reformasi ala Indonesia 1998 seperti bisnis Gelombang Cinta demi bekal berumah tangga. Awal tahun 2000 hingga akhir dekade lalu, lalu usaha hortikultural Indonesia mengalami masa manis madu dengan merebaknya banyak pebisnis nurseri. Gerak tanaman taman sebagai pemanis ruang dan pajangan meroketkan pikatnya dalam menarik pandangan mata. Tanaman-tanaman dari Thailand yang lebih berwarna-warni elok merembesi wilayah-wilayah perkotaan. Pujapuji tampilan interior ruang dengan sentuhan bunga-bunga hidup merajalelai ruang-ruang publik dengan eksistensi prestise, harga diri. Puja gengsi dengan orientasi dekorasi.
Kondisi ini membuka peluang usaha model nurseri yang memesat dengan sangat cepat. Puncak pujapuji keterpikatan tanaman hias ini adalah munculnya generasi Gelombang Cinta yang harganya bisa begitu tidak masuk akal. Saya teringat pada suatu sore, adik saya tiba-tiba berkunjung dari Solo karena mengejar sebuah tanaman yang namanya terasa asing di telinga saya, Gelombang Cinta. Hal yang teramat mengejutkan adalah harga tanaman yang dibelinya itu. 3 juta rupiah! Jumlah nominal yang terasa sangat tidak masuk akal. Setara dengan harga rumah kontrakan kami untuk satu tahun yang pembayarannya pun biasanya kami cicil. Hal yang lebih mengejutkan adalah kabar dari adik saya tersebut keesokan harinya yang menceritakan kalau tanaman tersebut terjual dengan bandrol 15 juta rupiah. Sebelum sampai di pintu rumah, bahkan.
Saat masa keemasan tanaman ini, harga satu tanaman Gelombang Cinta ini bisa setara dengan harga mobil. Pernah dihargai setara dengan Suzuki Taruna. 90 juta-an. Pikat dengan konsep logika seperti apa yang bisa menjelaskan fenomena tersebut kecuali keberpujaan akanritual pajang-memajang demi kemanjaan visualitas sahaja.
Dalam masyarakat Jawa ada sanepan, guyonan umum yang bermakna sindiran. Arti katanya adalah mustahil untuk mencemooh harga yang terlalu melambung. Pernyataannya adalah “Mosok’o dibayar nganggo godong” (masak akan dibayar pakai daun). Dan pada masa-masa kejayaan Gelombang Cinta ini pernyataan tersebut ternyata menemukan simpul realitasnya. Sebuah gelisah zaman.
Dalam biografinya, kedahsyatan ‘harga’ tanaman ini ternyata mengempis dengan tiba-tiba. Usaha dadakan serba nurseri bertumbangan. Pepatah yang menyatakan bahwa sesuatu yang cepat meroket memang akan dengan lebih mudah terpelanting ternyata benar-benar bijak adanya. Bisnis mahal yang tidak mudah dimulai ini menjanjikan hasil dan keuntungan yang menggiurkan. Pikat kegiuran ini berpotensi memabukkan para pelakunya. Dan bila tidak berpijak pada sepenuh kesadaran maka justru akan memerosokkan.
Bisa dibayangkan bila seseorang berpegang pada usaha ini dan dijadikan sandaran untuk memasuki jenjang pernikahan. Saat usahanya menyusut, rumah tanggapun surut entah bagaimana. Usaha dengan sandar penopang yang melompong dan tidak mewariskan kekukuhan sistem kecuali puja tampilan yang serba sesaat alias musim-musiman ini, bisa jadi hanya seperti peragawati yang melintas sesaat di catwalk dengan rancangan busana model terbaru. Indah, menggiurkan tetapi hanya sekedar numpang lewat. Bagi yang berduit dan para pemuja fesyen, maka ia pasti bersegera untuk membelanjakan uangnya. Bagi yang hanya sekedar nonton, maka ia akan dipeningkan dengan angan-angan ingin yang memenuhi ceruk pikirannya.
Kisah perjalanan kerumah-tanggaannya pun bisa menggak-menggok dan serba oleng. Konsep keluarga dibangun atas dasar konsepsi iming-iming mimpi dan harapan untuk suatu saat bisnis itu kan berkecambah kembali. Masalah dilerai dengan sampan harap-mengharap. Jauh dari upaya perjuangan membangunkan keberhidupan dan menghayati kehidupan. Berdoa arus dan angin akan turut menuntun laju si perahu?
Lakon Reformasi ala Orde Baru
Ada ungkapan populer bahwa pergantian dasar kemimpinan di Indonesia selalu dibarengi dengan pergolakan dan selalu menelan banyak korban. Dimulai dengan revolusi yang melahirkan negara Indonesia. Ontran-ontran pergantian dari orde lama ke orde baru. Juga saat upaya penumbangan orde baru. Penumbangan orde terlama Indonesia itu terjadi 14 tahun silam. Ketimpangan penguasaan negara dan ketidakpercayaan publik terhadap para pengelola negara meretas jalannya sendiri da menglahirkan perlawanan dan mengobarkan keberanian massa rakyat untuk bergerak dinamis dengan turun ke jalan. Melakukan unjuk rasa dan unjuk kekuatan.
Gembar-gembor demokrasi yang dianut pemerintah dalam menata sistem negara dijajal kebermutuannya. Digoyahkan kekuatan konsepnya. Pilihan rakyat yang konon terpantau lewat pemilihan umum sebagai simbol demokrasi ternyata ditolak oleh massa rakyat itu sendiri. Pendidikan politik yang canggih, karena lewat praktek rasa dan pencitaan elemen masyarakat bangsa dalam alur realitas. Masyarakat yang duduk nyaman pun tiba-tiba terhenyak oleh kondisi bangsanya. Kata kemajuan dan keberhasilan yang selalu digaung-gaungkan adalah candu yang melenakan ternyata. Tumpukan hutang dan serangkaian pengkhianatan dengan merek khas Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme telah berkesanggupan melukai hati nurani rakyat. Rakyat serta merta berada dalam satu payung rasa yang sama. Terpana bersama-sama. Geleng-geleng kepala atas tingkah polah para anggota Dewan Perwakilan Rakyat Yang Terhormat, yang ternyata tidak mewakili ungkapan hati nurani mereka. Lantas, mereka mewakili siapa?
Kegerahan ini memantik rasa lara yang seragam seirama. Massa rakyat pu bergerak bersama. Nostalgia kekerasan masa revolusi bangkit demi kemartaban bangsa dan negara. Aparat negara pun dengan terpaksa berhadapan dengan mahasiswa dan masyarakat yang seyogyanya dilindunginya. Pertengahan tahun 1998, demonstrasi besar pun melanda kota-kota besar di Indonesia. Kematian mahasiswa Universitas Atmajaya Yogyakarta yang bernama Moses menjadi mortir penggalangan kekuatan masal masyarakat kampus untuk bergerak dalam satu payung perjuangan. Merobohkan rezim yang berkuasa. Revolusi ala orde baru ini berjalan tanpa pengelolaan strategi yang taktis dan futuristik. Rawan untuk tumbang dan gamang dalam berjalan.
Kekerasan dan penjarahan meletus di berbagai wilayah ekonomi. Akumulasi kelelahan masyarakat secara fundamental hadir begitu telanjang. Jiwa pengecut dan karakteristik maling dan perampok menyebar bagai virus dan menular dengan luar biasa. Pusat-pusat perdagangan tuntas dengan sekedipan mata. Kejerian meluas dan melukai setiap lapis rasa masyarakatnya. Biografi kotaberkota pun memeristiwai endus kesakitannya. Mengisahkan biografi kelaraan pada tikungan gerak zaman. Sakan lupa ada tunas-tunas muda yang belum tiba saatnya untuk meretas ranggas. Menjamu sekarat kanak-kanaknya.
Polisi dan tentara dipaksa menepikan para anak bangsanya dipinggir panggung kehidupan. Bersinergi dengan waktu mengatur dan menskenariokan pentas baru yang dadakan pada panggung lama. Pemain profesional pun berpura-pura gagu. Bertingkah seakan mengalami demam panggung akut. Melepaskan diri dari tanggung jawab kesuksesan cerita drama dadakan itu. Para aktor baru bersikap sok-sok profesional dan malah dijadikan boneka dan kacung-kacung demi kelancaran alur cerita. Menjadi pion-pion yang petentengan berdiri di depan dengan gagah. Berjalan tanpa berpikir panjang karena langkah memang tidak boleh terlalu panjang, cukup selangkah demi setapak.
Orde Baru ala Reformasi
Sudah 14 tahun panggung lama itu menggelar sendratari kontemporer yang gemerlap. Tidak mau mengikuti pakem katanya, tetapi sangat patuh pada ritual sesaji yang malah luar biasa pakem. Memuja upeti-upeti layaknya raja-raja masa lalu. Saling memback-up layaknya para pemain teater profesional. Membiarkan penonton bosan dan kehilangan selera untuk duduk nyaman dalam pikat lakon drama yang menggugah rasa dan seluruh karsa. Lakon-lakon kliselah yang tergarap. Muncul di atas panggung dengan senandung normatif yang agung. Dan sengaja di dengungkan.
Lakon korupsi dan drama kenaikan BBM menjadi suguhan cerita yang sekan tiada habisnya. Sendratari konspirasi dan persekongkolan dilakonkan dengan gandes luwes dan sangat telanjang. Bukan pornografi, katanya, karena ini atas nama seni berpolitik. Bukan pula pornoaksi, tangkisnya. meski banyak suguhan nudis dan perselingkuhan gaya klasik karena ini adalah tarian dan kerja seni. Bukan pelanggaran hukum karena ini adalah panggung untuk mengais rejeki. Rejeki itu bukan korupsi. Bukan pula persekongkolan maling dan perampok karena ada peraturan yang melindungi gerombolan ala si berat di komik Donal Bebek ini.
Penonton yan baik hendaknya diam karena penonton profesional itu adalah penikmat seni sejati. Seperti layaknya penonton final tenis lapangan di Wimbledon. Tidak berisik dan tidak boleh mengusik konsentrasi pemain. Pemain dan penonton adalah komunitas yang tak sama. Tidak ada hubungpenghubung antarnya.
Hanya, hal yang perlu dihati-hatikan sedikit adalah adanya kemungkinan bila nanti gedung pertunjukkannya roboh atau terbakar. Penonton boleh lari kemana saja. Bila ingin masuk surga ya tetaplah diam menunggu kematian sambil berpasrah karena memang begitulah Pepesten Sang Maha Asih atas nasib gedung pertunjukan tua Indonesia ini. Bukankah kematian adalah sebuah kerinduan dan hidup adalah perayaan atasnya kata Muhammad Damm. Jadi mau menyambut kerinduan atau merayakan kerinduan itu adalah hak penonton sekalian.
Hal yang perlu untuk diketahui adalah bahwa dalam setiap gedung pertunjukan berpanggung, selalu ada jalan keluar dari kamar ganti pemain. Dan ada banyak helikopter pribadi siap terbang untuk mengamankan para aktris dan aktor ini dari bencana-bencana tak terduga. Dan gedung hebat ini adalah gedung pertunjukan nan canggih 27 lantai. Satu-satunya di dunia.
Pare, 31 Maret 2012
Senin, 07 Mei 2012
AGAMA dan PERUBAHAN SOSIAL
Agama dan Perubahan Sosial
Oleh. Mr. Dani afala-ASSET BOY
Salah satu pemegang peran dari perubahan sosial adalah pemuda yang
menjadi simbol penggerak perubahan dengan segala potensi yang dimiliki
serta dengan semangatnya yang membara. Pemuda menjadi bagian terpenting
dalam tatanan masyarakat, menjadi motor penggerak dalam melakukan
perubahan social. Kehidupan bumi ini membutuhkan lebih dari kehadiran-
kehadiran dari para penghuninya. Yaitu membutuhkan semangat, optimisme,
dan kekuatan sebagaimana yang dimiliki oleh para pemuda. Karena ditengah
kehidupan saat ini, realitas social telah berada pada titik yang
membahayakan, penuh jebakan, dan selalu menipu dengan berbagai
tampilannya yang popular, romantic, menghipnotis.
Problem
terbesar saat ini adalah adanya westoknisasi melalui budaya, pendidikan,
teknologi, perkembangan industry dan eastoknisasi sendiri sehingga
perilaku kehidupan masyarakat Indonesia tidak lagi berada pada kondisi
budaya dan kepribadiannya sebagai bangsa Indonesia. Munculnya budaya
yang menggrogoti nilai-nilai kemanusiaan di Indonesia seperti, free sex,
pornografi, pergaulan bebas, korupsi telah meracuni kehidupan bangsa
Indonesia yang beradab dan luhur. Kondisi Ini berdampak besar pada
kehidupan beragama, dimana agama tidak lagi dijadikan sebagai pijakan
moral dalam bertindak. Agama hanya menjadi sarana pelarian atas
kekecewaan manusia dalam menjalani hidupnya. Kehidupan social yang tidak
stabil itu, tidak hanay memunculkan kelompok-kelompok agama yang
eksklusi tapi juga fanatic dan ekstrim, yang tidak perduli pada orang
lain kecuali keselamatan kelompoknya. Realitas social hari ini telah
menggambarkan kepada kita akan kehidupan beragama yang semakin jauh dari
moralitas keberagamaan itu sendiri. Agama hanya dipahami sebagai
ritualisasi, simbolisasi, eforia yang kehilangan makna dan tanpa esensi.
Ini dapat dilihat dari pengindentikan antara agama dengan terorisme,
perusakan, dan kekerasan. Agama kemudian disimpulkan menjadi symbol
perusak tatanan social. Dalam artian agama menjadi dalil bagi pembenaran
atas segala tindakan yang tak manusiawi.
Disisi lainnya, hal
yang paling bermasalah dalam kehidupan beragama adalah perubahan
paradigm (main set) yang menempatkan relasi manusia pada posisi
subyek-obyek, dimana yang salah satu lebih unggul dari lainnya. Manusia
memandang orang lain sebagai lawan, obyek yang harus ditindaki dan di
eksploitasi. Kondisi ini diakibatkan oleh pengeringan dimensi etis dari
agama itu sendiri karena keterputusan dalam menghubungakan dimensi nilai
dan praktiknya sehingga mengarahkan manusia pada kehidupan yang serba
kacau, kondisi hyperreligiousity dan anarkisme.
Dalam ajaran
agama khususnya Islam, Tuhan telah menciptakan segala sesuatunya dengan
baik dan sempurna termasuk didalamnya adalah bagaimana menata masyarakat
untuk membangun kebaikan bersama (kesejahteraan). Dalam pemikiran yang
rasional, agama menjadi dasar, pedoman, rujukan dan referensi, dalil
atas tindakan manusia meliputi semua aktivitas yang dilakukannya. Agama
memegang posisi inti, menjadi dasar yang esensial dari semua dimensi
kehidupan. Sehingga Agama harusnya menjadi rujukan atas semua dalil,
doktrin, dan segala tindakan manusia. Untuk itu, manusia membutuhkan
pemahaman yang baik tentang agama yang dianutnya. Pemahaman yang baik
atas agama, akan mengarah pada tindakan yang baik pula dalam pengaturan
kehidupan manusia.
“Meskipun iman anda tidak sama dengan saya, tapi saya menerima anda apa adanya” (franz Magnis Suseno).
Dalam beberapa ajaran agama tentang kehidupan yang bisa menjadi
inspirasi bagi hidup, khusus agama Nasrani, selalu mengajarkan konsep
“kasih”. Kasih adalah Tuhan, sehingga setiap pengikut agama harus saling
mengasihi satu sama lainnya. Agama harus menjadi kerinduan bagi seluruh
manusia. Yaitu memperlakukan orang lain sebagai bagian dari diri kita,
membangun keperdulian yang tinggi terhadap orang lain. Kita harus
mencintai manusia lainnya kerena kecintaan kita kepada Sang Maha Pemberi
Cinta. Dalam artian kecintaan yang dimiliki oleh manusia adalah
manifestasi dari kecintaan kita kepada Tuhan dengan segala kebesarannya.
Kecintaan dan kasih kepada orang lain adalah kasih pada sesuatu yang
kongrit dan pada dasarnya manusia mengawali kecintaannya pada sesuatu
yang kongkrit untuk bisa mencintai Tuhan yang sangat abstrak. Dalam
artian ini, manusia harus banyak-banyak mengasih sesamanya.
Beberapa pendapat para pemikir tentang hubungan yang diistilahkan dengan
Religiousitas teologis dan religiousitas humanity, berpendapat bahwa
dalam dunia kontemporer ini dengan berbagai doktrin yang di bawahnya
telah memisahkan, mengaburkan garis antara Religiousitas teologis dan
religiousitas humanity. Ada keterputusan antara nilai keagamaan yang
dipahami dan bagaimana manusia harus berperilaku dalam kehidupan.
Kerenggangan antara kedua hubungan ini berakibat pada realitas kehidupan
manusia yang menggalau dan penuh jebakan. Pada akhirnya, agama menjadi
bagian pelengkap yang sesekali ditilik dan dipegang, agama adalah bentuk
pelarian, dan pada titik tertentu agama di jadikan sebagai komoditi
atas pencarian keuntungan para kapitalis.
Pada ranah problem
social lainnya, ada pertentangan antara kelompok umat beragama yang
seiman maupun tak seimana yang tak pernah terdamaikan oleh kesepakatan
dan dialog. Ini terjadi karena adanya penafian suatu kelompok atas
kelompok lainnya. Sehingga kehidupan beragama dipenuhi dengan
kecurigaan, pesimis, intoleransi karena alasan perbedaan pemahaman,
atribut, dan metodologi perjuangan. Apatalagi dengan kondisi ini
Indonesia yang Plural dengan berbagai mazhab berpikir, agama dan
kepercayaan lainnya. Sehingga model keberagamaan yang ekslusif menjadi
trend di tengah kondisi social yang tidak stabil.
Berbagai
perdebatan, kecuriagaan, dan pertentangan antara muslim, non muslim dan
seiman sebenarnya dikarenakan adanya konstruksi social atas paradigm
yang mendominasi kehidupan manusia. Paradigma yang menggiring manusia
untuk keluar dari dirinya. Mengajak manusia untuk melupakan yang
esensial dan lebih menyibukan diri dengan realitas yang terbaru dan
popular. Sehingga manusia lupa melakukan penilaian atas dirinya
(autokritik) untuk menemukan kondisi sadar atas dirinya sendiri. Manusia
terlalu sibuk dengan kehidupan social yang terkonstruk oleh media dan
terjebak dalam dunia yang penuh dengan symbol beserta variasinya. Oleh
karena itu, sebenarnya agama menjadi penting ditengah kondisi social
yang mengila dan menyesatkan. Pentingnya agama harus terbangun dari
kesadaran yang utuh dengan kemampuan membaca realitas social yang
terjadi dan mengerakkan manusia untuk mencapai titik kualitas
kemanusiaannya. Metode kontemplasi merupakan salah satu metode untuk
mendekonstruksi diri, bisa mengenal diri, sehingga memiliki pemahaman
yang jelas akan arah dan bagaimana membangun kehidupan beragama dan
bersosial.
Agama harus dipahami dengan baik, Agama harus
dibangun dari kesadaran. Agama hanya bisa menjadi perubah social ketika
mampu membaca konteks social yang terjadi, sehingga agama akan
memberikan solusi atas permasalahan social yang terjadi. Manusia harus
membangun kesadarannya secara utuh dengan agama sebagai rujukan, karena
perubahan social butuh agent, pelaku, actor penggerak perubahan. Dengan
agama yang telah mengajarkan kasih dan kedamaian pada setiap manusia
serta kasih dan kedamaian akan melahirkan kepedulian dan ketulusan dalam
berbagi antara sesala dan membangun tolerasi antar semama. Agama
kemudian menjadi hal penting untuk dijadikan landasan dan pedoman hidup
atas pencarian diri dan perubahan social yang lebih baik.
Disampaikan pada acara Diskusi Terbuka RUMAH ANAK BANGSA
Di Mahesa Institute. Pare-Kediri
Langganan:
Postingan (Atom)