PEREMPUAN, PENGETAHUAN, dan PERJUANGAN
By: Winda Junita Ilyas
Lahir sebagai seorang perempuan adalah kodrat Sang Pencipta
yang tak dapat lagi ditolak keberadaannya dan sampai sekarang saya bersyukur
akan ‘keperempuanan’ saya. Kata perempuan yang baru dapat saya pahami maknanya
semenjak berada di bangku kuliah. Secara semantik perempuan berasal dari kata
“empu” yang diartikan sebagai orang yang ahli atau mampu. Kata Empu yang tak
asing di telinga kita seperti Empu Tantular, Empu Gandring, dan lainnya. Beliau
adalah individu yang berani, cerdas, dan menjadi ispirasi bagi masyarakatnya
layaknya seorang guru. Begitu pula pengertian secara bahasa yang semestinya
dapat dipahami oleh perempuan atau bahkan seluruh masyarakat.
Namun apakah benar adanya bahwa perempuan seharusnya adalah
pribadi yang kuat dan cerdas. Bagaimana dengan anggapan bahwa perempuan
sebaiknya tidak perlu banyak berkata, tidak perlu sekolah tinggi-tinggi karena
akan kembali ke dapur juga, perempuan tidak bisa jadi pemimpin, dan opini
lainnya?
Semenjak saya memakai seragam putih biru (baca:SMP) dan
berada di lingkungan yang cukup berada, teman-teman yang cukup memperhatikan
fashion hari ini, atmosfer belajar yang dinamis (baca: kadang rajin, kadang
malas) membuat saya cukup terbawa arus dengan kondisi ini. Terlebih lagi
masa-masa SMP adalah masa pubertas dimana seorang anak perempuan ingin terlihat
cantik dan diperhatikan oleh orang-orang di sekitarnya. Keinginan untuk membeli
sepatu bermerk, memakai produk-produk kecantikan utamanya pemutih kulit untuk
berusaha mengubah kulit saya yang kata orang coklat dan sangat jarang ditemukan
bahwa perempuan yang berkulit coklat itu bisa dikatakan cantik. Rambut yang dipermak hingga bisa seperti
rambut Dian Sastro yang lurus, rapi, dan lembut. Luar biasa, ternyata
pengeluaran yang besar pada masa-masa putih biru saya ini hanya karena
kepuasaan sesaat dan pengakuan di orang-orang di sekitar saya bahwa “saya
ada(baca: eksis)”. Terlebih lagi teman-teman yang berada dalam kepengurusan
OSIS adalah orang-orang yang terpilih karena mereka cukup “eksis” baik dalam
hal “gaya berpakaian” maupun pergaulan sosial. Kondisi ini terus berlanjut
hingga ke gerbang pendidikan formal selanjutnya, Sekolah Menengah Atas. Namun
terdapat beberapa perbedaan signifikan yang saya alami karena sekolah ini
adalah salah satu sekolah unggulan di kota Makassar. Atmosfer belajar
(baca:intelektual), persaingan dan religius sangat kuat menghiasi hari-hari
saya di sekolah ini, SMA Negeri 17 Makassar. Pemahaman tentang keorganisasian
mulai muncul ketika bergabung di organisasi Paskibra (Pasukan Pengibar Bendera)
dan MPK (Majelis Permusyawaratan Kelas) namun tetap eksis dengan mengikuti
perkembangan gaya baru hari ini yang di saat itu baju-baju karya Distro sedang
digandrungi oleh anak muda Makassar. Langganan majalah distropun kelak saya
lakoni, gaya rambut “mullet” mirip Agnes Monica menjadi pilihan saya, dan
celana botol (baca:celana ketat utamanya bagian bawah) membentuk seperti botol
yang masih sampai sekarang menjadi favorit di kalangan perempuan maupun lelaki.
Tak ayal konsumerisme pun menjamur di kalangan anak muda
utamnya perempuan yang senantiasa membutuhkan ini dan itu untuk melengkapi
kesempurnaan fisiknya sehingga tampak menawan dan pasar (baca:kapitalis) tentunya
sangat menikmati hobi kebanyakan perempuan Indonesia ini. Semakin banyak
kebutuhan mereka, maka akan semakin banyak pula keuntungan individu yang mereka
peroleh sehingga mereka pun semakin kaya dengan “pembentukan hegemoninya (baca:
doktrinasi paradigma)” dan kaum perempuan semakin terbuai akan kecantikannya
sesuai dengan “paradigma cantik yang telah di hegemoni oleh pasar” yaitu cantik
adalah ketika seorang perempuan memiliki kulit yang putih dan halus, rambut
yang panjang dan lurus, hidung yang mancung, mata yang bulat, tubuh yang
langsing, dan lainnya. Di negara lain seperti Thailand, perempuan cantik adalah
yang memakai banyak kalung di lehernya hingga lehernya semakin lama semakin
tinggi dengan keberadaan kalung yang semakin bertambah. Di negara afrika,
perempuan yang cantik adalah yang memiliki tubuh yang besar dan berkulit hitam.
Ternyata terdapat perbedaan di beberapa negara tersebut, sehingga tak pantas
ketika kita mencoba untuk menyamaratakan tentang konsep kecantikan seorang
perempuan secara fisik tersebut. Lalu, bagaimana dengan kemampuan intelektual
seorang perempuan?
Wacana ini dulunya masih menjadi tabu di beberapa daerah di
Indonesia. Namun untk hari ini perempuan mulai bangkit mengukir sejarah
intelektualnya. Walaupun masih dominan pandangan bahwa perempuan sebaiknya di
rumah saja untuk melayani suami, merawat anak, dan memasak. pekerjaan tersebut
adalahpekerjaan yang sangat mulia namun perempuan adalah salah satu ciptaan
Tuhan dimana telah ditiupkan Ruh Ilahi di dalamnya sehingga kita patut untuk
bertanggung jawab atas segala kondisi yang ada di masyarakat termasuk kezaliman
yang akhir-kahir ini sering terjadi layaknya Korupsi, konstruksi paradigma
kapitalis, ketidakadilan, kemiskinan, dan realita lainnya.
Saya pernah membaca cerita tentang salah satu perempuan
mulia yaitu Fatimah Zahra anak dari Rasulullah SAW dan Siti Khadijah. Beliau
yang dalam prinsipnya lebih memilih kesusahan daripada kemudahan, menyukai
kesederhanaan dibandingkan kemewahan, mencintai orang lain daripada diri sendiri,
dan lebih suka menentang kezaliman daripada DIAM. Fatimah as adalah pejuang Tuhan di hadapan
kezaliman, khususnya setelah Rasulullah saw wafat, ketika dirinya melancarkan
protes terhadap berbagai ketidakadilan dengan keberanian luar biasa. Dua
diantara penentangannya yang penting tercermin dari dua khutbah yang
disampaikannya dimesjid dan di rumahnya ketika orang-orang menjenguknya tatkala
sakit. (buku: membela perempuan, menakar feminisme dengan nalar agama).
Selain itu cerita tentang Bunda Theresa seorang biarawti
yang taat yang melihat Ruh Ilahi pada kaum Papa atau kamu mustadhafin
(baca:kaum tertindas) sehingga beliau mendedikasikan dirinya dengan mengabdi
pada suatu daerah di India bernama Calcutta dimana terdapat penduduk yang
sangat miskin, susah memperoleh kesehatan layak dan pendidikan yang memadai.
Perjuangan beliau dengan cinta membawa hasil yang signifikan bagi masyarakat
Calcutta pada saat itu, ditandai dengan anak-anak yang mulai bisa mengenal
huruf dan kata-kata, masyarakat yang dapat memperoleh pengobatan gratis, dan
pembatalan penggusuran daerah Calcutta yang akan dimanfaatkan sebagai lahan
bisnis oleh yang terhormat birokrasi. Cerminan tokoh perempuan seperti Fatimah
Zahra dan Bunda Theresa yang sangat jarang kita temukan figurnya di media-media
yang tersohor. Media dominan memunculkan tokoh-tokoh perempuan layaknya artis
dengan kehidupan glamour dan megah (baca:hedonism) sehingga bagi
manusia-manusia yang senantiasa mencari jati diri lewat figure yang mereka
dambakan pastinya akan mengikuti apa yang dilakukan oleh idolanya. Belum lagi
karena TV menjadi media yang paling utama dan terfavorit bagi sebagian penduduk
Indonesia, sehingga buku-buku bacaan mulai kehilangan pamornya. Jadilah
pribadi-pribadi yang pasif dan monoton serta robot kapitalis.
Memasuki miniatur
kehidupan (baca: kampus) adalah momen yang tak terduga saat terjadinya
dekonstruksi (baca:pembongkaran) dan rekonstruksi (baca:penyusunan kembali)
pola pikir atau mind-set individu-individu
melalui proses kaderisasi yang tidak akan kami dapat ditemukan di ruang-ruang
pendidikan formal. Pandangan perihal perempuan pun semakin membuka cakrawala
berpikir saya bahwa berbicara tentang perempuan tidak sesederhana apa yang saya bayangkan dan alami
selama ini, tetapi memiliki makna yang lebih dalam. Awalnya perempuan cantik
adalah yang secara fisik mirip dengan Dian Sastro atau Luna Maya, kemudian
salah satu senior saya membahasakan bahwa perempuan cantik adalah yang buku
menjadi sahabat setianya, diskusi adalah ruang aplikasi wacananya, dan menulis
adalah kesetiannya pada peradaban. Kalimat yang masih menjadi wacana favorit di
kalangan mahasiswa tersebut kadang masih saja membuat mereka ragu dan cenderung
malas untuk memulai budaya baru, budaya yang mereka sebut budaya ilmiah (baca:
membaca, berdiskusi, dan menulis). Utamanya bagi perempuan-perempuan di kampus
sehingga mungkin sebab itu masih cukup jarang ditemui pembicara, motivator, dan
penulis buku seorang perempuan. Dan sampai pada wacana bahwa perempuan adalah
makhluk ciptaan Tuhan yang berasal dari tanah dan mempunyai kesempatan yang
sama dalam hal berlaku menuju kesempurnaan Sang Maha Sempurna. Yang membedakan
perempuan dengan laki-laki hanyalah kodrat secara fisik yang mereka alami bahwa
perempuan dapat melahirkan, menyusui, memiliki ovum dan memiliki cirri-ciri
fisik yang mempertegas keperempuanannya. Sedangkan laki-laki memiliki sperma
dan tanda –tanda fisik lainnya yang telah diatur sedemikian rupa oleh Sang Maha
Pencipta. Dan selebihnya adalah sama kecuali dalam hal fikih yang mempunyai
aturan-aturan yang berbeda. Kualitas kemanusiaan seseorang ditentukan oleh
individu masing-masing baik laki-laki maupun perempuan sehingga kemampuan untuk
cerdas, militan, bermasyarakat dan berkontribusi terhadap bumi adalah tanggung
jawab setiap manusia dengan berbagai metode yang mereka pilih seperti menjadi
pedagang, pendidik, politisi, psikolog, ekonom, menteri bahkan seorang
presiden. Sehingga pandangan Aristoteles tentang perempuan yaitu (384-322 SM)
memandang bahwa perempuan sebagai manusia “yang tidak sempurna”. Perempuan
adalah “pria yang tidak produktif”. Hanya prialah manusia paripurna
(baca:sempurna). “hubungan pria dan perempuan, secara alamiah, adalah bahwa
pria lebih tinggi dan perempuan lebih rendah, juga prialah yang menguasai sementara
perempuan yang dikuasai”. Pandangan ini dapat runtuh dengan sendirinya dengan
beberapa referensi pembanding lainnya dan diikuti dengan semangat perempuan
hari ini.
Perempuan adalah semesta pertama bagi manusia karena
perempuan memiliki rahim. Sekolah pertama bagi anak-anaknya dan memiliki ikatan
batin yang cukup kuat mulai dari masa hamil, menyusui, dan merawat anaknya
hingga dewasa sehingga perempuan wajib cerdas dengan memiliki pengetahuan yang
holistik dan bijak dalam berbagai kondisi. Kendati demikian, maka tidak hanya
generasi berkualitas yang tercipta bahkan peradaban yang terdidik.
Meminjam istilah dari salah seorang perempuan hebat menurut
saya, Ms.Uun , bahwa manusia adalah kitab yang sehendaknya memiliki sampul,
judul dan isi dimana sampul adalah
tampilan fisik kita, judul adalah nama kita dan isi adalah keseluruhan semesta
yaitu intelektual, spiritual, dan emosional. Sudahkan kita mengukir isi buku
kita wahai perempuan ?
Sebuah puisi oleh Eni Rochyati ini kupersembahkan bagi
kalian perempuan Indonesia yang senantiasa rindu akan hakikat dirimu dan
bangkit untuk menyentuh peradaban.
Perempuan!
Kau taklagi sendiri
Kau tak lagi bermimpi
Berkacalah
Ketika keterpurukan negeri ini
Belalaklah matamu
Apa yang bisa kau lakukan
Demi diri
Ukirlah karyamu
Himpunlah kekuatanmu
Ciptakanlah keinginanmu hidupkanlah dirimu
Dari karyamu
Esok..tiada lagi terdengar rengekan, rinntihan
Perempuan
Kau telah mampu bangkit dan mencipta
Karyamu pembangkit generasi
Wahai perempuan mulia, Jadilah Intelektual Progresif yang senantiasa
rindu akan pengetahuan dan tidak membungkam diri dengan pengetahuanmu. Dan
hiasilah segalanya dengan cinta karena cinta seperti cahaya yang akan
memberikan kehangatan dalam hidupmu.